Sastra, Sepak Bola, Sopir Bus yang Mesra dengan Ponselnya

“Gimana kalau disuksi dimajukan, tanggal 21?”

“Tak malasah!” jawab saya.

Dan beberapa hari kemudian, orang itu kembali mengirim pesan kepada saya:

Pojok nusantara edisi 21 nov 2011 hadir dg bedah novel "mimpi rosul" bersama jusuf an (empunya) dan heru kurniawan (dosen sastra). Pada pukul 20.00 wib. Diangkringan organik nusantara jalan masjid 33 purwokerto (dpn kantor komisi abcd dprd banyumas/ pdam lama). Monggo dirawuhi. Salam

Maka Senin itu, sekitar pukul setengah tiga, saya meluncur dengan bus Limex Indah jurusan Wonosobo-Purwokerto. Entah kenapa kemudian saya memilih duduk di jok depan, di dekat sang sopir. Saya lupa, sebagaimana sudah diketahui secara umum bus juruan Wonosobo-Purwokerto kerap ugal-ugalan di jalan raya. Dan memilih duduk di jok depan sama saja membiarkan jantung dipacu lebih kencang.

Benarlah, bus meliuk-liuk, berkali-kali menyalip kendaraan meski di depannya ada kendaraan. Mau tidak mau kendaraan yang beralawan arah mengalah dan ambil kiri jika tidak ingin tabrakan. Sesekali saya memejamkan mata dan berdoa memohon keselamatan.

Ah, saya jadi teringat sebuah lelucon. Bahwa nanti, di akhirat, para sopir bus akan surga surga lebih dulu dari pada Kiai. Sebab sopir telah berhasil membuat para penumpangnya berdoa, teringat Tuhan. Sedang ketika Kiai sedang berdoa, biasanya jamaahnya (penumpangnya) justru pada tidur.

Aduh!

Terus saya kepikiran juga, jika kau ingin mengetes keberanianmu, tak perlu jauh-jauh, cukup kau naik bus yang suka ngebut. Kalau perlu, carilah sopir yang nyetir sambil nelpon sepanjang jalan.

Nyetir sepanjang jalan sambil nelpon? Itulah kenyataan yang saya dapatkan. Sopir bus itu, tentu laki-laki, meski gondrong dan ngapak. Nyaris setiap lima menit sekali, dan kadang lebih cepat dari itu, ia akan mengangkat ponselnya disaku kemeja.

“Lima papat wes lewat (lima empat sudah lewat)? O, ya..ya.. oke..oke..”

Itu artinya, ia menanyakan informasi bus yang berada di belakangnya kepada sopir bus lain atau kepada seorang Timer. Timer adalah sebutan untuk seorang yang tugasnya memberikan informasi kepada sopir/kondektur bus mengenai bus-bus yang melintas. Informasi itu menyangkut pertanyaan seputar bus yang ada di belakangnya, perkiraan jumlah penumpang, dan kecepatan laju bus. Informasi ini penting bagi sopir bus dalam rangka mencari penumpang, selain juga untuk memutuskan mau melaju kencang atau lambat setelah mengetahui posisi bus yang ada di belakangnya.

Saya pernah mendengar, sepanjang Wonosobo-Purwokerto ada sekitar 5 Timer yang stanby di tempatnya masing-masing. Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi mereka punya paguyuban lho. Setiap bus yang melintasi sang Timer, akan melemparkan uang, sekitar 2 sampai 4 ribu rupiah. Uang yang terkumpul itu tidak semuanya dimakan sama sang Timer, tetapi sebagian dikumpulkan untuk kepentingan bersama; antara lain dana sosial dan biaya perawatan jika terjadi kecelakaan. Bayangkan, jika ada 50 bus saja yang melintas setiap hari, maka uang terkumpul antara 200-400 ribu rupiah.

Di dekat rumah kontrakan saya, persisnya di jalan raya Wonosobo-Banyumas, ada seorong Timer. Ia sudah stanby sejak pukul 5.30-17.30. Ia berdiri di situ, tidak pernah lepas dari dua ponselnya.

Nah, karena merasa bahwa bantuan Timer-nya masih sangat kurang memuaskan, maka sesama sopir/kondektur bus juga saling memberikan informasi. Dengarkan kalimat sopir bus yang saya tumpangi ini:

“Telu nem nang Sigaluh (tiga enam di Sigaluh), aso (pelan). Ya..ya..oke.”

Artinya, ia sedang memberi tahu teman yang berlawanan arah dengannya bahwa bus dengan plat nomor akhir 36 sudah sampai di suatu tempat dengan kecepatan rendah.

Berkali-kali pula sopir bus yang saya tumpangi mendapat telepon (saya yakin dari sesama sopir) tentang posisi bus di belakangnya. Dan ia cukup menjawab: “Ya…oke..oke.” klik.

Brum…brummm…melesat. Meliuk-liuk. Hujan.

Sang sopir memang lincah, meski tetap saja menggunakan ponsel sambil nyetir tidak dibenarkan. ‘Kan sudah banyak spanduk yang berbunyi: Kalo nyetir jangan sambil nelpon. Kalo nelpon jangan sambil nyetir. Kita pahamlah, soal penumpang dan nguber setoran tidak bisa diganggu gugat oleh para sopir angkutan umum. Sayangnya mereka sendiri tidak pernah tahu (atau tidak peduli) dengan dengan keselamatan penumpang.

Jika informasi mengenai posisi bus yang berada di belakang itu memang penting, urusan telpon-menelpon ‘kan bisa diserahkan kepada kondektur. Jadi, sopir ya nyopir, bus kencang jika tidak sambil nelpon masih mendingan. Tetapi jika tilpun-tilpunan nyambi nyetir, wah: Ngeri kwadrah-lah kalau begitu.

Sastra dan Sepak Bola

Puisi dulu ya…



Bola


bola mata kita

bertemu pada sebuah bola kulit yang terus

menggelinding, melambung, terjatuh, melesat-lesat bagaikan

nasib. sampai wasit meniup peluit panjang yang bunyinya terkadang

mirip lenguhan sesal. “kenapa sampai kalah? bukankah, padahal,  ini, itu...”

ah, sudahlah! kemenangan  tidak melulu angka, bukan? Dan  kerusuhan cuma

menambah daftar kesedihan. “tapi mereka sudah bermain curang!” Siapa bilang?

bukankah kita telah sepakat menjadikan sepak bola sebagai tali yang mengikat

hati? Maka, bawalah warna hijau lapangan itu ke hatimu, agar tak ada merah

darah yang dikorbankan demi pelampiasan kemarahan yang terburu-buru.

Memahami dunia sepak bola terkadang sulit dipercaya: apakah ini

disebabkan karena bentuk bola yang mirip batok kepala kita?

o, adakah yang lebih aneh dan ajaib dengan

isi kepala kita?


Saya dan panitia acara tidak menduga kalau final SEA GAMES Indonesia-Malaysia jatuh pada hari Senin bersamaan dengan jadwal acara. Dan acara sastra lagi-lagi harus ngalah, selain karena pertandingan sepak bola itu lebih seru dari sastra, yang pasti karena final ini belum tentu dua tahun sekali.

Maka, acara yang sedianya diadakan pukul 20.00 diundur. Dengan TV tuner dan LCD kami nonton bersama. Setelah Indonesia akhirnya kalah, barulah acara dimulai.

“Psikologis kita sudah kena!” Ujar mas I’ang, kurator acara Sastra di Purwokerto, sekaligus pemilik Angkringan Organik, membuka diskusi. Ya, disebabkan kekalahan Tim Muda Merah Putih, psikologis kami  juga terbawa sedih. Tapi diskusi tetap berjalan. Mengalir. Seru. Meski peserta diskusi tinggal beberapa orang, yang lain memutuskan pulang karena selain sudah malam, mungkin mereka ingin menangis keras-keras di kamar, kecewa karena Tim-nya.

Gila. Diskusi sastra malam itu baru ditutup tepat pukul 00.00. Novel Mimpi Rasul mendapat apresiasi (pujian dan kritikan) baik dari peserta maupun dari pembicara Heru Kurniawan, Sastrawan yang Dosen Penulisan Kreatif di STAIN Purwokerto. Itu sudah biasa, dan saya selalu menampung masukan-masukan dan menaggapi setiap pertanyaan dan kritikan jika diperlukan.

Malam itu, saya menginap di rumah Mas Heru, dan pulangnya saya diberi oleh-oleh sebuah buku Penulisan Sastra Kreatif karangannya. Buku itu memang perlu untuk saya baca, lebih-lebih saya dipasrahi untuk membimbing kawan-kawan (siswa) di sekolah dalam ekstra Jurnalistik dan Penuisan Kreatif.

Tiba di rumah buku itu langsung saya baca. Ada tips menarik saya temui, tentang bagaimana agar seorang penulis bisa menjaga semangatnya untuk terus menulis:

1.  Segeralah cari teman-teman yang setujuan untuk menggeluti dunia kepenulisan, bentuk komunitas dengan nama yang asik dan unik, rancang kegiatan rutinnya, misalnya diskui, membaca bersama, mencari ide bersama, saling mengkritk karya, sampai mengadakan kegiatan kepenulisan. Rajinlah untuk saling berdiskusi tentang karya dan pengalaman.

2.  Invenrisir penulis-penulis yang ada di daerah kalian, rancang kunjungan rutin (silaturrahmi), baik secara individu maupun kolektif.

3.  Berlanggananlah media massa dan seringlah ke toko buku untuk melihat perkembangan buku terbaru….di toko buku itulah ktia pasti akan mendapat semangat baru untuk menulis.

Demikian. Salam.

Maaf, tak ada foto, saya lupa bawa kamera.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »