Oleh M. Yusuf Amin N
Terorisme adalah salah satu bentuk aksi bermotif politik yang menggabungkan unsur-unsur psikologis (mengancaam) dan fisik (aksi kekerasan) yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok kecil dengan tujuan pengajuan tuntututan terorisme terpenuhi.
Isu teror dan terosisme telah mengancam dunia. Diawali dengan tragedi 11 Sepetember di negara Adikuasa, kemudian disusul dengan ledakan-ledakan bom lainnya, seperti hotel Marriot, Bali dan yang terakhir Kedubes Australia.. Pemerintah tentunya tidak tinggal diam dalam menangani terorisme, dibuktikan dengan munculnya UU no. 15 th 2003 yang kita kenal dengan UU anti terorisme.
Ketika melihat kasus bom di WTC dan gedung Pentagon yang menurut berita pelakunya adalah gerilyawan Afganistan anak buah Osama Bin Laden yang kebetulan beragama Islam, Secara spekulasi akan menimbulkan streotip bahwa terorisme adalah Islam, atau Islam adalah terorisme. Ditambah lagi tertangkapnya Amrozi sebagai pelaku peledakan bom di Bali, bisa menambah kuat asumsi publik bahwa pelaku peledakan bom-bom lainnya adalah sama
Logika diatas sangat sempit untuk dipakai dalam menganalis isu teror yang terjadi selama ini. Sebagai generasi muda kita harus lebih berpikir secara matang dan radikal, agar tidak terjadi kesalahpahman yang tidak diinginkan. Tidak bisa hanya menggunakan kacamata hitam putih.
Patut kita sadari dalam sebuah negara yang plural suku, ras, atau agama, sangat memungkinkan terjadinya suatu konflik yang disebabkan karena suatu benturan interest yang berbeda dari masing-masing individu atau kelompok.
Menurut Lewis Caser dalam bukunya The funtion of social conflik, konflik yang terjadi sebenarnya memiliki nilai positif karena, pertama, situasi konflik akan meningkatkan kohesi internaal dari kelompok-kelompok sersebut; kedua, konflik mampu menciptakan assosiasi-assosiasi dan koalisi baru; ketiga, dengan konflik akan terbangun keseimbangan antar kelompk yang terlibat. Namun nilai positif yang digambarkan Lewis Caser telah berubah menjadi aksi teror yang sulit diprediksi siapa pelaku utamanya. Apakah hanya dilakukan satu kelompok atau lebih. Gambarkan Lewis Caser masih bisa terjadi hanya jika nilai-nlai pluralisme dijalankan secara utuh.
Memahami pluralisme yang tidak hanya sebatas teori adalah salah satu cara untuk mengganjal berkembangnya terorisme. Dengan bersikap empati, jujur, dan adil menempatkan pelbagai perbedaan pada tempatnya yaitu dengan menghormati, menghargai dan mengakui eksistensi orang atau kelompok lain sebagaimana meghargai dan menghormati diri atau kelompok sendiri.
Di samping itu untuk mengaplikasikan nilai-nilai pluralisme kelompok adalah dengan komunikasi yang sehat antar kelompok. Kekerasan bukan jalan yang sehat dalam melakukan kritik, melainkan lewat argumentasi demi terciptanya suatu konsensus bersama.
Dalam teori “tindakan komunikatif” Hebermas mengatakan bahwa: dalam komunikasi para partisipan ingin membuat mitranya dapat memahami maksudnya. Pengeboman dan tindakan asusila lainnya adalah sebuah bahasa teroris tentunya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Maka, salah satu sikap kaum muda yang terbaik adalah berusaha untuk memahami setiap gerakan yang dilakukan teroris. Yaitu dengan cara menganalisis kejadian. Mengapa yang dibom adalah Kedubes Australia? Mengapa hotel Marriot, mengapa Bali? dan lain sebagainya. Kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan, tetapi dengan akal sehat sehingga bisa menemukan esensi realitas. Mengkabing hitamkan salah satu pihak atau kelompok juga bukan cara tepat dalam menyikapi terorisme.
Re-interpretasi terhadap proses komunikasi dalam berteologi juga perlu dilakukan. Karena agama disamping sebagai pemersatu sosial juga merupakan salah satu yang berpeluang besar menimbulkan konflik. Masing-masing agama memiliki keinginan yang kuat untuk terus menjaga nilai-nilai agamanya agar tetap eksist. Jika terjadi benturan dari luar yang menyebabkan agamanya terganggu maka konflik akan cepat terjadi dan sulit untuk dihentikan.
Padahal tidak ada satu agama pun di dunia ini yang menghalalkan tindakan terorisme. Atas nama apapun tindakan teror adalah tidak mencerminkan nilai-nilai humanisme agama. Jika masih ada yang menganggap aksi teror sebagi jalan suci dan mulia di sisi Tuhannya, itu adalah anggapan yang sangat keliru dan berteentangan dengan cita-cita agama yaitu menciptakan perdamaian dan ketentraman pada seluruh alam.
Untuk itu reinterpretasi hermeneutika teks kitab suci agama juga merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan agar bisa menciptanya pemahaman agama yang humanis, toleran serta anti kekerasan.
Sejak ledakan bom Bali, yang banyak memakan korban bukan hanya WNI tapi juga WNA, menjadikan nama Indonesia menjadi tercemar didunia. Beberapa negara siap membantu ikut menyelesaikan kasus tersebut. terutama Amerika memiliki dendam membara terhadap teroris karena telah kehilangan lambang kecongkakan dan kemewahannya (Pentagon dan WTC).
Ada yang patut kita cermati bersama berkaitan dengan dua pentolan teroris yaitu, Dr. Azhari dan Noor Din Muh Top yang lolos dari penjara ternyata bukan orang Indonesia. Ia berdua adalah WN Malaysia. Maka dari itu pemerintah mesti lebih hati-hati dalam menangani kasus-kasus besar terorisme, karena mustahil tidak ada interfensi asing dalam masalah ini. Seperti keterlibatan Umar al- Farouk (kuait), Maun Siyamreda (Jerman) dalam berbagai kasus di Indonesia.
Interfensi asing juga dilakukan melalui pemberian dana, seperti yang dilakukan Australia dengan alasan agar cepat tertangkap pelakunya. Untuk itu POLRI harus berusaha semaksimal mungkin serta yakin bisa menuntaskan kasus terorisme secara mandiri dan berani, jika tidak ingin negara kita diobok-obok negara lain.