"Menang Sebelum Berlomba"


"Kau ingin selalu menang dalam setiap perlombaan?"
"Yaiyalah.  Tak seorang pun ada yang ingin kalah dong. Tetapi, tidak mungkin juga semua peserta lomba jadi pemenang."
"Mungkin saja," kataku. "Bahkan sebelum lomba itu dimulai, sebelum dilakukan penilaian oleh juri, sebelum hasilnya diumumkan; kau bisa mengetahui apakah kau menang atau kalah."
"Bagaimana bisa begitu? Kau dukun ya?"
"Dukun tidak sungguh-sungguh tahu apa yang akan terjadi di masa depan."
"Kau Kiai?"
“Apalagi kiai. Saya ya saya. Tidak penting! Yang perlu kau tanyakan bukan siapa saya, tetapi apa yang ingin saya sampaikan.”
“Apa?”
“Saya tahu kau pemburu lomba.”
“Ah, bisa saja. Malu aku, malu.”
“Kenapa mesti malu? Bukankah setiap lomba yang diadakan adalah lomba untuk kebaikan, bukan untuk kejahatan.”
“Betul juga. Tul! Fastabiqul khairat.”
“Dan saya tahu bagaimana psikismu sebelum memutuskan untuk ikut suatu lomba, ketika lomba itu berlangsung, dan ketika kau menunggu hasil pengumuman.”
“Tuh, mulai lagi. Dasar, sok tahu.”

“Lho! Saya ini dulunya juga sepertimu, cuma sekarang sudah naik sedikit tingkatannya, tak pernah ikut lomba lagi dan sering ditunjuk sebagai juri. Jadi ya…”
“Wah, wah. Apa setelah aku tua nanti nasibnya akan sepertimu? Dewan juri? Aduh! Ga seru ah! Lebih asyik jadi peserta. Eh, tapi kalau besok-besok seumpama ada lomba khusus dewan juri apa kau tertarik ikut?”
 “Jadi juri memang kurang mengasyikkan, lebih-lebih ketika ada teman atau saudara yang jadi peserta. Serba tidak enak. Faktor pertemanan pasti berpengaruh terhadap penilaian. Tetapi jadi peserta juga tidak kalah menyebalkan bukan? Sudahlah, ngaku saja, saya ini sesepuhmu.”
Hemmm, ya menyebalkan sih tidak, hanya saja kadang-kadang kurang menyenangkan. Lebih-lebih kalau kalah. Rasanya, apa yang telah kita perjuangkan dengan sungguh-sungguh lenyap begitu saja. Bete gitu…”
“Nah! Itulah, makanya….”
“Kembali ke persoalan awal, bagaimana cara supaya kita selalu menang lomba, bahkan sebelum lomba itu kita ikuti?”
“Emm, buat susu panas dulu deh, biar tidak tegang.”
“Aku lebih suka kopi.”  
“Dewan juri lomba yang kau ikuti lebih suka susu, sementara kau membuatkan kopi untuknya, kira-kira apa yang akan terjadi?”
“Aku pasti kalah.”
“Salah!”
“Aku pastilah tidak akan juara.”
“Kemungkinan besar seperti itu. Kau tidak juara. Tetapi sebenarnya kau tetap menang, dan kemenanganmu jauh lebih menyenangkan dari pada perasaan yang dialami oleh sang juara.
“Aneh!”
“Sebab kau mengikuti lomba itu bukan hanya semata untuk menyenangkan dewan juri, bukan semata untuk hadiah, tetapi karena kau menyukai bidang lomba yang kau ikuti. Misal kau lomba menulis, maka kau menulis sebagaimana gayamu menulis, tidak kemudian mencari tahu dewan jurinya siapa, tulisan-tulisan seperti apa yang disukainya, contoh tulisan pemenang tahun lalu seperti apa dan seterusnya dan seterusnya. Kalau masih begitu caramu mengikuti lomba, maka kau mungkin akan juara, tetapi kau akan merasa capek, lelah, dan lama-lama pikiranmu bisa meledak. Kau mungkin akan senang, bahagia, dapat hadiah jutaan, namun itu tidak akan pernah memuaskanmu; kebahagiaanmu pendek; ringan. Sebab kepuasan berawal dari hati, sedangkan kau mengawali lomba dengan hati yang ingin jadi juara, bukan hati yang ingin bahagia.”
“Tapi ‘kan di dalam setiap perlombaan biasanya ada syarat dan kriteria tertentu. Kalau kita akan mengikuti lomba tersebut mau tidak mau harus patuh aturan dong!”
“Kau ingin jadi juara, iya. Semuanya ingin. Meski kemungkinan kalah tetap terbuka lebar bagi siapa saja. Tetapi jika kau ingin menang dan juara, tanpa ada peluang kalah, maka kau mesti selektif lagi dalam memilih lomba-lomba yang akan kau ikuti. Jangan sampai kau terbujuk oleh nafsumu, tergiur dengan pundi-pundi hadiah, kemudian melakukan segala cara yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuranimu. Dengan begitu meskipun kau tidak juara kau akan tetap bahagia, legowo, dan tidak berhenti untuk berkarya!”
“Hem, aku rasa apa yang kau katakan ada benarnya.”
Lawong aku ini mantan aktifis lomba.”
“Kopi atau susu?”
“Terserah dewan juri dong!”

  Semarang, 16 September 2011

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

4 comments

comments
24 September 2011 pukul 09.56 delete

asik sekali membaca tulisan ini... terus berkarya pak...

Reply
avatar
24 September 2011 pukul 10.08 delete

ah, sang juara ini...aku menulis itu di hotel tugu semarang setelah siangnya wawancara dan presentasi dengan dewan juri lomba blog. mesti banyak belajar darimu nih...terus berkarya juga ya.salam

Reply
avatar
30 September 2011 pukul 14.32 delete

Setelah di simak, bener juga ya..... "menang sebelum lomba'.... mau nya sih gitu,
Tapi kebanyakannya malah 'kalah sebelum perang yang di pake'.

Reply
avatar
1 Oktober 2011 pukul 23.53 delete

begitulah mbak anna... lomba memang selalu menggiurkan tapi kl tidak hati-hati justru bisa membunuh krativitas seseorang...

Reply
avatar