Menerbitkan majalah sekolah kelihatannya mudah. Dan memang mudah, meski tidak sangat. Setidaknya itulah pengalaman kami, saya khususnya.
Prestasi, itulan nama majalah sekolah kami. Agaknya sudah ada nama yang serupa, entahlah. Majalah tersebut sudah terbit satu kali ketika saya bergabung di MTs Negeri Wonosobo. Lalu selama beberapa tahun tidak terbit. Barulah pada November 2012 dan Desember 2013 dapat terbit lagi. Semoga ke depan, majalah kami dapat terus terbit rutin setahun sekali. Kalau bisa setahun dua kali, kata yang lain.
“Setahun sekali saja sudah cukup menguras tenaga apalagi setahun dua kali.” Begitulah kata hati saya. Bagaimana tidak? Mengumpulkan artikel guru dan siswa, membuat liputan selama setahun, memilih tema utama, bukanlah sesuatu yang gampang. Belum lagi ketika artikel sudah terkumpul. Saya yang ditugasi sebagai editor benar-benar kewalahan. Selain memangkas sana-sini agar artikel tidak kepanjangan, juga harus memperbaiki kalimat dan ejaan alay yang betebaran di muka bumi.
Pekerjaan itu saja membutuhkan waktu lembur yang cukup panjang. Belum pula mengkoordinasi dengan tukang layout yang harus terus dipantau (meski bisa lewat online), dan percetakan. Tapi toh itu bisa dilewati. Artinya, memang mudah, meski ribet dan melelahkan.
Untuk tahun ini majalah Prestasi sudah memiliki ISSN. Konon, kalau ada nomor itu, tulisan guru dapat digunakan untuk angka kredit kenaikan jabatan. Terus terang saya tidak begitu paham soal itu, GTT tidak berurusan dengan angka kredit. Hehe..
Tujuan kami, tim redaksi, mendaftarkan majalah itu ke Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII), adalah agar majalah tampak lebih gagah, resmi, bukan barang mainan. Tapi ternyata, begitu ISSN majalah muncul, setelah terlebih dulu mengajukan surat permohonan dan membayar Rp. 200.000 ke PDII, agaknya banyak guru yang tertarik menulis. Entah ini sekadar bisik-bisik atau kabar yang terbukti kebenarannya. Saya belum akan mempercayainya sampai nanti tiba waktunya bagi tim redaksi untuk kembali mengumpulkan tulisan dari para guru.
Tradisi Literasi
Kelemahan bangsa ini salah satunya adalah masih banyaknya masyarakat yang abai pada tradisi literasi. Banyak orang pandai bicara di mimbar, tetapi begitu diminta menuliskan gagasan besarnya ia kewalahan. Lebih banyak orang suka mendengar atau menonton ketimbang membaca. Kalau yang begituan terus dirawat, wah bisa gawat. Karenanya, geliat literasi meski ditumbuhkan. Sekolah harus bisa mengawalinya, dan guru harus menjadi model utama. Lebih dari itu, kita juga membutuhkan sesuatu untuk membangun tradisi literasi yang lebih kuat, salah satunya adalah dengan menerbitkan majalah sekolah. Atau mading. Atau buletin. Atau Blog. Atau apalah, yang penting dapat menampung dan memacu dalam menulis dan membaca.
Tentu saja majalah, mading, buletin, atau blog sekolah tidak cukup bisa diandalkan, tetapi memerlukan program lain yang saling mendukung. Maka, kegiatan ekstrakulikuler Jurnalistik dan penulisan kreatif penting pula diadakan. Lalu perpustakaan juga dihidupkan lagi. Dan ajang class meeting tidak hanya diisi dengan lomba tarik tambang, tetapi juga lomba-lomba berkaitan dengan literasi.
Bagaimana menurutmu?