oleh: Jusuf AN
Mulanya, telah sejak lama, saya punya keinginan untuk membuka toko buku kecil-kecilan, lengkap dengan koran dan majalah. Saya suka buku, suka koran dan majalah. Saya telah menjalin keakraban dengan mereka cukup lama. Bahkan sebagian rejeki (uang) yang saya belanjakan selama ini berasal dari menulis buku (novel dan buku agama populer), dan menulis artikel (cerpen, puisi, essai) untuk koran dan majalah.
Barangkali dari situlah keinginan saya untuk membuka toko buku muncul. Tetapi keinginan itu tak juga terwujud sampai detik ini, setidaknya sudah 7 tahun sejak keinginan itu lahir. Mungkinkah keinginan itu hanya angan-angan kosong, sebagaimana kaum fakir yang berharap memiliki pesawat tempur? Saya kira tidak. Keinginan saya tidak begitu kuat dan hanya sesekali terpikirkan. Dan sudah beberapa kali saya telah berusaha agar mimpi itu terwujud. Misalnya, saya sempat kulakan buku murah di Jogjakarta untuk kemudian saya jual kembali di kota saya. Saya juga pernah berjualan buku lewat facebook. Sering mencari tahu di google tentang bagaimana memulai “usaha toko buku”. Maka, meskipun belum terwujud, setidaknya saya telah memulai belajar mewujudkannya.
Ketika ada kios yang dikontrakkan saya kadang menanyakan berapa harga sewanya.
Dan saya segera sadar bahwa harga sewa sebuah kios yang terletak di tengah kota, berkisar antara 10-20 juta. Dari mana saya bisa dapatkan uang sebanyak itu? Meminjam? Berapa rupiah akan saya hasilkan setiap bulan? Apakah imbang dengan harga sewa kontrakan?
Nah! Belum-belum otak kiri saya sudah banyak bacot! Waktu itu saya tidak sadar, bahwa mental saya bukan mental pengusaha? Saya tidak berani nekat, cenderung menggunakan otak kiri yang kalkulatif. Saya masih belum berani gila!
Sampai seribu tahun pun, jika mental saya masih seperti itu, maka impian saya untuk membuka “usaha toko buku” tidak akan pernah terwujud.
Dan kenapa tiba-tiba keinginan yang tiarap di pikiran saya itu kini berdiri tegak? Menguat!
Entahlah. Mungkin karena saya terpengaruh dengan apa yang saya baca akhir-akhir ini, terutama buku fenomenal The Secret Rhonda Byrne yang mengungkap rahasia penyebab kita terpuruk, miskin, gagal, dan bagaimana mengatasinya. Buku itu juga telah menginspirasi lahirnya banyak buku serupa, yang juga tidak kalah larisnya.
Dengan agak malu-malu, saya mengaku sangat terlambat membaca buku itu, tetapi itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Kalau dulu saya hanya mengenal sunnatullah, hukum alam, hukum gravitasi, kali ini saya berkenalan Law of Atraction, LOA demikian Ippho Santoso menyingkatnya dalam 7 Keajaiban Rejeki.
Saya akui, dua judul buku tersebut telah menginspirasi saya, berteriak lembut di telinga saya: “Ayolah, bangun! Keinginan-keinginanmu itu sangat mudah kau wujudkan!” Bisikan itu datang dan saya merasa terhipnotis. Lalu muncullah gagasan itu: Buku-mLaku!

Selidik punya selidik, baru saya tahu, dan belum pernah saya lihat, kalau ternyata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mencanangkan program 1000 toko buku mobil. Program tersebut patut diacungi jempol sebagai salah satu tanggung jawab pemerintah memajukan minat baca masyarakat di daerah terpencil. Namun begitu, kalau hanya mengandalkan program 1000 toko mobil dari pemerintah, yang barangkali baru terlaksana 10 persennya, tanpa didukung masyarakat khususnya pengusaha yang cinta buku, rasa-rasanya kurang mantap.
Mendukung tidak otomatis bergabung. Untuk saat ini, saya sendiri merasa berat kalau harus turut bergabung menjalankan roda 1000 toko buku mobil dari pemerintah. Sebab untuk memilikinya, modal yang harus disediakan sekitar Rp 240 juta dengan rincian Rp 180 juta untuk pembelian mobil dan Rp 60 juta untuk penyediaan buku dan produk media lainnya.
Bisnis Buku: Antara Rezeki dan Kerja Sosial
Pernahkah kita bertanya, berapa banyak pohon yang telah ditebang untuk bahan baku kertas yang kemudian digunakan untuk memproduksi buku? Dari jutaan buku yang dicetak setiap tahun berapa persenkah yang benar-benar bermanfaat?
Setiap mendatangi pameran kita akan selalu dihadapkan dengan ribuan buku yang kurang diminati (meski banyak diantaranya saya anggap buku berkualitas) diobral dengan harga gila. Di perpustakaan-perpustakaan sekolah, ada jutaan buku teks tidak lagi digunakan. Ribuan koran tidak terjual dalam setiap harinya. Majalah, jurnal, buletin, lahir, satu dua edisi kemudian gulung tikar, menjadi barang rongsokan.
Berapa biaya, berapa tenaga, berapa bahan bakar, berapa sumber daya alam, telah dihabiskan untuk memproduksi media cetak tersebut? Sangat disayangkan jika pada akhirnya media cetak tersebut kembali menjadi barang rongsokan, dijadikan bungkus nasi kucing, dan alas duduk di pantai sambil menunggu kembang api tahun baru.
Pada titik ini, kita patut berterimakasih dengan para pengusaha buku dan majalah bekas. Berkat mereka, nilai media cetak yang merupakan produk intelektual menjadi lebih optimal. Media yang bernasib sial, diupayakan agar bagaimana bisa laku, tidak dengan menjualnya ke tukang rongsok untuk diserahkan pabrik daur ulang, tetapi diedarkan lagi sampai buku-buku tersebut menemukan “jodohnya”, pembaca.
Maka, saat ini kita butuh lebih banyak lagi orang yang mau menjadi agen buku, khususnya buku bekas. Dengan begitu, barangkali nasib buku-buku yang berakhir di tukang rongsok sedikit terkurangi. Sampai sekarang, jenis buku bekas alias buku bernasib sial masih hanya dijual di pameran-pameran buku dan kota-kota besar. Di kota-kota kecil, yang biasanya juga minat baca masyarakatnya rendah, jarang ada yang berani membuka lapak buku bekas, kecuali untuk majalah-majalah bekas yang digelar di pinggiran pasar.
Berjualan buku bekas, apakah itu masuk kategori bisnis? Jika iya, maka sangat wajar jarang ada pebisnis yang berminat membuka lapak buku bekas di daerah yang minat bacanya rendah. Dengan asumsi, peminatnya akan sangat sedikit, dan kemungkinan bangkrut lebih besar. Ah, masa’ iya?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tetapi berjualan buku bekas, bagi saya, bukan semata kerja untuk mengumpulkan pundi-pundi. Lebih dari itu, ia adalah kerja sosial dalam rangka mendekatkan masyarakat dengan buku, sebagai upaya untuk menggairahkan minat baca yang lesu.

Buku mLaku Mlebu Ndesa
Artinya, buku berjalan masuk desa. Saya membayangkan, masuk ke desa-desa dengan sebuah mobil pick up yang membawa buku, koran, dan majalah? Dengan corong speaker toa yang berkoar-koar semua warga akan gempar dengan kehadiran mobil itu. Warga akan tercengang; pick up dengan speaker toa biasanya berisi dagangan baju import atau perabot rumah tangga, tapi pick up ini lain. Pasti yang nyopir orang sinting!
Ya, gagasan Buku mLaku Mlebu Ndesa memang cukup sinting. Tapi saya yakin, upaya tersebut akan cukup berhasil menarik minat orang udik untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan buku. Mereka akan menyaksikan bagaimana ratusan buku dan majalah bekas digelar, majalah dan koran bergelantungan. Sebagian dari mereka mungkin akan lari dan tidak tertarik untuk sekadar melirik. Tapi speaker toa terus berkoar, mirip penjual obat, menembus gendang telinga mereka, menyampanyaikan hikmah tentang nikmat dan pentingnya membaca. “Gratis membaca tanpa haru membeli. TIDAK perlu jauh-jauh ke perpustakaan umum daerah dan toko buku. Kalau tidak ada uang, bisa ditukar dengan ketela atau kopi.”
Menjemput bola, mengenalkan kepada telinga, mata, dan tangan mereka untuk bersentuhan langsung dengan buku. Memudahkan akses orang udik untuk mendapatkan buku, tentu sangat menarik!
Selain itu, saya yang asli orang desa dan pernah merasakan bagaimana repotnya untuk sekadar membeli koran baru, ingin sekali menawarkan kepada warga di desa-desa yang selama ini tidak tersentuh oleh agen koran. “Kalau ada 10 warga mau berlangganan koran kami siap mengantar!”
Prospek Buku-mLaku
Saya mesti berpikir dan membayangkan hasil yang baik agar semesta alam menarik hal-hal baik kepada saya. Saya yakin, wasiat Lisa Nicholn yang termaktub dalam buku The Secret telah dipraktekkan oleh mereka yang sukses dari usaha loper koran. Batara yang lebih memilih menghabiskan masa remajanya dengan belajar berusaha sendiri dengan menyumbangkan diri sebagai loper koran dan kini memimpin 3 perusahaan. Haji Idjo yang menjual becaknya dan kemudian beralih menjadi loper koran kini telah membawahi lebih dari 20 sub-agen. Dan banyak lagi orang-orang hebat yang bisa dijadikan sumber inspirasi.
Buku-mLaku bukan sekadar jualan buku dengan mobil yang berjalan, tetapi ia merupakan sebuah gerakan literasi; usaha menggerakkan laku (perbuatan) masyarakat yang lebih beradab. Bukankah peradaban sebuah bangsa tidak lepas dari kecintaan masyarakatnya terhadap buku? Selain itu Buku-mLaku juga merupakan upaya untuk menggairahkan pasar buku biar lebih laku. Kita tidak perlu menyewa tempat sampai jutaan, cukup hanya dengan mobil bekas yang bisa kembali dijual. Kita juga bisa bekerja sama dalam rangka pameran di desa-desa dan ditempat-tempat lain yang diperbolehkan. Dengan Buku-mLaku kita bisa berpindah-pindah lokasi dan kemungkinan untuk rugi akibat modal tidak kembali sangatlah sedikit. Lebih-lebih jika usaha ini dilandasi dengan niat yang baik, tidak akan pernah ada ruginya.
Bagaimana, Anda juga tertarik mencobanya?
Mulanya, telah sejak lama, saya punya keinginan untuk membuka toko buku kecil-kecilan, lengkap dengan koran dan majalah. Saya suka buku, suka koran dan majalah. Saya telah menjalin keakraban dengan mereka cukup lama. Bahkan sebagian rejeki (uang) yang saya belanjakan selama ini berasal dari menulis buku (novel dan buku agama populer), dan menulis artikel (cerpen, puisi, essai) untuk koran dan majalah.
Barangkali dari situlah keinginan saya untuk membuka toko buku muncul. Tetapi keinginan itu tak juga terwujud sampai detik ini, setidaknya sudah 7 tahun sejak keinginan itu lahir. Mungkinkah keinginan itu hanya angan-angan kosong, sebagaimana kaum fakir yang berharap memiliki pesawat tempur? Saya kira tidak. Keinginan saya tidak begitu kuat dan hanya sesekali terpikirkan. Dan sudah beberapa kali saya telah berusaha agar mimpi itu terwujud. Misalnya, saya sempat kulakan buku murah di Jogjakarta untuk kemudian saya jual kembali di kota saya. Saya juga pernah berjualan buku lewat facebook. Sering mencari tahu di google tentang bagaimana memulai “usaha toko buku”. Maka, meskipun belum terwujud, setidaknya saya telah memulai belajar mewujudkannya.
Ketika ada kios yang dikontrakkan saya kadang menanyakan berapa harga sewanya.
Dan saya segera sadar bahwa harga sewa sebuah kios yang terletak di tengah kota, berkisar antara 10-20 juta. Dari mana saya bisa dapatkan uang sebanyak itu? Meminjam? Berapa rupiah akan saya hasilkan setiap bulan? Apakah imbang dengan harga sewa kontrakan?
Nah! Belum-belum otak kiri saya sudah banyak bacot! Waktu itu saya tidak sadar, bahwa mental saya bukan mental pengusaha? Saya tidak berani nekat, cenderung menggunakan otak kiri yang kalkulatif. Saya masih belum berani gila!
Sampai seribu tahun pun, jika mental saya masih seperti itu, maka impian saya untuk membuka “usaha toko buku” tidak akan pernah terwujud.
Dan kenapa tiba-tiba keinginan yang tiarap di pikiran saya itu kini berdiri tegak? Menguat!
Entahlah. Mungkin karena saya terpengaruh dengan apa yang saya baca akhir-akhir ini, terutama buku fenomenal The Secret Rhonda Byrne yang mengungkap rahasia penyebab kita terpuruk, miskin, gagal, dan bagaimana mengatasinya. Buku itu juga telah menginspirasi lahirnya banyak buku serupa, yang juga tidak kalah larisnya.
Dengan agak malu-malu, saya mengaku sangat terlambat membaca buku itu, tetapi itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Kalau dulu saya hanya mengenal sunnatullah, hukum alam, hukum gravitasi, kali ini saya berkenalan Law of Atraction, LOA demikian Ippho Santoso menyingkatnya dalam 7 Keajaiban Rejeki.
Saya akui, dua judul buku tersebut telah menginspirasi saya, berteriak lembut di telinga saya: “Ayolah, bangun! Keinginan-keinginanmu itu sangat mudah kau wujudkan!” Bisikan itu datang dan saya merasa terhipnotis. Lalu muncullah gagasan itu: Buku-mLaku!

Selidik punya selidik, baru saya tahu, dan belum pernah saya lihat, kalau ternyata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mencanangkan program 1000 toko buku mobil. Program tersebut patut diacungi jempol sebagai salah satu tanggung jawab pemerintah memajukan minat baca masyarakat di daerah terpencil. Namun begitu, kalau hanya mengandalkan program 1000 toko mobil dari pemerintah, yang barangkali baru terlaksana 10 persennya, tanpa didukung masyarakat khususnya pengusaha yang cinta buku, rasa-rasanya kurang mantap.
Mendukung tidak otomatis bergabung. Untuk saat ini, saya sendiri merasa berat kalau harus turut bergabung menjalankan roda 1000 toko buku mobil dari pemerintah. Sebab untuk memilikinya, modal yang harus disediakan sekitar Rp 240 juta dengan rincian Rp 180 juta untuk pembelian mobil dan Rp 60 juta untuk penyediaan buku dan produk media lainnya.

Bisnis Buku: Antara Rezeki dan Kerja Sosial
Pernahkah kita bertanya, berapa banyak pohon yang telah ditebang untuk bahan baku kertas yang kemudian digunakan untuk memproduksi buku? Dari jutaan buku yang dicetak setiap tahun berapa persenkah yang benar-benar bermanfaat?
Setiap mendatangi pameran kita akan selalu dihadapkan dengan ribuan buku yang kurang diminati (meski banyak diantaranya saya anggap buku berkualitas) diobral dengan harga gila. Di perpustakaan-perpustakaan sekolah, ada jutaan buku teks tidak lagi digunakan. Ribuan koran tidak terjual dalam setiap harinya. Majalah, jurnal, buletin, lahir, satu dua edisi kemudian gulung tikar, menjadi barang rongsokan.
Berapa biaya, berapa tenaga, berapa bahan bakar, berapa sumber daya alam, telah dihabiskan untuk memproduksi media cetak tersebut? Sangat disayangkan jika pada akhirnya media cetak tersebut kembali menjadi barang rongsokan, dijadikan bungkus nasi kucing, dan alas duduk di pantai sambil menunggu kembang api tahun baru.
Pada titik ini, kita patut berterimakasih dengan para pengusaha buku dan majalah bekas. Berkat mereka, nilai media cetak yang merupakan produk intelektual menjadi lebih optimal. Media yang bernasib sial, diupayakan agar bagaimana bisa laku, tidak dengan menjualnya ke tukang rongsok untuk diserahkan pabrik daur ulang, tetapi diedarkan lagi sampai buku-buku tersebut menemukan “jodohnya”, pembaca.
Maka, saat ini kita butuh lebih banyak lagi orang yang mau menjadi agen buku, khususnya buku bekas. Dengan begitu, barangkali nasib buku-buku yang berakhir di tukang rongsok sedikit terkurangi. Sampai sekarang, jenis buku bekas alias buku bernasib sial masih hanya dijual di pameran-pameran buku dan kota-kota besar. Di kota-kota kecil, yang biasanya juga minat baca masyarakatnya rendah, jarang ada yang berani membuka lapak buku bekas, kecuali untuk majalah-majalah bekas yang digelar di pinggiran pasar.
Berjualan buku bekas, apakah itu masuk kategori bisnis? Jika iya, maka sangat wajar jarang ada pebisnis yang berminat membuka lapak buku bekas di daerah yang minat bacanya rendah. Dengan asumsi, peminatnya akan sangat sedikit, dan kemungkinan bangkrut lebih besar. Ah, masa’ iya?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tetapi berjualan buku bekas, bagi saya, bukan semata kerja untuk mengumpulkan pundi-pundi. Lebih dari itu, ia adalah kerja sosial dalam rangka mendekatkan masyarakat dengan buku, sebagai upaya untuk menggairahkan minat baca yang lesu.

Buku mLaku Mlebu Ndesa
Artinya, buku berjalan masuk desa. Saya membayangkan, masuk ke desa-desa dengan sebuah mobil pick up yang membawa buku, koran, dan majalah? Dengan corong speaker toa yang berkoar-koar semua warga akan gempar dengan kehadiran mobil itu. Warga akan tercengang; pick up dengan speaker toa biasanya berisi dagangan baju import atau perabot rumah tangga, tapi pick up ini lain. Pasti yang nyopir orang sinting!
Ya, gagasan Buku mLaku Mlebu Ndesa memang cukup sinting. Tapi saya yakin, upaya tersebut akan cukup berhasil menarik minat orang udik untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan buku. Mereka akan menyaksikan bagaimana ratusan buku dan majalah bekas digelar, majalah dan koran bergelantungan. Sebagian dari mereka mungkin akan lari dan tidak tertarik untuk sekadar melirik. Tapi speaker toa terus berkoar, mirip penjual obat, menembus gendang telinga mereka, menyampanyaikan hikmah tentang nikmat dan pentingnya membaca. “Gratis membaca tanpa haru membeli. TIDAK perlu jauh-jauh ke perpustakaan umum daerah dan toko buku. Kalau tidak ada uang, bisa ditukar dengan ketela atau kopi.”
Menjemput bola, mengenalkan kepada telinga, mata, dan tangan mereka untuk bersentuhan langsung dengan buku. Memudahkan akses orang udik untuk mendapatkan buku, tentu sangat menarik!
Selain itu, saya yang asli orang desa dan pernah merasakan bagaimana repotnya untuk sekadar membeli koran baru, ingin sekali menawarkan kepada warga di desa-desa yang selama ini tidak tersentuh oleh agen koran. “Kalau ada 10 warga mau berlangganan koran kami siap mengantar!”
Prospek Buku-mLaku
Saya mesti berpikir dan membayangkan hasil yang baik agar semesta alam menarik hal-hal baik kepada saya. Saya yakin, wasiat Lisa Nicholn yang termaktub dalam buku The Secret telah dipraktekkan oleh mereka yang sukses dari usaha loper koran. Batara yang lebih memilih menghabiskan masa remajanya dengan belajar berusaha sendiri dengan menyumbangkan diri sebagai loper koran dan kini memimpin 3 perusahaan. Haji Idjo yang menjual becaknya dan kemudian beralih menjadi loper koran kini telah membawahi lebih dari 20 sub-agen. Dan banyak lagi orang-orang hebat yang bisa dijadikan sumber inspirasi.
Buku-mLaku bukan sekadar jualan buku dengan mobil yang berjalan, tetapi ia merupakan sebuah gerakan literasi; usaha menggerakkan laku (perbuatan) masyarakat yang lebih beradab. Bukankah peradaban sebuah bangsa tidak lepas dari kecintaan masyarakatnya terhadap buku? Selain itu Buku-mLaku juga merupakan upaya untuk menggairahkan pasar buku biar lebih laku. Kita tidak perlu menyewa tempat sampai jutaan, cukup hanya dengan mobil bekas yang bisa kembali dijual. Kita juga bisa bekerja sama dalam rangka pameran di desa-desa dan ditempat-tempat lain yang diperbolehkan. Dengan Buku-mLaku kita bisa berpindah-pindah lokasi dan kemungkinan untuk rugi akibat modal tidak kembali sangatlah sedikit. Lebih-lebih jika usaha ini dilandasi dengan niat yang baik, tidak akan pernah ada ruginya.
Bagaimana, Anda juga tertarik mencobanya?
5 comments
commentsTersentak. Tersentil. Juga tergugah. Ternyata apa yang mengonggok di pikiran saya terkloning juga di sini. Hiksss jadi malu aku!!
ReplyBismillah,man jadda wajada. Semoga kita bisa, dan PASTI BISA mas.
terimakasih kunjungannya Kang.
Replyiya nih, semoga ya, semoga...
mimpi sudah, tinggal actionnya. hehe
salam
bagus, Mas gagasannya. Masnya sekarang usaha apa? saya hampir seperti Masnya. Bingung, dan terlalu mengandalkan kalkulasi. tulisan mas ini saya banget. kalau bisa sharing dan menjalankan usaha bersama, terima kasih.
Replyoh iya, karena saya jarang pakai internet, kalau mas nya berkenan kirim saja balasannya ke adi_seta@yahoo.co.id ya, Mas, terima kasih.
Replyterimakasih Mas Dewa...
Replysementara ini saya ngajar dan belajar di sekolah menengah...
sebenarnya saya sudah mantap, tetapi orang tua belum meridhai..tapi saya tetap berniat menjalankan usaha ini, insyaAllah, suatu saat nanti...
salam