IPTEK dan Kekuatan Imajinasi (3 Habis)

Kembali ke pertanyaan pada posting sebelumnya, apakah IPTEK di Indonesia sudah maju?
Menyangkut pertanyaan itu, ada dua pendapat yang berkembang di masyarakat. Pendapat pertama mengatakan bahwa perkembangan IPTEK di Indonesia sudah maju. Buktinya adalah kita sering meraih medali-medali emas dan perak dari lomba atau olimpiade sains dan fisika, baik tingkat Asia maupun Internasional.

Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa IPTEK di Indonesia saat ini masih tertinggal. Memang benar kita sering mendapatkan medali dalam olimpiade, tetapi prestasi-prestasi tersebut sering kemudian tidak ditindak lanjuti, hanya berhenti di titik itu saja. Terlebih lagi prestasi-prestasi tersebut hanya diraih oleh beberapa orang, sehingga belum layak untuk dikatakan mewakili rakyat Indonesia.

Penulis pribadi lebih sepakat dengan pendapat yang terakhir. Bukan berarti tidak percaya dengan kecerdasan yang dimiliki anak negeri. Secara umum harus kita akui bahwa dibanding dengan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, atau Amerika, IPTEK kita masih tertinggal. Indonesia memang punya beberapa ahli sains yang penemuannya telah dikenal oleh dunia. B.J Habibie yang bisa mendesain pesawat terbang, Adi Rahman Adiwowo penemu teknologi baru dalam telepon bergerak berbasis satelit, Alexander Kawilarang penemu kapal ikan bersirip, Anrias Wiji Setio Pamuji penemu reaktor biogas, Aryadi Suwono yang menemukan bahan pendingin baru yang lebih hemat energi, dan lain sebagainya. Tetapi apakah kita hanya akan terus menerus mengandalkan mereka? Apakah kita sudah puas hanya dengan nama-nama tersebut dan menyatakan diri sebagai negara yang telah maju? Tentu saja tidak.

Sekarang, cobalah kamu tengok barang-barang canggih yang ada di sekitar kamu. Mulai dari hand phone, kendaraan bermotor, sampai kulkas dan setrika, adakah yang merupakan produk dalam negeri? Jika ada, apa saja, dan bagaimana kualitasnya?

Mengakui ketertinggalan untuk kemudian bangkit tentu lebih baik ketimbang mengaku lebih hebat dan kemudian berpangku tangan. Kenyataan akan rendahnya kreativitas bangsa ini sudah sewajarnya membuat kita bertanya-tanya: Apa yang menjadi penyebabnya? Bagaimana caranya agar bisa mengejar ketertinggalan tersebut?

Satu sebab yang jelas adalah karena bangsa ini tidak memiliki tradisi imajinasi. Untuk menjadi masyarakat yang swadaya dalam penyediaan teknologi, maka masyarakat tersebut—selain dapat menginovasi teknologi mapan bagi kebutuhan diri sendiri—juga harus mampu melakukan prediksi teknologi yang masih akan lahir. (Besari, 2008: 315)

Di sinilah manusia membutuhkan imajinasi untuk menciptakan teknologi masa depan. Dan karenanya, upaya-upaya untuk mentradisikan imajinasi kreatif harus terus digalakkan. Salah satunya adalah dengan membudayakan membaca.

Membaca, khususnya sastra, bisa menjadi cara ampuh untuk mengasah imajinasi. Tidak heran jika di negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Belanda mewajibkan siswa SMA harus menamatkan hingga 22-32 judul buku sebagai syarat kelulusan. Sementara di Indonesia anak-anak muda justru tenggelam pada televisi. Televisi telah menjadikan otak generasi muda menjadi pasif, imajinasi melemah, dan pada akhirnya membunuh pelan-pelan kreativitas yang dimiliki.

Rendahnya minta baca ini juga dipengaruhi oleh keadaan kehidupan mutakhir kita. Banyak orang menganggap bahwa uang adalah segala-galanya, sementara membaca sastra yang memberi kebahagiaan jiwa (tidak mendatangkan uang) dianggap tidak berguna. Ironisnya, fenomena tersebut telah dianggap wajar, bahkan dianggap benar. Akibatnya, kegiatan membaca semakin dijauhi oleh masyarakat.

Padahal jelas, membaca adalah upaya kita menghargai ilmu pengetahuan dan dalam rangka mengasah imajinasi. Perlu diingat juga bahwa penelitian-penelitian sains mengandaikan ide-ide tertentu yang telah dipegang sebelumnya. Tentu saja, ide-ide itu kemudian perlu dibenarkan oleh fakta-fakta observasi, tetapi tidak selalu berasal secara langsung dari fakta-fakta itu. Ide-ide yang dipegang tersebut sering bersumber dari imajinasi para ahli sains. (Leahy, 2006:19)

Oleh karena itulah, karya fiksi yang begitu dekat dengan imajinasi harus terus dihidupkan dan dikembangkan. Fiksi dan sains semestinya tidak saling bertolak belakang, melainkan saling mengisi. Sastrawan sudah sepantasnya mempelajari sains dan begitu pula sebaliknya, para ilmuwan dan cendekiawan yang berkiprah dalam pemerintahan (teknokrat) mengakrabi sastra sebagai bacaannya. Sebab sejarah telah mencatat berbagai penemuan dalam bidang IPTEK yang terinspirasi dari karya fiksi.










Share this

Related Posts

Previous
Next Post »