Cerpen Jusuf AN
Pernah dimuat di Tribun Jabar, 18 September 2011
SEPERTI biasa—entah kapan kebiasaan itu dimulai dan entah siapa yang mengawali—warga kota berduyun-duyun mendatangi pantai ketika senja. Semburat cahaya merah mengubah warna lautan. Pada saat itulah, Nuh, yang waktu itu ada di antara gedesak orang-orang di pantai itu, dikagetkan dengan sebuah SMS. Disebut demikian karena pesan itu diterima Nuh di handphone-nya.
Kabarkan kepada seluruh warga untuk membuat perahu yang besar. Hujan akan turun beruntun selama sebulan. Langit!
Membaca nama pengirimnya Nuh tertawa: Langit. Tanpa berpikir, ia segera hapus pesan itu lalu kembali tenggelam dalam keindahan senjakala. Beberapa menit kemudian, pesan serupa kembali datang. Nuh kembali tertawa dan menghapusnya. Tapi pesan itu datang lagi ketiga kali. Nuh kian terpingkal-pingkal—jika saja pantai sepi, mungkin ia akan bergulingan di pasir.
**
DUDUK di beranda rumahnya, mata Nuh menerawang, memanah kerlip bintang. Nuh ingat, dulu sekali, ayahnya pernah berkisah tentang banjir bandang yang menenggelamkan sebuah negeri. Mungkinkah peristiwa serupa akan benar terulang? Nuh kurang tahu apakah arwah Kan'an telah merasuki para pemuda di kota ini. "Benar namaku Nuh. Tapi aku masih lajang dan jelas tak punya Kan'an. Hujan selama sebulan? Kapal? Pesan yang aneh."
**
TAPI senja berikutnya, persis di tengah gerumbul orang tertawa di pantai, SMS serupa kembali hinggap di ponselnya. Ia sebentar saja terheran, lalu menghapusnya. Tapi aneh, pesan itu kembali datang dan datang. Membuat kebingungan menggumpal di dada Nuh. Dan begitulah akhirnya, di suatu senja ia beranikan mengabarkan pesan itu kepada warga kota. Seperti yang ia duga sebelumnya, beginilah tanggapan mereka:"Siapa Langit?", "Adakah ia seorang perempuan cantik dan mau diajak kencan?", "Berapa nomornya?", "Apa, tanpa nomor?! Hanya nama pengirimnya saja?", "Ah mustahil. Kau pasti telah berdusta!", "Lelucon apa lagi ini?"
**
WAKTU merambat. Senja di pantai masih selalu ramai. Kabar mengenai SMS yang diterima Nuh dengan cepat berloncatan dari mulut ke mulut, berdengung pada sepasang-pasang telinga warga. Mereka yang hadir di pantai sore itu menceritakan pada orang-orang yang tak datang. Sebentar saja SMS dari Langit itu telah tersebar, menjadi obrolan para pedagang di pasar, suami-istri di ranjang... Kota menjadi setengah gempar. Tapi tak lama, SMS itu terselip di antara kesibukan dan tawa, lalu hilang ditelan merah saga mega senja. Apalagi setelah berminggu-minggu ternyata hujan tak turun di kota itu. Warga kota semakin yakin, pesan yang diterima Nuh bohong belaka.
Tapi begitulah pula, di suatu senja yang indah (selalu indah kecuali ketika mendung atau hujan) terdengar teriak parau seorang kakek: "Aku menerima pesan dari Langit! Hujan akan turun di kota kita selama sebulan. Sungguh aku tidak dusta. Lihatlah kemari kalau tidak percaya...."
Orang-orang seketika menoleh, dan hanya menanggapinya dengan gumam, "Dasar pikun!" lalu mereka semua pulang setelah senja disergap malam. Tapi tidak demikian dengan Nuh. Ketika mendengar parau suara kakek itu ia merasakan desir tajam di hatinya. Ia hampiri kakek tua itu setelah pantai benar-benar sepi.
"Bolehkah saya melihat pesan itu, Kek?" Nuh duduk di atas pasir, tepat di sebelah si kakek yang masih gelisah dengan pesan yang ia terima.
"Sebentar, aku sedang menulis pesan balasan. Sudah aku telepon sebenarnya, tapi mail-box. Sialan! Barangkali di-SMS bisa," ujar si kakek tanpa menoleh.
Gemuruh ombak memecah kelengangan malam remang rembulan. Angin meliuk-liuk. Padat. Menghantam dada dua lelaki—tua dan muda—yang masih dirubung beribu penasaran.
"Tolong katakan siapa kau sebenarnya, apa maksudmu mengirim pesan seperti itu padaku?" tulis si kakek. Setelah pesan ia kirimkan, si kakek memutar kepala menatap Nuh yang ternganga.
"Bagaimana, Kek?" tanya Nuh menyambut tatapan si kakek. Belum sempat menjawab, Kakek tergeragap karena ponselnya bergetar dan berdering nyaring.
"Dibalas!" cetusnya, lantang. Kepala Nuh kontan mendekat. Dan bersama-sama mereka mulai mengeja pesan itu dalam dada: "Sudah aku bilang bahwa aku adalah Langit yang akan menurunkan hujan di kotamu selama sebulan. Beritahu seluruh warga untuk membuat perahu." Nuh dan si kakek saling pandang. Bertambah heran, jempol si kakek kembali menari lincah di atas tombol-tombol kecil.
"Mengapa kami disuruh membuat perahu?" tulis si kakek, dengan gerakan kilat.
Detik berganti menit, berganti jam-jam-jam., tak juga ada balasan dari Langit. Mereka berdua kemudian pulang menggendong tumpukan pertanyaan tak terjawab. Barangkali besok hujan sebulan beruntun itu sudah mulai turun? Atau lusa? Dan mereka belum sempat membuat perahu.
**
ENTAH kenapa Nuh menjadi yakin tentang kebenaran pesan itu. Ia, dibantu kakek tua itu mati-matian meyakinkan warga kota yang datang di pantai ketika senja berikutnya tiba. "Ini hanya teror!"
"Jangan terpengaruh tipu klasik semacam ini."
"Hanya nama? Tanpa nomor? Tidak aneh di zaman serba canggih seperti sekarang."
Begitulah, berhari-hari, hanya cibir bibir dan tawa cela yang Nuh dan si kakek terima. Tak seorang pun percaya kebenaran SMS itu. Dan seperti kemarin, kemarinnya lagi, seminggu lalu, bahkan bertahun-tahun lalu, orang-orang masih sibuk di kantor, beranak-pinak, berpesta-dansa, pentas-pentas kesenian masih digelar, gelak tawa, tenggelam dalam arak dan berahi.
Tak ada yang berubah. Senja di pantai masih selalu ramai. Dan karena Nuh dan si kakek tak jera, polisi hampir saja menangkap mereka karena dianggap teroris, jika kemudian sesuatu yang lebih menggemparkan itu segera terjadi. Pada tempat yang masih sama. Di pantai, suatu senja.
Ketika mata orang-orang tengah memanah ke langit yang cerah, gerimis tipis mendadak turun. Orang-orang tidak langsung meninggalkan pantai. Justru itulah saat-saat yang dinantikan. Bukankah gerimis bisa menggambar lengkung selendang yang indah? Tapi di luar dugaan, gerimis berubah hujan. Dan manakala petir menggelegar, saku-saku mereka secara serentak bergetar bersama bunyi dering bersahut-sahutan.
Buatlah perahu yang besar, karena hujan akan turun beruntun selama sebulan. Langit.
Orang-orang saling pandang setelah pesan dalam ponsel-ponsel mereka habis terbaca. Suasana serentak riuh. Wajah-wajah berubah merah. Tapi tetap dalam diam. Seperti air di tengah lautan. Hati mereka bergejolak. Panik, panik sekali.
**
"Celaka! Kota kita akan tenggelam." "Ternyata Nuh benar."
"Ternyata kakek itu juga benar."
Ternyata tidak hanya mereka yang hadir di pantai yang menerima pesan serupa. Pembantu-pembantu yang genit, tukang sol sepatu, tukang sapu, penggali kuburan, perias mayat, atlet bulu tangkis, kuli bangunan, polisi, bupati.... Semuanya menerima pesan yang sama dalam waktu yang sama pula: senja entah pukul berapa.
"Kumpulkan tukang kayu, kita akan buat tiga perahu! Apa? Semua tukang kayu di kota ini pindah ke kota lain, katamu. Kalau begitu, ini menjadi tugas kalian. Ayo, mengapa kalian bengong! Ingin aku pecat!" bentak Kepala Kota di depan ratusan bawahannya.
Semua warga telah terlebih dulu sibuk merancang perahu. Dan lihatlah, Nuh dan si kakek telah mencopoti papan kayu lemari dan apa saja yang bisa dijadikan bahan pembuat kapal. Dalam kepala mereka berdua, juga penduduk lainnya, banjir mahadahsyat telah di depan mata. Semuanya bekerja. Di antara hujan yang dari hari ke hari kian deras saja. Di bawah langit yang kelam.
**
Kilat menjilat-jilat. Gelegar petir. Riuh angin. Hujan terus menderu. Tiga buah perahu besar telah berdiri di alun-alun kota. Bagaimana mungkin mereka bisa membuat perahu sebagus itu? Demikianlah, begitu ajaib geliat tangan orang terdesak. Entah hari keberapa sejak hujan turun, mereka telah selesai memasukkan apa saja yang diperlukan ke dalam perahu. Sementara air telah meluap dari selokan dan sungai-sungai. Rumah-rumah hanyut. Semua benda basah. Semua jiwa kering. Tapi, setelah mereka menunggu beberapa hari di atas perahu, hujan yang lebat justru perlahan reda.
"Tetaplah waspada! Menurut badan meteorologi dan geofisika, hujan masih akan turun esok hari, lebih lebat. Kota ini benar-benar akan tenggelam," teriak seseorang berseragam.
Sembari menunggu esok, orang-orang membayangkan berada dalam kapal selama berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Namun, mereka tak bisa lagi membayangkan saat kapal memasuki lautan dan terdampar di pulau gelap tak bernama. Atau dihantam badai dan akhirnya tenggelam.
Tapi kejadian selanjutnya tak seperti yang dibayangkan. Esok harinya, pagi lengkap dengan matahari, hingga siang masih benderang, malam cerah rembulan. Esoknya lagi, lagi, dan lagi, seminggu, sebulan, tak ada setitik air pun jatuh dari langit.
**
TAK jelas perasaan macam apa yang warga rasakan ketika kotanya tak jadi tenggelam. Adakah mereka gembira karena kotanya urung menjadi lautan? Atau, kecewa karena ternyata pesan yang mereka terima itu dusta? Entahlah, tak bisa digambarkan dengan mudah sekadar melalui sorot mata. Yang terang, sejak hujan itu reda, Nuh dan si kakek tak pernah terlihat batang hidungnya. Mungkin si kakek telah mati, dan Nuh telah pergi jauh-jauh karena malu. Dan warga kota tak pernah lagi mendatangi pantai untuk menikmati senja. Entah kenapa mereka begitu membenci langit. Apa pun warnanya. Mereka juga telah melupakan siapa si pengirim pesan itu sesungguhnya. Ah, barangkali si pengirim pesan itu masih tertawa terpingkal-pingkal di persembunyiannya yang sepi dan kekal.
Wonosobo, Jogja, Juni 2006-2011