Jusuf AN
(Artikel sederhana ini memenangi lomba esai Buletin Pawon, Solo, 2008)
Enam tahun lalu, tepatnya pada 6 Oktober 2001 dalam momentum Pameran Buku yang diselenggarakan IKAPI di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta sekelompok pegiat penerbit mendeklarasikan berdirinya Asisoasi Penerbit Alternatif (APA). Amien Wangsitalaja (Matabaca, 2003) yang merupakan deklataror APA memberikan 4 karakteristik penerbit alternatif, yakni: (1) berbekalkan semangat idealistik; (2) bukan sebagai sebuah usaha dagang yang murni; (3) bermodal finansial yang pas-pasan; dan, (4) memiliki semangat mendobrak mainstream wacana yang status quo.
Istilah “penerbit alternatif” sendiri baru mulai akrab pada pengujung dekade 1990-an di mana orde baru (Orba) tumbang dan kemudian bermunculan penerbit-penerbit kecil, khususnya di Jakarta dan Yogyakarta. Padahal sebenarnya, sejak akhir abad ke-19 penerbit alternatif sudah dimulai oleh warga keturunan Tionghoa dan peranakan Indo-Eropa. Mereka menerbitkan sekitar 3000-an judul buku, pamflet serta terbitan lainnya pasca-kemerdekaan. Pada waktu itu usaha penerbitan alternatif digagas guna melawan penjajah Belanda yang represif terhadap langkah-langkah perjuangan, selain juga menentang peraturan pemerintah tentang sensor tahun 1906. Sebagaimana diungkap Donny Anggoro (2004), penerbit alternatif pada masa itu juga berkeinginan melawan penerbit sebelumnya yang sudah mapan, di antaranya Balai Pustaka, yang dianggap telah berpihak pada kepentingan kekuasaan penjajahan Belanda. Dari sinilah kemudian muncul orang-orang pribumi (baca: bumiputra) yang kemudian tumbuh menjadi jurnalis sekaligus penerbit, di antaranya RM Tirtoadhisoerjo, Semaoen, Tjipto Mangoenkoesomo, Tan Malaka, Alimin. Sementara dari golongan sejarah berbalutkan karya fiksi lahir Marco Kartodikromo (1890-1935), seorang jurnalis cum aktivis revolusioner, dan juga Pramoedya Ananta Toer.
Sampai di sini, kita bisa menandai karakteristik penerbit alternatif yang paling menonjol baik pada masa penjajahan atau pada penujung 1990-an, yakni adanya semangat mendobrak mainstream wacana dengan produksi buku-buku dengan tema-tema yang berpeluang minim untuk diterbitkan karena kondisi politik yang tidak kondusif. Kini, pasca runtuhnya kekuasaan monolitik Orba, yang menandai dibukanya keran demokrasi dan kebebasan pers, penerbit alternatif seolah kehilangan gema. Sukar kita menemukan, penerbit non-commercial, demonstrating that 'a basic concern for ideas, and not the concern for profit. Maka, kita patut bertanya, apa kabar, penerbit alternatif?
Sukar, bukan berarti tidak ada. Kalaupun sebagian besar penerbit alternatif, bahkan yang dulu begitu bangga menyebut dirinya penerbit idealis, sudah tak lagi beroprasi, atau telah berpindah jalur toh kita tak bisa menyalahkan. Yang terang, kita patut memberikan apresiasi kepada penerbit alternatif yang sampai sekarang masih bertahan (kalau memang masih ada), dan yang belakangan ini tumbuh. Sebab kita tahu, menerbitkan dan merawat penerbitan alternatif supaya tetap eksist bukan pekerjaan yang remeh.
Saya sendiri tak tahu apakah APA yang dideklarasikan enam tahun lalu itu masih berdiri atau tidak. Yang jelas, saya tak penah lagi mendengar dengungnya. Tetapi beberapa penerbit alternatif kecil yang baru-baru ini muncul, cukup membuat saya terharu bangga. Hanya bermodal semangat idealistik dan uang pas-pasan beberapa pegiat sastra-budaya di berbagai kota turut ambil bagian dalam memajukan negeri ini. Ambillah contoh beberapa buletin yang terbit berkala, seperti Rajakadal (Bandung), Pawon (Surakarta), Jurnal Sundih (Bali), Ben! (Yogyakarta). Para penggiat penerbit alternatif tersebut rela lembur, muter-muter cari sponsor dan iklan, merogoh kantong pribadi, dan bergelirya memasarkannya sendiri sampai ke pelosok-pelosok desa. Bahkan, Jurnal Cerpen Indonesia (Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia) yang kelihatannya mentereng itu konon diterbitkan dari uang hasil patungan para pengurusnya.
Loncatan Budaya
Sejak Ts’ai Lun menemukan kertas dan menyusul 4 abad kemudian Gutenberg menemukan mesin cetak kemajuan dunia semakin pesat. Belum matang negeri ini dengan budaya tulis-baca, sudah menyusul budaya elektronik. Kita kadang kagum dan gemetar dengan kemajuan dunia, khusunya dalam bidang teknologi informasi. Televisi dan internet sudah tak lagi asing di negeri yang masyarakatnya masih lebih senang bicara dan mendengar ketimabang menulis dan membaca ini. Globalisasi dan loncatan budaya yang terjadi seolah telah membuat masyarakat kita mengalami gegar budaya.
Joko Sumantri, Koordinator buletin Pawon, yang punya cita-cita menumbuhkan “Kota-kota Sastra” pernah menuturkan bahwa, buku-buku mahal diyakini telah mengulitkan akses kelompok ekonomi lemah guna mengakrabi karya sastra (baca: buku). Dengan menerbitkan media altenatif yang murah ia berharap akan bisa meningkatkan gairah membaca masyarakat. Karena itu, menurut saya, salah besar kalau menganggap penerbitan media alternatif sudah tak lagi diperlukan setelah keran kebebasan dibuka.
Jika penerbit alternatif pada masa penjajahan Belanda dan pada masa Orba bertujuan mendobrak mainstream wacana yang status quo, sekarang penerbit alternatif selain mewujudkan buku-buku murah, bahkan gratis, juga diarahkan untuk mengimbangi arus pasar. Sebab yang dijadikan alasan utama menerbitkan buku oleh para penerbit non alternatif kini bukan lagi karena buku itu bermutu, melainkan karena keinginan pasar. Dengan demikian, semakin banyaknya penerbit alternatif di negeri ini akan semakin baik. Apakah Anda mau menerbitkan media alternatif juga?
(Artikel sederhana ini memenangi lomba esai Buletin Pawon, Solo, 2008)
Enam tahun lalu, tepatnya pada 6 Oktober 2001 dalam momentum Pameran Buku yang diselenggarakan IKAPI di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta sekelompok pegiat penerbit mendeklarasikan berdirinya Asisoasi Penerbit Alternatif (APA). Amien Wangsitalaja (Matabaca, 2003) yang merupakan deklataror APA memberikan 4 karakteristik penerbit alternatif, yakni: (1) berbekalkan semangat idealistik; (2) bukan sebagai sebuah usaha dagang yang murni; (3) bermodal finansial yang pas-pasan; dan, (4) memiliki semangat mendobrak mainstream wacana yang status quo.
Istilah “penerbit alternatif” sendiri baru mulai akrab pada pengujung dekade 1990-an di mana orde baru (Orba) tumbang dan kemudian bermunculan penerbit-penerbit kecil, khususnya di Jakarta dan Yogyakarta. Padahal sebenarnya, sejak akhir abad ke-19 penerbit alternatif sudah dimulai oleh warga keturunan Tionghoa dan peranakan Indo-Eropa. Mereka menerbitkan sekitar 3000-an judul buku, pamflet serta terbitan lainnya pasca-kemerdekaan. Pada waktu itu usaha penerbitan alternatif digagas guna melawan penjajah Belanda yang represif terhadap langkah-langkah perjuangan, selain juga menentang peraturan pemerintah tentang sensor tahun 1906. Sebagaimana diungkap Donny Anggoro (2004), penerbit alternatif pada masa itu juga berkeinginan melawan penerbit sebelumnya yang sudah mapan, di antaranya Balai Pustaka, yang dianggap telah berpihak pada kepentingan kekuasaan penjajahan Belanda. Dari sinilah kemudian muncul orang-orang pribumi (baca: bumiputra) yang kemudian tumbuh menjadi jurnalis sekaligus penerbit, di antaranya RM Tirtoadhisoerjo, Semaoen, Tjipto Mangoenkoesomo, Tan Malaka, Alimin. Sementara dari golongan sejarah berbalutkan karya fiksi lahir Marco Kartodikromo (1890-1935), seorang jurnalis cum aktivis revolusioner, dan juga Pramoedya Ananta Toer.
Sampai di sini, kita bisa menandai karakteristik penerbit alternatif yang paling menonjol baik pada masa penjajahan atau pada penujung 1990-an, yakni adanya semangat mendobrak mainstream wacana dengan produksi buku-buku dengan tema-tema yang berpeluang minim untuk diterbitkan karena kondisi politik yang tidak kondusif. Kini, pasca runtuhnya kekuasaan monolitik Orba, yang menandai dibukanya keran demokrasi dan kebebasan pers, penerbit alternatif seolah kehilangan gema. Sukar kita menemukan, penerbit non-commercial, demonstrating that 'a basic concern for ideas, and not the concern for profit. Maka, kita patut bertanya, apa kabar, penerbit alternatif?
Sukar, bukan berarti tidak ada. Kalaupun sebagian besar penerbit alternatif, bahkan yang dulu begitu bangga menyebut dirinya penerbit idealis, sudah tak lagi beroprasi, atau telah berpindah jalur toh kita tak bisa menyalahkan. Yang terang, kita patut memberikan apresiasi kepada penerbit alternatif yang sampai sekarang masih bertahan (kalau memang masih ada), dan yang belakangan ini tumbuh. Sebab kita tahu, menerbitkan dan merawat penerbitan alternatif supaya tetap eksist bukan pekerjaan yang remeh.
Saya sendiri tak tahu apakah APA yang dideklarasikan enam tahun lalu itu masih berdiri atau tidak. Yang jelas, saya tak penah lagi mendengar dengungnya. Tetapi beberapa penerbit alternatif kecil yang baru-baru ini muncul, cukup membuat saya terharu bangga. Hanya bermodal semangat idealistik dan uang pas-pasan beberapa pegiat sastra-budaya di berbagai kota turut ambil bagian dalam memajukan negeri ini. Ambillah contoh beberapa buletin yang terbit berkala, seperti Rajakadal (Bandung), Pawon (Surakarta), Jurnal Sundih (Bali), Ben! (Yogyakarta). Para penggiat penerbit alternatif tersebut rela lembur, muter-muter cari sponsor dan iklan, merogoh kantong pribadi, dan bergelirya memasarkannya sendiri sampai ke pelosok-pelosok desa. Bahkan, Jurnal Cerpen Indonesia (Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia) yang kelihatannya mentereng itu konon diterbitkan dari uang hasil patungan para pengurusnya.
Loncatan Budaya
Sejak Ts’ai Lun menemukan kertas dan menyusul 4 abad kemudian Gutenberg menemukan mesin cetak kemajuan dunia semakin pesat. Belum matang negeri ini dengan budaya tulis-baca, sudah menyusul budaya elektronik. Kita kadang kagum dan gemetar dengan kemajuan dunia, khusunya dalam bidang teknologi informasi. Televisi dan internet sudah tak lagi asing di negeri yang masyarakatnya masih lebih senang bicara dan mendengar ketimabang menulis dan membaca ini. Globalisasi dan loncatan budaya yang terjadi seolah telah membuat masyarakat kita mengalami gegar budaya.
Joko Sumantri, Koordinator buletin Pawon, yang punya cita-cita menumbuhkan “Kota-kota Sastra” pernah menuturkan bahwa, buku-buku mahal diyakini telah mengulitkan akses kelompok ekonomi lemah guna mengakrabi karya sastra (baca: buku). Dengan menerbitkan media altenatif yang murah ia berharap akan bisa meningkatkan gairah membaca masyarakat. Karena itu, menurut saya, salah besar kalau menganggap penerbitan media alternatif sudah tak lagi diperlukan setelah keran kebebasan dibuka.
Jika penerbit alternatif pada masa penjajahan Belanda dan pada masa Orba bertujuan mendobrak mainstream wacana yang status quo, sekarang penerbit alternatif selain mewujudkan buku-buku murah, bahkan gratis, juga diarahkan untuk mengimbangi arus pasar. Sebab yang dijadikan alasan utama menerbitkan buku oleh para penerbit non alternatif kini bukan lagi karena buku itu bermutu, melainkan karena keinginan pasar. Dengan demikian, semakin banyaknya penerbit alternatif di negeri ini akan semakin baik. Apakah Anda mau menerbitkan media alternatif juga?