
Mereka,
para aktivis itu, memang sengaja singgah ke gubug saya. Selain sebentar
melepas lelah, mereka sekalian ingin mengambil novel saya yang berjudul
“Mimpi Rasul; Kisah Bibir yang Ingin Dicium Rasulullah Saw”.
Novel tersebut rencananya akan mereka diskusikan dalam forum diskusi
rutin mereka di Pojok Nusantara Purwokerto (persisnya di mana, saya
belum pernah ke sana).
Acara
yang rencananya akan dilaksanakan pada hari Senin, 28 November 2011 itu
merupakan diskusi Mimpi Rasul yang ke empat. Sebelumnya, Mimpi Rasul
sudah didiskusikan di Karta Pustaka Jogjakarta, 21 Juli 2011 yang
dibedah oleh Hamdi Salad. Dalam acara tersebut juga diulas dua buku
sastra lainnya, yakni Surat dari Matahari (Kumpulan Puisi) karya Syaifuddin Gani yang dibedah oleh TS Pinang, juga buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karya Nurel Zavissyarqi yang dibedah oleh Aguk Irawan NM.

Sekitar
dua bulan kemudian, saya dan “Mimpi Rasul” dan ditemani oleh dua
sahabat baik saya, Indrian Koto dan Mahwi Air Tawar, meluncur dari Jogja
ke Surabaya dengan kereta Sri Tanjung untuk didiskusi Novel Mimpi Rasul
di Balai Pemuda Surabaya, 30 Oktober 2011. Acara yang dimasukkan dalam
agenda bulanan Halte Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur tersebut
berlangsung menggairahkan. Pembedahnya adalah Mashuri, novelis pemenang
sayembara novel DKJ tahun 2006. Hadir juga sastrawan-sastrawan nasional,
diantaranya Mardi Luhung dan Imam Muhtarom.

Kami
tidak langsung kembali ke Jogja karena dua hari setelah itu Mimpi Rasul
dibawa ke Mojokerto untuk dibedah bersama Iin Pritiani (Guru), Cak
Supali (Seniman Ludruk) dan dimoderatori oleh Diana AV Sasa (Kerani
D-Buku, Surabaya). Semuanya berjalan lancar, selancar napas ini.
Silaturrahim Karya
Dalam
forum-forum tersebut, saya selalu mengawali pembicaraan dengan ucapan
terimakasih kepada panitia penyelenggara sebelum kemudian menyatakan
tujuan saya yang paling utama. Apa itu? Silaturrahim (atau
silaturrahmi?). Ya, tujuan utama saya membawa Mimpi Rasul ke beberapa
kota tidak lain adalah untuk itu. Bertemu dengan teman-teman sastrawan
di beberapa kota, juga para penikmat dan pecinta sastra, adalah suatu
keindahan. Tidak ada yang lebih indah dari pertemanan, demikian seorang
teman pernah berkata. Soal Promosi, saya selalu berusaha meletakkannya
di nomor tiga. Sedangkan nomor dua-nya adalah mengenalkan kepada publik
tentang telor yang sudah saya tetaskan. Telor yang diberi judul Mimpi
Rasul, novel ketiga saya setelah Jehenna dan Burung-Burung Cahaya.
Seorang
penulis yang sudah menghasilkan buku, lebih-lebih yang tergolong
penulis baru, ya harus begitu, karyanya harus dibawa keliling untuk
didiskusikan, demikian wejangan yang saya terima dari Mas Joni
Ariadinata pada suatu waktu.
Dengan
berkeliling, akan kita dapatkan banyak hal yang baru, baik itu teman,
pengalaman, atau kertas yang ada angkanya (jika beruntung). Kalau tidak
mau begitu ya percuma. Lho, kalau bukan kita yang berjuang
mengenalkan karya kita sendiri terus siapa lagi? Untuk apa kita
menelorkan karya kalau tidak ada yang membaca dan mengapresiasi. Karl
Marx saja konon menulis sendiri resensi buku Das Capital dan
menyebarkannya ke banyak media sehingga buku tersebut pun akhirnya
dilirik orang. Ngawur sedikit tidak masalah, seperti Marx itu. Dan
memang harus berkorban, harus rela merogoh kocek sendiri karena
kebanyakan penerbit angkat tangan soal biaya promosi. Tapi tenang,
tenang, semua yang kita keluarkan tidak hilang. Semua akan diganti.
Sabar!