Memasyarakatkan IPTEK Lewat Fiksi

Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seringkali hanya dipahami sebagai sebuah produk yang sudah jadi. Masyarakat menganggap hukum-hukum serta rumus-rumus fisika atau matematika sebagai sesuatu yang biasa. Sedikit saja orang yang kemudian mempertanyakan, kapan dan bagaimana sebuah suatu rumus fisika atau matematika ditemukan.

Selain kenyataan di atas, pelajaran-pelajaran sains di sekolah juga seringkali dianggap sebagai sesuatu yang rumit, sulit, dan bahkan menakutkan. Para siswa kerap menganggap bahwa mata pelajaran sains hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi. Mitos-mitos tersebut telah berjalan turun-temurun sehingga membuat generasi muda di Indonesia pada akhirnya memilih menjauhi dunia sains dan merasa “bangga” hanya menjadi penonton dan penikmat (konsumen).

Pertanyaannya, bagaimana untuk lebih mengakrabkan sains dengan masyarakat? Kita tahu, kebanyakan orang masih menganggap sains hanya bisa dipelajari di laboratorium, dengan peralatan dan bahan-bahan tertentu sebagaimana sering kita saksikan di tayangan-tayangan televisi. Padahal tidak melulu begitu. Sebenarnya, sains bisa pula dipelajari oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, melalui berbagai media. Salah satu media yang ampuh untuk mengakrabkan masyarakat dengan sains adalah sastra, khususnya fiksi sains.
Melalui karya-karya fiksi sains, yang di dalamnya dipadukan antara sains dan fiksi, membuat citra sains yang selama ini dianggap berat dan sulit menjadi lebih ringan. Sehingga hal ini akan menarik minat masyarakat yang tadinya menjauhi sains karena menganggapnya sulit.

Fiksi sains bisa menjadi salah satu sarana yang efektif dan komunikatif untuk mengenalkan dan menarik minat masyarakat terhadap dunia IPTEK. Terkadang IPTEK dianggap sebagai sesuatu yang sulit karena orang tidak mengerti dengan istilah-istilah IPTEK yang asing. Tetapi dalam fiksi sains, istilah-istilah IPTEK seringkali lebur dalam cerita, disertai penjelasan-penjelasan yang mudah dipahami. Orang yang ingin memahami cerita terkadang dituntut untuk juga memahami istilah-istilah tersebut.

Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, misalnya, di dalamnya banyak kita dapatkan istilah-istilah fisika dan biologi. Meski tidak semua istilah diterangkan dalam catatan-catatan khusus, tetapi istilah-istilah tersebut menjadi akrab bagi pembaca dan pada akhirnya menarik minat mereka terhadap masalah-masalah sains.
Fiksi sains, yang biasanya di dalamnya memuat perkembangan-perkembangan IPTEK, telah berperan serta membuat masyarakat mengenal sains lebih dekat tanpa merasa digurui. Kemungkinan-kemungkinan munculnya teknologi masa depan di dalam karya fiksi sains juga bisa memotivasi dalam memelakukan perkembangan dan pemanfaatan IPTEK untuk berbagai kebutuhan.

Fiksi sains juga bisa menjadi sarana belajar tentang kehidupan karena di dalamnya terdapat kisah-kisah tentang kemanusiaan. Sedangkan kehidupan, kita tahu, tidak bisa dipisahkan dari lingkungan atau alam sekitar kita. Siapa yang tidak tahu bahwa membuang sampah di sungai akan berdampak banjir dan kerusakan lingkungan yang lain? Tetapi pemahaman saja tidak cukup untuk mendorong orang merubah prilaku masyarakat yang “jahat” terhadap alam. Di sinilah, fiksi sains mengambil perannya. Sebab lewat karya fiksi, orang diajak bukan saja untuk memahami, lebih dari itu adalah untuk merenungi, sehingga yang muncul kemudian adalah kesadaran yang muncul dari dalam.

Selain lewat fiksi, upaya untuk mensosialisasikan IPTEK memang mesti ditempuh dengan berbagai cara lainnya. Olimpiade sains, lomba-lomba sains, penerjemahan buku-buku IPTEK, dan media (cetak dan elektronik) juga harus turut serta berpartisipasi. Dengan itu, diharapkan masyarakat Indonesia tidak lagi buta dan gagap ilmu pengetahuan dan teknologi.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »