Cara Bijak dan Cerdas Menentukan Pilihan!



Mau makan apa, mau sekolah di mana, mau menikah dengan siapa, istri berapa, nyontreng siapa, membuka usaha apa, dan seterusnya. Semuanya serba pilihan. Karena itu, barangkali tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa belajar menentukan sebuah pilihan harus ditempatkan sebagai ilmu dasar yang mesti diberikan, dicari, dan dipelajari oleh siapa pun. Bahkan, jika perlu, pelajaran “menentukan memilih” bisa diajarkan secara khusus di sekolah-sekolah, pondok pesantren, dan bahkan perguruan tinggi. Kenapa?
Agar tidak lebih banyak lagi orang kebingungan, yang kemudian karena kebingungannya itu ia menjadi putus asa dan bunuh diri. Juga agar manusia tidak masuk ke dalam golongan tabi’isme (pengikut) alias mbebek, atau taklid buta. Taklid dan sejenisnya memang satu jenis pilihan juga, tetapi sebelum memutuskan untuk taklid semestinya akan didasari dengan pertimbangan-pertimbangan.
Ilmu “menentukan pilihan” juga penting guna menangkal kesesatan dan kemungkaran. Kenapa memilih Islam? Apakah karena orangtuamu Islam? Bagaimana jika orang tuamu pindah agama, apakah kamu akan tetap Islam? Saya pernah tanyakan itu ke siswa-siswa kelas VII yang notabene Islamnya masih ikut-ikutan doang.
Ada cerita, seorang anak muda yang baru tumbuh jakunnya, yang alim dan rajin ibadah, pada suatu hari disodori minuman keras oleh kawan-kawan karibnya. Ia dihadapkan pada dua pilihan. Jika ia meminumnya maka itu artinya ia melakukan dosa besar. Jika tidak meminumnya ia akan dimusuhi kawan-kawannya. Dua kekuatan berperang dalam hati dan pikirannya. Siapakah pemenangnya, sangat ditentukan oleh cerdas dan arif-nya sang pemilih itu sendiri.
Cerita lagi, seorang Guru Wiyata ditawari seorang oknum agar membayar sekian juta untuk membeli SK PNS. Mungkin Guru tersebut nurut lalu akan menjual sawah ayahnya, atau ia menolaknya dengan santun, atau bisa jadi ia melaporkan oknum tersebut ke polisi.
Tuhan telah membekali manusia dengan akal dan hati, tidak lain sebagai bekal kita dalam menentukan pilihan. Mau golongan hijau, kuning, merah, biru atau putih? Ya, golput juga sebuah pilihan. Melawan kemungkaran dengan tangan, mulut, atau sebatas hati, kita mau milih mana? Diam juga bagian dari pilihan.
Seorang bocah memutuskan untuk menangis demi mendapatkan boneka di rak sumpermarket, dan seorang pemuda juga memilih menangis di depan ayahnya demi mendapat restu ayahnya menikahi gadis yang ia cintai. Bocah tersebut akhirnya mendapatkan boneka yang ia maui, makanya ia terus menangis dan menangis setiap permintaannya tidak dituruti. Sementara pemuda cengeng itu justru dikurung dalam kamar oleh ayahnya. Itulah, potret kecil dari sebab-akibat pilihan, sebelum dan setelah pilihan ditetapkan.
Seorang Mahasiswa memilih aksi bakar diri di depan gedung Dewan sebagai bentuk perlawanan, sementara sekelompok masa memutuskan untuk membakar rumah bordil. Itulah pilihan! Dan kita, sebagai penonton kemudian akan menilai pilihan-pilihan yang dilakukan orang lain. Lalu memberikan pendapat seusai dengan keilmuan dan sudut pandang kita masing-masing.
Dalam menentukan pilihan, tentu kita tidak boleh hanya mengandalkan bantuan otak, baik otak kanan atau otak kiri. Jika hanya otak yang kita pakai, bisa jadi pilihan kita tergolong cerdas, tetapi tidak bijak. Sebab, sangat mungkin bukankah pilihan kita bergesekan, atau berbenturan dengan pilihan orang lain.
Dengarkan cerita ini: Seorang yang baru mengikuti seminar tentang otak kanan berniat mendirikan sebuah usaha. Ia sudah yakin usahanya akan sukses. Dengan berapi-api ia terangkan niatnya itu kepada orangtuanya.  Tetapi, di luar dugaan, orang tuanya tidak setuju, mengeluarkan berbagai argumen yang dihasilkan oleh otak kirinya yang kalkulatif dan tidak suka tantangan. Bagaimana kemudian si anak menyikapinya? Menerobos larangan orangtua? Atau patuh? 
Benturan antara pilihan sang anak dengan orangtua sangat sering terjadi. Tak jarang bahkan diakhiri dengan tikaman pedang. Maka, bagi saya, mengalah atau patuh pada pilihan orang tua adalah yang bijak, terutama untuk urusan-urasan yang besar, seperti jihad, menikah, atau ketika hendak memulai bisnis-bisnis besar. 
Nabi sendiri melarang seseorang yang hendak berjihad sebelum mendapatkan ijin dari orangtuanya. Nah lho!
Masih tentang pilihan. Soal kemiskinan yang membludak di negeri ini membuat presiden memberikan aneka subsidi. Itu merupakan satu pilihan dari bermacam pilihan solusi membantu masyarakat kelas bawah. Tetapi apakah pilihan itu merupakan pilihan yang bijak? Sebagaimana dua pilihan, memberikan ikan atau kail? Memberikan receh atau memberi pekerjaan? Nah!
Pilihan! Kaum beriman percaya bahwa keputusan kita dalam menentukan sebuah pilihan juga dipengaruhi faktor eksternal. Yakni, kekuatan gaib yang bekerja di luar diri kita. Di dalam Islam ada yang dikenal dengan istikhara’ (minta dipilihkan). Istikhara’ ini merupakan sebuah usaha untuk mendapatkan pilihan yang terbaik dengan melakukan amalan-amalan tertentu.
Tuhanlah Maha membolak-balikkan hati manusia. Maka, ketika engkau dihadapkan dengan pilihan-pilihan, terutama pilihan-pilihan yang rumit, maka mintalah bimbingan Tuhan agar diberi jalan yang terbaik. Bukankah keragu-raguan itu datangnya dari syetan? Maka, mantapkan pilihanmu!
Yang sering disalah pahami, bahwa istikhara’ ini hanya dilakukan dengan cara shalat dua ra’aat yang dikenal dengan shalat istikhara’. Padahal istikhara’ ini sangat luas maknanya dan ada bermacam cara melalukannya. Meminta pendapat teman,  keluarga, Kiai, juga bagian dari istikhara’.
Ada juga ulama yang memberikan nasehat, bahwa ketika bermacam cara istikhara’ mulai dari shalat dan meminta pendapat orang lain belum membuat hati kita mantap, maka ambillah al-Qur’an, baca shalawat nabi tiga kali, an-naas tiga kali, lalu mohonlah kepada Allah agar Ia memberikan petunjuk melalui kalamullah. Lalu bukalah mushaf al-Qur’an, dan bacalah ayat pertama di sudut kanan paling atas. Jika itu adalah ayat-ayat tentang kebaikan, misal tentang surga keimanan, maka lakukanlah apa yang menjadi niatmu. Dan sebaliknya, jika itu adalah ayat-ayat ancaman, larangan, siksaan dan sejenisnya maka jangan lakukan. Cara seperti ini tentu tidak tepat untuk memutuskan memilih Siti atau  Zainab, Ahmad yang tampan atau Ghufron yang kaya. Untuk soal memilih jodoh  mungkin cukup dengan shalat istikhara dan dialog dengan orang-orang di sekitar.
Semoga kita senantiasa mendapatkan bimbingan Allah dalam menentukan pilihan!

Nb:
Tentu tidak perlu shalat istikhara’ kalau hanya untuk memutuskan menulis komentar atau tidak untuk artikel “cara cerdas dan bijak menentukan pilihan!”

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

10 comments

comments
27 Desember 2012 pukul 22.24 delete

sukron ya akhi,,,,taxs nya sangat bermanfaat,,

Reply
avatar
13 Februari 2013 pukul 09.54 delete

sangat bermanfaat sekali...
Saya ijin copas ke blog saya ya...
Thanks....

Reply
avatar
26 Februari 2013 pukul 19.59 delete

ya, seperti sekarang sya hasus memilih apakah saya tetep sebagai guru ataukah pindah kerja yg penghasilannya lebih besar. Apalagi kebutuhan dan keluarga menyuruh sy untuk keluar...

Reply
avatar
15 September 2013 pukul 20.55 delete

sama-sama akhi. terimakasih. salam

Reply
avatar
15 September 2013 pukul 20.56 delete

ya, silahkan. semoga tambah manfaat. salam

Reply
avatar
15 September 2013 pukul 20.58 delete

hidup kadang dilematis gitu ya, DEvinza. Saya sendiri tetap bertahan sebagai guru non-PNS, belum sertifikasi, dan tentu dengan gaji yang pas-pasan. Tapi alhamdulillah, rejeki tidak ditentukan oleh apakah kita menjadi guru atau apa. yang penting bekerja. semoga diberi bimbingan Tuhan. salam

Reply
avatar
Anonim
29 November 2013 pukul 12.43 delete

tetapi tetap semua kembali kepada Allah.. pilihan Allah yg paling benar. :D

Reply
avatar
13 Juli 2015 pukul 16.45 delete

bagaimana cara membedakan yang benarm, cita2 atau kebutuhan , sekiranya mohon tolong di jelaskan

Reply
avatar
28 Agustus 2016 pukul 22.09 delete

Saya anak sma tapi tinggi z hanya 120cm ibu z ingin membelikan z motor tapi z bingung antara jupiter mx king 150 dan jupiter z1 karna badan z pendek mohon di jawab

Reply
avatar