PUISI SEMUA ORANG


Jusuf AN

Yasraf Amir Pilliang menuliskan, puisi tidak saja merupakan sebuah sekumpulan kata-kata, tetapi sekaligus sekumpulan tanda-tanda (signs). Dalam puisi tidak mengomunikasikan sebuah pesan, tetapi lebih tepat "menandakan" sebuah makna tertentu (meaning). Oleh karena itu puisi dapat dijelajahi maknanya dengan alat bantu semiotika, pengetahuan tentang tanda. Selain itu puisi bukanlah sebuah bentuk komunikasi atau informasi langsung melalui ungkapan-ungkapan literer. Banyak makna yang diungkap di dalam puisi yang tidak dapat disampaikan menggunakan perangat bahasa yang ada. Puisi memerlukan cara pengungkapan sendiri. Maka muncullah metafora, yang menurut Karsten Harris adalah "prinsip dari puisi, tantangan serta keagungannya."

Namun demikian, puisi yang baik bukanlah puisi yang susah dipahami akibat penggunakan metafora orisinal (creativa methaphor) atau metafora konvensional (lexical metaphor). Puisi yang baik adalah puisi yang bisa memberi pencerahan, inspisari, dan makna bagi kehidupan pembacanya atau pendengarnya (jika puisi dibacakan) tanpa butuh waktu panjang untuk membedahnya dengan menggunakan setumpuk referensi.

Pertanyaannya, seberapa banyakkah orang di negeri ini yang belajar tentang teori semiotika; tanda puisi (poetic signs), tanda linguistik (linguistic signs); semantik, juga metafora, untuk memahami kata demi kata di dalam puisi yang merupakan "kendaraan makna" (vehiscle of meaning) sehingga menemukan makna puisi (poetic meaning) ?

Kita mesti sepakat bahwa cuma segelintir orang saja yang dapat menangkap makna sebagian besar puisi kita, terutama untuk puisi-puisi modern yang bermunculan dewasa ini. Dengan lain kata hanya sedikit puisi saja yang bisa dimengerti dan diambil maknanya oleh kebanyakan masyarakat kita. Puisi terkesan menjadi karya seni yang eksklusif, dan dijauhi banyak orang. Kenapa demikian?

Sebenarnya persoalan semacam ini sudah lama diperbincangan, namun selalu mengambang dan kurang mendapat respons yang signifikan. Maka, tulisan ini beramaksud mengangkat kembali masalah yang belum selesai itu. Membuka kran kesadaran para sastrawan, baik penyair atau kritikus, tentang masalah yang seolah-olah tenggelam dalam keriuhan pergulatan estetika dan penciptaan-penciptaan karya yang eskperimental. Tulisan ini tidak bermaksud memberikan penjelasan yang konprehensif, karena untuk itu dibutuhkan penelitian yang mendasar dan menyeluruh.

Emha Ainun Nadjib pernah mengungkap masalah ini dalam tulisannya bertajuk "Repot" (1975). Secara umum Emha sepakat dalam obrolannya bersama Rendra dan Umar kayam, bahwa sektor-sektor kesenian (dalam tulisan ini baca: puisi) tidak perlu membicarakan masalah itu (eksklufitas seni) lagi, sebab hanya merupakan lingkaran setan yang tak berujung. Bagi Emha sebuah puisi tak perlu dimengerti oleh rakyat banyak—dalam artian ia tak usah melewati pengertian secara keras—sepanjang sedikitiknya ia mampu mencuri secara implisit dan menjebak dalam suatu kehidupan puisi. Lebih jauh lagi Emha mengklasifikasikan masyarakat dari mulai yang buta huruf, cendekiawan, awam, berperasaan tajam dan tumpul, IQ tinggi dan "jongkok", dan golongan-golongan lainnya. Karenanya tak perlu kita kerepotan memikirkan hal tersebut sehingga mengganggu kerja cipta kita, sebab yang terpenting adalah bagaimana secara sentral berusaha mencapai titik intensitas dari pertemuan atau kesatuan-kesatuan universal yang sesungguhnya ada, yang memungkinkan sedikit "berakrab" (dengan pembaca).

Ya, persoalah komunikasi (pencipta dan pembaca) puisi memang sangat rumit dan membingungkan. Tetapi bukan berarti persoalan tersebut dibiarkan tanpa wacana yang terang sehingga lambat-laun puisi semakin terperangkap di ruang eksklusif dan dijauhi masyarakat.

Puisi mestinya juga bisa dinikmati oleh orang banyak dan bukan hanya milik orang-orang yang hidup di dunianya saja. Sebab pada awalnya puisi tercipta dengan tujuan yang suci, yakni menggugah perasaan melalui kecerdasan bahasa, emosional, bahkan sprititualitas penyairnya. Puisi juga mempunyai kegunaan membangkitkan empati, dan dapat mendorong manusia ke dalam perenungan dan refleksi tentang kehidupan. Tetapi tujuan itu akan mentah bersamaan dengan puisi yang menutup dirinya bagi orang awam.

Kita tahu, masyarakat adalah sebuah entitas kolektif berkesadaran yang kompleks. Oleh sebab itu jika puisi ingin berkontribusi padanya, maka perlu adanya kontribusi yang holistik dan kompherensif; yang menyentuh seluruh dimensi kesadaran masyarakat, baik itu spiritualitas, rasionalitas maupun emosionalitas. Menurut Culler, siapa pun yang berkenalan dengan sastra dan tak terbiasa dengan konenvensi-konvensi untuk membaca karya sastra, akan merasa sangat kecewa bila harus membaca puisi. Mungkin dia memahami saling hubungan yang aneh antara frasa-frasa itu. Dia tidak mampu membacanya sebagai karya sastra kare atidak mempunyai "kompetensi literrer" yang memungkinkan orang lain memahaminya. Sehubungan dengan itu Darmanto Jatman mengatakan, kesenian harus merupakan wujud komunikatif di mana manusia menemukan dirinya dan bukan sekedar karena interpersonal, tapi impersonal karena ia merupakan wujud ekspresi dari totalitas manusia yang seharusnya human dan memiliki istegritasnya.

Barangkali penjelasan dari Culler dan Darmanto Jt tersebut dapat dijadikan salah satu pijakan bagi para penyair agar puisinya lebih bisa dinikmati oleh masyarakat secara luas. Penyair semestinya memperhatikan masyarakat sebagai penikmat puisi-puisinya. Sehingga ketika melakukan proses penciptaan puisi penyair tidak kemudian persetan, masa bodoh dengan kompleksitas masyarakat yang ada. Ingat, tidak semua orang tahu tentang puisi! Jadi mempertimbangkan apakah puisi yang diciptakan bisa dimengerti oleh masyarakat kebanyakan tetaplah penting dipertimbangkan.
Sebagian penyair kontemporer, terutama penyair muda, masih terjebak pada metafora-metafora gelap yang sering rancu dan membingungkan. Seringkali pembaca dari kalangan sastra sendiri kebingungan memaknainya, apalagi untuk masyarakat awam sastra. Bisa dibayangkan! Atau, jangan-jangan kecenderungan penyair muda yang demikian itu merupakan sikap latah dari senior mereka?

Peran Kritikus?

Dengan seperangkat alat bedah ilmiah seorang kritikus sastra (baca: puisi) berusaha menjembatani pembaca (khusunya yang awam) untuk bisa masuk dan memahami lebih rinci puisi-puisi yang tadinya muram dan gelap sekalipun. Tetapi ketika masyarakat sendiri telah terlanjur enggan membaca sebuah karya puisi apakah ia punya keinginan untuk membaca kajian kritiknya?
Lain dari pada itu terkadang kritikus malahan mempersempit makna sebuah puisi itu sendiri. Pembaca seolah-olah terjebak dalam subyektifitas kritikus dan tidak bisa berimajinasi menurut kemampuan dan keinginannya masing-masing. Metafora "celana" Joko Pinurbo, atau metafora "tato" dalam puisi-puisi Soni Farid Maulana menjadi miskin pemaknaan apabila sebelum membaca sajak dua penyair tersebut, pembaca terlebih dulu membaca ulasan kritikus berkait makna "celana" dan "tato". Meskipun kritikus sebenarnya hanya sebagai penjembatan untuk memahami sebuah karya dan bukan "tuhan" pemegang kebenaran. Tetapi pendapat yang dikemukakan kritikus—bagi pembaca awan apalagi—seringkali mengganggu dalam menikmati sebuah puisi.
Harapan Semua Orang

Kita tentu saja sangat mengaharapkan lahirnya puisi-puisi yang "sederhana" tetapi mengandung kedalaman makna, tidak terlalu gelap, dan tidak terlampau personal. Bahwa sikap penciptaan tanpa memperhatikan pembaca merupakan sikap yang ekstrim dan apatis, saya sepakat. Tetapi penyair juga tidak boleh menganggap pembaca adalah orang yang bodoh sehingga karyanya terkesan ringan dan mentah. Merangkai kata menjadi puisi yang komunikatif dan bermakna luas, menggetarkan hati dan memberi inspirasi pagi publik memang demikian berat. Tetapi penyair sejati tak akan pernah menyerah bergelut dengan kata yang akan diserahkan kepada seluruh umat manusia.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »