Ketika Indonesia merayakan kemerdekaannya tahun 1945, orang-orang di Jepang sedang di rundung duka. Pesawat-pesawat Amerika berseliweran dan menjatuhkan bom-bom yang meluluh lantakkan rumah-rumah dan menelan banyak nyawa, juga sekolah itu: Tomoe Gakuen, yang didirikan oleh Mr. Kobayasyi.
Di Tomoe Gakuen (Nama ini diambil dari nama anak Mr. Kobayasyi) itulah Totto-Chan menjalani masa kecilnya, setelah dikeluarkan dari sekolah formal karena tingkahnya yang aneh. Tomoe Gakuen adalah semacam sekolah alternatif dengan siswa tak lebih dari 50 orang dan terdiri dari enam jenjang. Ada satu gedung berupa aula, selebihnya adalah gerbong-gerbong kereta yang disulap menjadi ruang kelas dan perpustakaan.
Ketika Indonesia baru saja merdeka, Jepang sudah mulai gelisah dengan pendidikan alternatif dengan kurikulum dan proses yang berbeda dengan sekolah formal. Aktifitas di sekolah Tomoe Gakuen sepertinya selalu menyenangkan, para siswa membawa bekal “sesatu dari gunung” dan “sesuatu dari laut”, menyanyi, berenang, berkemah, memasak, berwisata, dan membaca. Barangkali ada juga pelajaran fisika, matematika, dan lainnya, tetapi penulis tidak menceritakannya meski sekilas, apalagi detail.
Novel yang dikerjakan pada tahun 1979 ini melalui proses yang panjang. Penulisnya, Tetsuko Kuroyanagi mengaku telah melakukan riset yang cukup lama untuk mendalami karakter-karakter anak dan membangkitkan kenangannya. Ya, penulis novel ini tidak lain adalah Totto-Chan itu sendiri, yang sewaktu kecil bercita-cita menjadi guru di Tomoe, tetapi karena Tomoe Gakuen terbakar, akhirnya ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menulis sesuatu tentang Tomoe.
Membaca epilognya, saya langsung teringat Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi-nya. Bisa jadi Andrea tersinspirasi oleh novel yang ini. Dan nasib Totto-Chan ini juga juga menurun pada Laskar Pelangi. Kalau Totto-Chan mencatat rekor sebagai novel terlaris sepanjang sejarah penerbitan Jepang karena terjual lebih dari 4,5 juta kopi dalam setahun, Laskar Pelangi juga tidak jauh berbeda. Hanya saja, Tetsuko menolak novelnya difilmkan dan hanya menerimanya untuk sekadar dibuat orkestra, sementara Andrea mengijinkan karyanya difilmkan--atau Andrea sebanarnya tidak mengijinkan tapi tidak bisa menolak karena terikat perjanjian penerbit, entahlah. (Baca juga: Resensi, Sinopsis dan Ulasan Laskar Pelangi)
Novel ini ditulis dengan sekuel-sekuel yang pendek, dan bahasa yang ringan, mengalir, dan renyah. Gaya penyajian seperti itu barangkali memang disengaja supaya bisa dikonsumsi oleh anak-anak usia di atas tujuh tahun. Meski didominasi tulisan dan bukan gambar, toh novel ini, seturut pengakuan penulisnya, disukai oleh anak-anak di Jepang, meski dalam beberapa kata, mereka mesti membuka kamus. Tak hanya anak-anak, novel ini juga tetap enak dibaca oleh orang dewasa, saya mengauinya. Mungkin karena penulisnya pintar menggambarkan dunia anak-anak dan karakternya yang unik. Anak-anak yang polos, nakal, keras kepala, dan sering bikin ngakak. Demikian halnya novel ini, banyak bisa temukan humor di setiap sekuelnya, meski dalam beberapa bagian ada kisah yang sanggup membuat pembaca tak kuasa menitikkan air mata. Saya sendiri belum pernah menangis saat baca novel, apapun dan bagaimanapun ceritanya.
Judul: Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela
(Diterjemahkan oleh Widya Kirana dari edisi Bahasa Inggris berjudul, Totto-Chan: The Little Girl At The Window)
Penulis: Tetsuko Kuroyanagi
Penerbit: Gramedia
Tebal: 271 halaman
Tahun Terbit: Mei 2013 (Cet Pertama), Juli 2013 (Cet Ke-2)