"Malaikat Tulisan" itu Menghantui Saya

Mestinya malam ini (29/10/2011) jadwal saya nulis novel, tetapi itu tidak saya lakukan. Suasana hati saya mendorong untuk menulis yang lain. Saya baru saja selesai membaca artikel yang ditulis oleh Agustini, Guru SMP N 2 Ungaran. Sebuah artikel yang termuat di Jawa Pos Radar Semarang, Minggu, 16 Oktober 2011. Koran lama yang saya pungut di dapur sekolahan. Artikel itu bertajuk, Karier Guru dan “Malaikat” Tulisan.
Selain judulnya yang menarik, tulisan tersebut juga menarik dari segi gagasan yang di angkat. Ia mencoba mempertanyakan sesuatu yang selama ini dianggap benar oleh banyak orang. Tentang kewajiban guru untuk membuat karya tulis ilmiah!

Menulis memang menyenangkan. Pernyataan tersebut tidak berlaku untuk semua orang. Banyak orang, dalam hal ini guru, menulis adalah hantu. Maka, ketika menulis karya ilmiah dijadikan syarat kenaikan pangkat banyak guru yang menggerutu.
Aturan pemerintah tersebut dimanfaatkan oleh EO dan orang-orang tertentu dengan mengadakan workshop atau seminar, yang ujung-ujungnya adalah duit. Para guru berduyun-duyun datang, tapi berapa orang yang kemudian mengaplikasikan ilmunya? Sebab menulis bukan semata soal teori. Maka, hasil pelatihan atau workshop sering kali hanya berbuah sertivikat.
Untuk bisa naik pangkat akhirnya banyak guru-guru yang membeli karya ilmiah di pasar buku bekas atau memesannya lewat iklan-iklan yang menyediakan jasa pembunuhan (mereka bilang bantuan).
Menurut Agustini, tidak semua guru yang kesulitan membuat karya tulis dikategorikan sebagai guru malas. Sebab tugas guru bukan main, lebih-lebih kalau guru itu punya anak kembar yang masih bayi, di rumah masih membuka usaha kathering untuk tabungan haji, dan tidak memiliki ibu rumah tangga. Atau guru itu sudah negeri, sudah sertivikasi, tetapi ia bertugas di bagian kurikulum dengan kerjaan berjubel yang seakan tidak ada henti-hentinya, repot benar. Mana sempat mikir tulisan. Mikir tugas dirinya sendiri dan mengatur siswa saja udah kewalahan. Maka, Agustini mempertanyakan, apakah profesional seorang guru mesti diukur dari membuat karya ilmiah?
Agustini juga menyutujui apa yang pernah ia dengar dari Guru Pemandu dalam sebuah acara yang ia ikuti: bahwa seseorang yang senang mengungkapkan sesuatu dalam bentuk verbal atau tulisan sebenarnya termasuk orang yang cenderung berpikir sistematis, tetapi kurang praktis dan kreatif.
Intinya, Agustini resah dan kasihan dengan kawan-kawannya yang kesulitan menulis dan yang keberatan jika harus menyerahkan “nasib” karir mereka di tangan “malaikat” tulisan. Katanya, jangan sampai esensi sebuah tulisan yang seharusnya menarik dan berbobot menjadi serampangan dan kabur hanya karena sekadar memenuhi tuntutan supaya bisa mengajukan kenaikan tingkat atau biar tidak kehilangan keprofesionalan sebagai seorang guru.
Ah, ah, benar-benar “malaikat tulisan” Agustini ini mengajak kita untuk merenung.
Sekilas memang, apa yang disampaikan Agustini terkesan menohok. Pada beberapa bagian saya setuju, tetapi pada beberapa yang lain saya kurang sependapat.
Bahwa menulis menjadikan orang berpikir sistematis, iya, tetapi membuat orang tidak kreatif? Masa’ iya? Menulis, menurut saya adalah bagian dari sebuah proses kreatif, di mana kita menuangkan ide dan informasi dengan mengolah kata-kata. Maka salah besar jika seseorang yang doyan nulis cenderung tidak kreatif.
Hanya saja, menurut saya, menulis jadi kurang kreatif ketika ia berbentuk karya ilmiah. Penyusunan PTK misalnya, itu menurut saya mbulet, ribet, berbelit-belit, menyulitkan apa yang semestinya bisa dibuat mudah, lebih-lebih bagi pemula, bagi guru-guru yang jarang bersentuhan dengan dunia tulis menulis, yang skripsinya membeli—parah lagi. Mungkin sebenarnya gampang, tetapi jujur, saya tidak terlalu suka jika menulis mesti begini, mesti begitu. Menulis ya menulis, tidak usah diatur-atur harus gini dan gitu. Ada Pendahuluan, Isi, Penutup. Bebas sajalah. Hahaha…
Tetapi pemerintah menuntut guru bisa menyusunnya? Itulah yang bikin keki. Itulah yang mendebarkan hingga akhirnya banyak yang jatuh ke jurang kebodohan dan kehinaan, membeli dan memesannya pada orang yang sama bodohnya. Aduh! Aduh!
Saya tetap setuju jika menulis dijadikan syarat profesional seorang guru. Tetapi tidak harus karya ilmiah dong. Plisss ya, SBY? Tidak harus PTK. Melainkan menulis apa saja; puisi, cerpen, novel, catatan harian, termasuk menulis di blog. Sebab, sampai detik ini saya masih mengganggap bahwa menulis itu benar-benar mendatangkan manfaat yang besar. Jika ia seorang guru maka ia bukan hanya terbiasa berpikir kritis dan sistematis, tetapi juga bisa menyusun kalimat pertanyaan yang baik, dan lain sebagainya. Selain juga, karena aktifitas menulis harus diimbangi dengan membaca, maka guru yang senang menulis akan semakin luas khasanah ilmunya.
Kalau itu sudah lancar, barulah guru beranjak ke PTK atau karya ilmiah yang penuh dengan foot note.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »