Beberapa kawan, blogger khususnya, pernah menuliskan tentang Kopi Bowongso. Dari posting-posting itulah publik bisa mendapatkan informasi yang cukup detail, yang kemudian membuat penasaran, dan akhirnya tergerak untuk datang langsung ke desa yang terletak di lereng Sumbing tersebut.
Termasuk saya. Mulanya saya ngopi sebatas senang saja, biar lidah tidak pahit dan merokok pun jadi enak, juga tubruk melulu metodenya. Tapi obrolan-obrolan soal kopi yang marak, di tengah bincang buku bersama rekan, di kala menunggu bel masuk kelas, di media sosial, membuat saya tergoda untuk tahu lebih banyak soal kopi. Kedai-kedai juga mulai tumbuh di kota Wonosobo, dan ini begitu menggembirakan bagi orang yang sepakat bahwa nongkrong sambil ngopi bisa memberikan warna tersendiri pada hidup.
Kian memuncak penasaran saya dengan Kopi Bowongso setelah mencoba beberapa kopi hasil roasting Pak Harjanto (pemilik Dee Coffe), lalu Kopi Arabika Temanggung. Adakah kopi wonosobo yang lebih enak dari Pedicof (Pleatu Dieng Coffee) Arabika Single Original? Ada.
Ah, sebentar. Soal enak, kurang enak, atau tidak enak, sebenarnya soal selera saja. Kalau menurut saya kopi Bowongso lebih enak ketimbang pedicof misalnya, itu sah saja, begitu pula jika anda berpendapat sebaliknya.
Berkunjung langsung ke Bowongso, lalu menyeduh Kopi Arabika dan Kopi Luwak liarnya membuat saya percaya bahwa “kenikmatan secangkir kopi tidak dipengaruhi oleh proses penyeduhan, malainkan juga perjuangan untuk mendapatkannya”. Andai saja saya membeli kopi Bowongso di Toko Aneka (Sejauh ini kopi Bowongso tidak dipasarkan di toko oleh-oleh Wonosobo. Soal itu saya jabarkan nanti), mungkin rasa dan perasaan nikmat itu tidak sedalam sore itu.
Sore itu sebenarnya masih siang, tetapi mendung dan hawa dingin pegunungan sempurna mencipta suasana sore. Saya datang bersama Dhimas, si penulis buku Catatan Kopi dan Pejuang Skripsi. Dhimas mengaku sudah sekali datang ke Bowongso, dengan demikian saya tidak perlu lagi buka-buka google map. Perjalanan kami lancar tanpa cela. Kalau terpaksa saya harus turun karena Kharisma Dhimas tak kuat membawa beban dosa tubuh saya yang ringkih, itu justru bagian dari perjuangan yang membuat kami diganjar dengan Kopi Luwak Liar paling enak di dunia. Di surga, apakah ada?
Ketika kami tiba, kami di sambut hangat di ruangan yang sepertinya sudah disetting seperti warung. Tapi ini rumah. Dan karena momennya masih lebaran, maka kue dan jajan tradisional masih berjajar di meja. Saya yakin, itu tidak untuk dijual.
Order Kopi Bowongso Bisa melalui Bukalapak dan Tokopedia
https://www.bukalapak.com/p/food/minuman/4skhze-jual-kopi-arabika-bowongso-lereng-sumbing-premiumhttps://www.tokopedia.com/kopirejeki/kopi-arabika-bowongso-wonosobo-lereng-sumbing-1
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang membuat saya terperangah adalah sebuah mesin yang tampak begitu gagah sedang menderu, operatornya cuma satu, Mas Eed, begitu kami akrab memanggilnya.
Tidak semua orang bisa paham bagaimana roasting kopi yang bagus. Ya, beberapa artikel tentang kopi sudah saya baca, dan saya tidak kaget lagi. Tapi alat itu, gagah betul. Puluhan juta harganya. Kelak, baru saya tahu mesin roasting kopi itu buatan dalam negeri. Kelompok Tani Bina Sejahtera yang mendapatkan alat tersebut dari Dinas Pertanian.
Ada banyak pelajaran saya dapatkan selama kunjungan mendadak itu. Tentunya, berkait dengan sejarah Kopi Bowongso serta perjuangan Mas Eed dan teman-temannya dalam meningkatkan dan menjaga kualitas kopi. Saya akan tuliskan soal itu secara terpisah.
Tulisan ini adalah bagian pertama dari beberapa catatan seputar kopi Wonosobo.