Untuk mengetahui bagaimana cara kerja imajinasi Muhammad Muhibbuddin (2011: 38-39) mencontohkan bagaimana Nicolas Copernicus (1437-1543) melahirkan teori heliosentris. Teori heliosentris ini membantah teori geosentris yang sebelumnya telah menjadi dogma selama puluhan tahun. Sesuatu yang menarik dari penemuan Copernicus ini jelas bukan hanya terletak pada hasilnya, yakni keberhasilannya dalam menemukan teori heliosentris, tetapi justru pada awal mula ia menemukan teori tersebut.
kamu mungkin bertanya-tanya, bagaimana asal mulanya?
Proses lahirnya teori tersebut tidak terlepas dari kegelisahan intelektual Copernicus sendiri ketika merenungkan alam semesta. Misalnya, ketika dia mengamati bintang-bintang di angkasa, dia melihat bahwa di antara bintang-bintang itu terkadang jaraknya tampak lebih dekat dan kadang lebih jauh. Dari fenomena bintang-bintang itu lalu muncullah pertanyaan sederhana di dalam hatinya, “mengapa itu bisa terjadi?” Dari pertanyaan itu, Copernicus kemudian melahirkan sebuah ide sederhana namun brilian. Ide itu berupa pertanyaan simpel, “Apa yang terjadi jika bumi bukanlah pusat yang sebenarnya dari alam semesta melainkan hanya salah satu dari planet-planet yang mengeliling matahari?”
Jika kita melihat proses awal Copernicus dalam melahirkan teorinya yang mengubah pandangan dunia, maka jelas terlihat bahwa yang lebih berperan di sana adalah imajinasi. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang mengantarkan dia sampai pada penyelidikan ilmiah pada dasarnya adalah cerminan dari imajinasi.
Kisah yang dialami Einstein dalam melahirkan teori relativitas—lewat rumus E=mc2 — tidak kalah menariknya dan menegaskan bahwa imajinasi memiliki kekuatan yang luar biasa. Albert Einstein melahirkan teori relativitas ketika ia baru berusia 26 tahun. Bagaimana imajinasi Albert Einstein bekerja sehingga teori relativitas bisa lahir? Uraian berikut disampaikan Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku Kecerdasan Milyuner: Warisan yang Mencerahkan Keturunan kamu (2003)."
Dalam catatan biografinya, Einstein menceritakan saat-saat pertama kalinya ia memikirkan teori relativitas. "Kira-kira seperti apa kalau kita berlari di samping pancaran cahaya, dengan kecepatan cahaya?" begitu dibayangkan Einstein. Ia juga membayangkan, dirinya mengendarai ujung berkas cahaya (light beam) sambil memegang cermin. Apakah ia melihat bayangannya dalam cermin. Menurut fisika klasik, jawabannya jelas. Ia tidak akan melihat bayangannya dalam cermin, karena cahaya yang meninggalkan wajahnya harus bergerak lebih cepat dari cahaya supaya mencapai cermin. Einstein lebih mempercayai intuisinya ketimbang teori klasik itu. Dalam bayangannya, sangat lucu kalau kita memegang cermin dan tidak melihat wajah kita di dalamnya. Einstein membayangkan jagat raya yang memungkinkan kita melihat wajah kita dalam cermin, walaupun kita mengendarai berkas cahaya. Dan teori relativitas pun terlahir.
Membaca kisah Copernicus dan Einstein di atas membuat kita tambah percaya bahwa semua sains dan teknologi yang sekarang nyata dan bisa dibuktikan itu, asal mulanya muncul dan dibangun melalui imajinasi. Oleh karena itu, dengan memikirkan ketidakmungkinan, seharusnya kita menjadi tertantang untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam, sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan dunia.
Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa tanpa adanya masyarakat yang memiliki tradisi berimajinasi yang kuat maka IPTEK akan berjalan di tempat. “Imajinasi kita adalah gudang harta tak terhingga. Imajinasi melengkapi semua gagasan dan memproyeksikannya pada layar semesta,” demikian Joseph Murphy (2009: 223) menyimpulkan.
Pertanyaannya, bagaimana tradisi berimajinasi di Indonesia? Lalu, apakah perkembangan sains dan teknologi di Indonesia sudah maju? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita tahu apa yang dimaksud dengan teknologi dan seberapa penting teknologi bagi manusia.
Teknologi merupakan instrumen untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Sejak keberadaannya di muka bumi, manusia telah menerapkan teknologi. Teknologi telah diciptakan untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu, dan karenanya teknologi harus berubah seiring dengan berubahnya jenis kebutuhan yang harus dipenuhi manusia. Teknologi telah berkembang dari mulai yang sangat sederhana, sampai kini menjadi teknologi modern yang sangat rumit (complicated). (Besari, 2008: 9)
Lebih jauh, menurut Sahari Besari dalam buku Teknologi di Nusantara; 40 Abad Hambatan Inovasi (2008: 310) teknologi dapat dibedakan dalam tiga kelompok. Kelompok pertama, teknologi yang saat ini sudah ada, disebut teknologi mapan; kedua, teknologi dalam proses pemunculannya atau teknologi bakalan; dan ketiga, teknologi yang masih akan lahir di waktu yang akan datang atau teknologi masa depan. Teknologi yang terakhir ini sering kali dapat dirasakan, tetapi teknologinya sendiri masih belum diketahui.
Untuk bisa merumuskan hipotesis atau tebakan ilmiah (teknologi masa depan) yang berhasil maka kita memerlukan imajinasi saintifik yang kreatif. (Fried, George H, Georige J. Hademenos, 2005: 1 ). Imajinasi saintifik adalah imajinasi dalam bentuk sains atau ilmu pengetahuan.
kamu mungkin bertanya-tanya, bagaimana asal mulanya?
Proses lahirnya teori tersebut tidak terlepas dari kegelisahan intelektual Copernicus sendiri ketika merenungkan alam semesta. Misalnya, ketika dia mengamati bintang-bintang di angkasa, dia melihat bahwa di antara bintang-bintang itu terkadang jaraknya tampak lebih dekat dan kadang lebih jauh. Dari fenomena bintang-bintang itu lalu muncullah pertanyaan sederhana di dalam hatinya, “mengapa itu bisa terjadi?” Dari pertanyaan itu, Copernicus kemudian melahirkan sebuah ide sederhana namun brilian. Ide itu berupa pertanyaan simpel, “Apa yang terjadi jika bumi bukanlah pusat yang sebenarnya dari alam semesta melainkan hanya salah satu dari planet-planet yang mengeliling matahari?”
Jika kita melihat proses awal Copernicus dalam melahirkan teorinya yang mengubah pandangan dunia, maka jelas terlihat bahwa yang lebih berperan di sana adalah imajinasi. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang mengantarkan dia sampai pada penyelidikan ilmiah pada dasarnya adalah cerminan dari imajinasi.
Kisah yang dialami Einstein dalam melahirkan teori relativitas—lewat rumus E=mc2 — tidak kalah menariknya dan menegaskan bahwa imajinasi memiliki kekuatan yang luar biasa. Albert Einstein melahirkan teori relativitas ketika ia baru berusia 26 tahun. Bagaimana imajinasi Albert Einstein bekerja sehingga teori relativitas bisa lahir? Uraian berikut disampaikan Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku Kecerdasan Milyuner: Warisan yang Mencerahkan Keturunan kamu (2003)."
Dalam catatan biografinya, Einstein menceritakan saat-saat pertama kalinya ia memikirkan teori relativitas. "Kira-kira seperti apa kalau kita berlari di samping pancaran cahaya, dengan kecepatan cahaya?" begitu dibayangkan Einstein. Ia juga membayangkan, dirinya mengendarai ujung berkas cahaya (light beam) sambil memegang cermin. Apakah ia melihat bayangannya dalam cermin. Menurut fisika klasik, jawabannya jelas. Ia tidak akan melihat bayangannya dalam cermin, karena cahaya yang meninggalkan wajahnya harus bergerak lebih cepat dari cahaya supaya mencapai cermin. Einstein lebih mempercayai intuisinya ketimbang teori klasik itu. Dalam bayangannya, sangat lucu kalau kita memegang cermin dan tidak melihat wajah kita di dalamnya. Einstein membayangkan jagat raya yang memungkinkan kita melihat wajah kita dalam cermin, walaupun kita mengendarai berkas cahaya. Dan teori relativitas pun terlahir.
Membaca kisah Copernicus dan Einstein di atas membuat kita tambah percaya bahwa semua sains dan teknologi yang sekarang nyata dan bisa dibuktikan itu, asal mulanya muncul dan dibangun melalui imajinasi. Oleh karena itu, dengan memikirkan ketidakmungkinan, seharusnya kita menjadi tertantang untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam, sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan dunia.
Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa tanpa adanya masyarakat yang memiliki tradisi berimajinasi yang kuat maka IPTEK akan berjalan di tempat. “Imajinasi kita adalah gudang harta tak terhingga. Imajinasi melengkapi semua gagasan dan memproyeksikannya pada layar semesta,” demikian Joseph Murphy (2009: 223) menyimpulkan.
Pertanyaannya, bagaimana tradisi berimajinasi di Indonesia? Lalu, apakah perkembangan sains dan teknologi di Indonesia sudah maju? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita tahu apa yang dimaksud dengan teknologi dan seberapa penting teknologi bagi manusia.
Teknologi merupakan instrumen untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Sejak keberadaannya di muka bumi, manusia telah menerapkan teknologi. Teknologi telah diciptakan untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu, dan karenanya teknologi harus berubah seiring dengan berubahnya jenis kebutuhan yang harus dipenuhi manusia. Teknologi telah berkembang dari mulai yang sangat sederhana, sampai kini menjadi teknologi modern yang sangat rumit (complicated). (Besari, 2008: 9)
Lebih jauh, menurut Sahari Besari dalam buku Teknologi di Nusantara; 40 Abad Hambatan Inovasi (2008: 310) teknologi dapat dibedakan dalam tiga kelompok. Kelompok pertama, teknologi yang saat ini sudah ada, disebut teknologi mapan; kedua, teknologi dalam proses pemunculannya atau teknologi bakalan; dan ketiga, teknologi yang masih akan lahir di waktu yang akan datang atau teknologi masa depan. Teknologi yang terakhir ini sering kali dapat dirasakan, tetapi teknologinya sendiri masih belum diketahui.
Untuk bisa merumuskan hipotesis atau tebakan ilmiah (teknologi masa depan) yang berhasil maka kita memerlukan imajinasi saintifik yang kreatif. (Fried, George H, Georige J. Hademenos, 2005: 1 ). Imajinasi saintifik adalah imajinasi dalam bentuk sains atau ilmu pengetahuan.