"Lebih baik segera menyalakan lilin, dari pada mengutuk kegelapan"
~ A. Mustafa Bisri
Era globalisasi yang diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia. Persebaran informasi yang bisa diakses dengan mudah dan cepat mengakibatkan terjadinya perubahan budaya yang sulit terkontrol. Sayangnya perubahan budaya tersebut seringkali bukan menuju ke arah yang lebih baik, melainkan justru sebaliknya.
Besarnya tantangan era globalisasi bagi bangsa Indonesia kurang sebanding dengan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi yang kita miliki. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kita yang masih rendah merupakan realitas sosial yang tengah kita alami saat ini. Bangsa kita akan semakin tertinggal jika selamanya menjadi bangsa yang senang meniru dan membeli produk-produk bangsa asing. Indonesia akan menjadi negara yang lemah jika masyarakatnya tidak kreatif dan menghargai ilmu pengetahuan.
Untuk bisa menjadi bangsa yang mandiri, maju, dan bermartabat memang tidak semudah membalik telapak tangan. Harus ada upaya, dan itu harus melalui proses yang tidak sebentar.
Kaitannya dengan hal tersebut, barangkali kita perlu mengingat ungkapan yang mengatakan bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menghargai karya sastra. Karya sastra dipercaya ampuh memberikan berpengaruh terhadap transformasi kebudayaan. Transformasi kebudayaan yang dimaksud di sini adalah perubahan budaya yang menjadikan bangsa ini menuju ke arah yang lebih baik. Karena itulah, sastra tidak boleh diremehkan. Sastra merupakan dokumen kebudayaan yang menjadi salah satu tiang peradaban.
Karya sastra telah diyakini keunggulannya untuk untuk mengembangankan wawasan berpikir bangsa sehingga berperan untuk mencerdaskan bangsa. Bagi pembaca, karya sastra dapat menggugah perasaan, mendorong orang memikirkan masalah masyarakat dan manusia. Membaca karya sastra memungkinkan seseorang mendapat masukan tentang manusia atau masyarakat dan menimbulkan pikiran serta motivasi untuk berbuat sesuatu bagi kemanusaian atau masyarakat itu. Setelah itu, akan timbul kepedulian pribadi dan anggota masyarakat terhadap apa yang dihadapi masayarakat.
Mochtar Lubis dengan yakin pernah mengungkapkan bahwa sastra mampu menggerakkan gelombang kesadaran masyarakat, serta menyuntikan motivasi masyarakat guna melakukan loncatan tranformasi kebudayan selekas-lekasnya. Sebab karya sastra memiliki spririt untuk membangun nilai-nilai kemajuan. (Ramadhan K.H (Ed), 1995: 80)
Membaca karya sastra diyakini bisa menjadi cara ampuh untuk mengasah imajinasi yang amat dibutuhkan dalam perkembangan sebuah bangsa. Tidak heran jika di negera-negara maju seperti Jerman, Perancis, Belanda mewajibkan siswa SMA harus menamatkan hingga 22-32 judul buku sebagai syarat kelulusan. Sementara di Indonesia anak-anak muda justru tenggelam pada televisi. Televisi telah menjadikan otak generasi muda menjadi pasif, imajinasi melemah, dan pada akhirnya membunuh pelan-pelan kreativitas yang dimiliki.
Sastra juga dapat mengarahkan kepada pemberdayaan yang bukan saja membuat orang memiliki ketegasan, tetapi juga mampu menghadapi tantangan masa depan. Begitu besarnya pengaruh karya sastra sehingga para ahli kebudayaan tidak ada yang meremehkan kekuatan sastra.
Meskipun karya sastra bersifat imajiner, namun tetap masuk akal dan mengandung kebenaran (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyanto, 1995: 2). Hal tersebut dikarenakan pengarang mengemukakan realitas dalam karyanya berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Karya sastra tidak tercipta begitu saja, tetapi merupakan produk intelektual dan perenungan yang terkadang dikerjakan dengan riset yang mendalam. Selain sisi estetika (keindahan), di dalam karya sastra terdapat keseriusan yang tidak jarang memunculkan unsur ilmu pengetahuan. Maka, dengan membaca karya sastra pembaca akan bisa menemukan (bukan diajari) nilai-nilai kemanusiaan. (Basuki Ks, 2005: 20)
Oleh sebab itu, dengan menjadikan sastra sebagai agen transformasi kebudayaan maka harapan terwujudnya sebuah bangsa yang maju jadi semakin besar. Sebaliknya, mengesampingkan peran sastra, memandangnya sebelah mata, atau bahkan menilainya sebagai sampah yang tidak beruguna dan tidak berdampak apa-apa adalah awal kehancuran sebuah bangsa.
Catatan: Esai ini pernah dimuat di Harian Republika, Ahad, 9 Juni 2013.