Menulis karya fiksi bukan hanya bisa dilakukan orang-orang yang pernah kuliah di Burusan Bahasa dan Sastra atau para guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia. Semua guru, apa pun mata pelajaran yang diampu, juga bisa menelorkan karya fiksi. Putu Wijaya, yang terkenal dengan cerpen-cerpen terornya, bukankah lulusan Fakultas Hukum? Tahukah anda, jika ternyata Taufik Ismail adalah lulusan jurusan Kedokteran Hewan?
Yang menarik, dua guru penerima Penghargaan Sastra dari Badan Bahasa tahun 2011 ternyata bukan guru Bahasa Indonesia. Krishna Miharja dan Kemalawati adalah dua sastrawan yang mengajar Matematika. Ini menunjukkan bahwa menulis karya fiksi (cerpen, puisi, novel, drama) bisa dilakukan oleh semua orang. Emha Ainun Nadjib, Andrea Hirata, dan banyak lagi sastrawan kita, sama sekali tidak pernah menempuh pendidikan formal di Fakultas Sastra.
Menulis karya fiksi itu gampang. Buktinya belum pernah kita menemukan buku tentang teknik mengarang dengan judul semirip Mengarang itu Sulit. Justru yang kerap terbit adalah buku-buku semacam karya Arswendo Atmowiloto bertitel Mengarang itu Gampang yang sudah terbit sejak tahun 1980-an, atau e-book AS. Laksana berjudul Menulis Buku dalam 21 Hari.
“Saya sudah mengkhatamkan bukunya Arswendo, tapi tetap tidak bisa menulis cerpen!”
“Jangankan 21 hari, 1000 tahun pun aku tidak bisa menghasilkan 1 buku, padahal sudah kubaca berkali-kali e-book A.S Laksana itu.”
Masa’ iya? Bisa jadi.
Menulis, memang butuh teknik, dan kita bisa mempelajari teknik menulis karya fiksi dalam buku-buku praktis yang banyak beredar di pasaran. Tapi ada yang lebih penting ketimbang teknik, yakni praktek. Bacalah seribu tips menulis, dan kita tetap tidak akan pernah menghasilkan karya jika hanya berandai-andai saja. Satu-satunya cara untuk bisa menghasilkan karya sastra adalah menulis itu sendiri.
Oke, anggaplah kita sudah mempelajari teknik menulis. Kita juga sudah mulai rajin menulis dan sudah menghasilkan beberapa karya. Tapi kadang-kadang kita kehabisan ide. Kita tidak punya bahan untuk dituangkan dalam karya fiksi. Solusinya? Membaca!
Modal seorang penulis adalah pengalaman. Karya fiksi tidak lahir dari ruang hampa. Peran imajinasi memang sangat besar, tetapi imajinasi saja tidak cukup tanpa adanya pengalaman. Pengalaman itu ada dua, langsung dan tidak langsung. Pengalaman langsung adalah apa yang kita lihat, dengar, rasakan, dan alami. Sedangkan pengalaman tidak langsung dapat kita miliki dengan membaca. Saya tidak punya pengalaman berkomunikasi dengan jin, tetapi saya bisa menulis novel Jehenna yang tokoh utama seekor jin. Saya tidak asal menulis, tidak asal berimajinasi, melainkan terlebih dulu melakukan riset yang mendalam tentang sosok makhuk gaib itu. Tanpa referensi, baik dari buku atau pengalaman orang lain, mustahil saya bisa menulis.
Selain menambah pengalaman dan perbendaharaan kata, dengan membaca kita juga mempelajari bagaimana menghasilkan karya fiksi yang baik. Maka, jika kita ingin menulis puisi, tentu saja kita mesti banyak membaca puisi orang lain. Tentunya karya yang baik. Dan membaca novel yang baik menjadi makanan wajib bagi seseorang yang ingin karya novel. Meski begitu, bukan berarti kita hendak menjadi plagiator. Bukan pula berarti bacaan-bacaan karya non-fiksi kita jauhi. Tentu saja penulis novel, cerpen, atau puisi sangat penting membaca buku-buku non-fiksi. Dalam karya fiksi juga ada logika. Ketika ia menggarap tokoh seorang dokter, maka mau tidak mau mesti mengerti bagaimana kerja seorang dokter, juga ilmu-ilmu kedokteran, meski tidak harus mendalam.
Begitulah. Langkah menulis fiksi ternyata hanya ada tiga: menulis, membaca, menulis. Mudah ‘kan? Jadi, ayo menulis fiksi!
Salam
Yang menarik, dua guru penerima Penghargaan Sastra dari Badan Bahasa tahun 2011 ternyata bukan guru Bahasa Indonesia. Krishna Miharja dan Kemalawati adalah dua sastrawan yang mengajar Matematika. Ini menunjukkan bahwa menulis karya fiksi (cerpen, puisi, novel, drama) bisa dilakukan oleh semua orang. Emha Ainun Nadjib, Andrea Hirata, dan banyak lagi sastrawan kita, sama sekali tidak pernah menempuh pendidikan formal di Fakultas Sastra.
Menulis karya fiksi itu gampang. Buktinya belum pernah kita menemukan buku tentang teknik mengarang dengan judul semirip Mengarang itu Sulit. Justru yang kerap terbit adalah buku-buku semacam karya Arswendo Atmowiloto bertitel Mengarang itu Gampang yang sudah terbit sejak tahun 1980-an, atau e-book AS. Laksana berjudul Menulis Buku dalam 21 Hari.
“Saya sudah mengkhatamkan bukunya Arswendo, tapi tetap tidak bisa menulis cerpen!”
“Jangankan 21 hari, 1000 tahun pun aku tidak bisa menghasilkan 1 buku, padahal sudah kubaca berkali-kali e-book A.S Laksana itu.”
Masa’ iya? Bisa jadi.
Menulis, memang butuh teknik, dan kita bisa mempelajari teknik menulis karya fiksi dalam buku-buku praktis yang banyak beredar di pasaran. Tapi ada yang lebih penting ketimbang teknik, yakni praktek. Bacalah seribu tips menulis, dan kita tetap tidak akan pernah menghasilkan karya jika hanya berandai-andai saja. Satu-satunya cara untuk bisa menghasilkan karya sastra adalah menulis itu sendiri.
Oke, anggaplah kita sudah mempelajari teknik menulis. Kita juga sudah mulai rajin menulis dan sudah menghasilkan beberapa karya. Tapi kadang-kadang kita kehabisan ide. Kita tidak punya bahan untuk dituangkan dalam karya fiksi. Solusinya? Membaca!
Modal seorang penulis adalah pengalaman. Karya fiksi tidak lahir dari ruang hampa. Peran imajinasi memang sangat besar, tetapi imajinasi saja tidak cukup tanpa adanya pengalaman. Pengalaman itu ada dua, langsung dan tidak langsung. Pengalaman langsung adalah apa yang kita lihat, dengar, rasakan, dan alami. Sedangkan pengalaman tidak langsung dapat kita miliki dengan membaca. Saya tidak punya pengalaman berkomunikasi dengan jin, tetapi saya bisa menulis novel Jehenna yang tokoh utama seekor jin. Saya tidak asal menulis, tidak asal berimajinasi, melainkan terlebih dulu melakukan riset yang mendalam tentang sosok makhuk gaib itu. Tanpa referensi, baik dari buku atau pengalaman orang lain, mustahil saya bisa menulis.
Selain menambah pengalaman dan perbendaharaan kata, dengan membaca kita juga mempelajari bagaimana menghasilkan karya fiksi yang baik. Maka, jika kita ingin menulis puisi, tentu saja kita mesti banyak membaca puisi orang lain. Tentunya karya yang baik. Dan membaca novel yang baik menjadi makanan wajib bagi seseorang yang ingin karya novel. Meski begitu, bukan berarti kita hendak menjadi plagiator. Bukan pula berarti bacaan-bacaan karya non-fiksi kita jauhi. Tentu saja penulis novel, cerpen, atau puisi sangat penting membaca buku-buku non-fiksi. Dalam karya fiksi juga ada logika. Ketika ia menggarap tokoh seorang dokter, maka mau tidak mau mesti mengerti bagaimana kerja seorang dokter, juga ilmu-ilmu kedokteran, meski tidak harus mendalam.
Begitulah. Langkah menulis fiksi ternyata hanya ada tiga: menulis, membaca, menulis. Mudah ‘kan? Jadi, ayo menulis fiksi!
Salam