Titik Temu Sains dan Sastra (1)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sastra masih sering dipandang sebelah mata. Cobalah amati teman-teman di lingkungan sekolahmu. Jika ada jurusan bahasa dan sastra di sekolahmu, apakah peminatnya lebih banyak dibanding jurusan lainnya? Biasanya jurusan bahasa dan sastra diposisikan sebagai jurusan alternatif, dijadikan pilihan terakhir setelah yang lain. Tak hanya di jenjang SLTA, tetapi juga di tingkat Perguruan Tinggi. Coba tanyakan kepada teman-temanmu yang sudah lulus SLTA. Biasanya mereka menempatkan fakultas atau jurusan sastra di urutan kedua atau ketiga setelah jurusan yang lainnya.

Fenomena tersebut seolah-olah membuktikan pandangan umum masyarakat kita, bahwa menjadi sastrawan atau ilmuwan sastra tidak lebih baik dibanding yang lainnya. Memilih jurusan selain sastra seolah-olah lebih unggul dibanding dengan memilih jurusan sastra.

Ada juga yang menganggap bahwa jenis pengetahuan yang menjadi semakin dominan dan bahkan dianggap sebagai yang paling terjamin kebenarannya adalah pengetahuan ilmiah (sains). Akses dari kecenderungan ini terungkap dalam paham yang disebut saintisme (scientism). Paham saintisme mengklaim bahwa tidak ada pengetahuan lain selain sains dan hanya sainslah yang mampu mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya. (Sudarminta, 2002: 14)

Jika sastra telah ditinggalkan dan masyarakat hanya mengunggulkan sains maka akibatnya jelas: Manusia bisa jadi punya kecerdasan yang tinggi, namun merosot adabnya. Masyarakat Indonesia bisa saja pintar mengerjakan soal fisika atau matematika, tetapi karena imajinasi yang lemah menghambat penemuan-penemuan atau terobosan-terobosan baru di berbagai bidang.

Hal tersebut pernah dikeluhkan oleh Agus R. Sarjono (2001:201) dalam bukunya Sastra Dalam Empat Orba. Dia mengatakan bahwa sejak dahulu di Indonesia telah terjadi fragmentasi antara dunia sastra dengan dunia sains dan teknologi, hal ini tentu saja berimplikasi ganda; yakni banyaknya karya sastra yang terbengkalai dari apresiasi keilmuan, dan kemiskinan imajinasi yang melanda teknokrat-teknokrat serta ilmuwan Indonesia. Kemiskinan imajinasi ini berujung pada miskinnya ide dan minimnya kreativitas.

Sains memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan modern, tetapi ia bukanlah segalanya. Bahkan, menurut Sudarminta (2002: 15) sesungguhnya pengetahuan ilmiah pun merupakan pengetahuan yang dapat keliru dan hanya mendekati kebenaran. Bukan hanya dalam bidang sains sosial, budaya dan kemanusiaan, tetapi juga bahkan dalam sains kedalaman, pengamatan atas objek yang dikaji itu bermuatan teori.

Maka dunia para ilmuwan dalam arti saintis serta dunia para sastrawan atau humanis sesungguhnya bukan dua dunia atau dua budaya yang sama sekali terpisah dan bahkan bermusuhan satu dengan yang lainnya. Pemisahan antara sastra dan sains terjadi disebabkan kesalahpahaman tentang hakikat masing-masing. Selain juga karena kecenderungan budaya yang masih mendewakan sains.





Share this

Related Posts

Previous
Next Post »