Ibu, ajari anakmu menulis yang ikhlas!



“Aku ingin jadi penulis, Ibu. Dan aku sudah memulai. Dan kau sudah pula membaca tulisan-tulisanku. Katamu, teruslah menulis, sampai napasmu habis. Napasku masih, Ibu. Tapi kata-kataku? Tak tahu lagi apa yang harus kutulis. Tak bisa lagi aku menulis.”
“Bagaimana bisa, Anakku? Bukankah kau sudah menerbitkan buku praktis cara mudah menjadi penulis?”
“Jangan keras-keras, Ibu. Tak enak jika didengar orang.”
“Memangnya Ibu bukan orang?”
“Maaf, Ibu. Itulah yang aku alami. Aku nyaris gila karena tak bisa menulis lagi. Karenanya aku datang kepadamu. Mandikan aku dengan petuahmu, Ibu!”
“Ibu bukan penulis, tapi ibu tahu di mana pusat sakitmu.”
“Aku sakit, Ibu?”
“Di dadamu.”
“Kenapa dengan dadaku. Merah-merah ini? Ini karya istriku, Ibu. Semalam ia mengerakku dengan sendok!”
“Persis di dalam situ.”
“Bagaimana Ibu tahu?”
“Ibu tidak akan tahu jika kau tak mengeluhkan masalahmu. Kau sedang mengalami apa yang disebut writer block!”
“Ibu tahu istilah itu?”
“Kan ibu baca bukumu.”
“Ah, ya. Bahkan aku sendiri sudah lupa apa yang pernah kutulis. Kok Ibu geleng-geleng?”
“Semoga Tuhan mengampunimu, Nak. Sekarang pulanglah, dan menulislah lagi. Kau sudah tahu sakitmu, sudah tahu pula obatnya.”
“Aku sudah baca buku banyak-banyak. Berkali-kali datang melepas penat ke pantai. Berbatang-batang rokok kuhisab, bercangkir-cangkir kopi kutenggak. Tetap saja aku tak bisa mengatasi writer block sialan itu, Ibu.”
“Barangkali di dadamu ada racun, Anakku. Untuk itu, kau harus tambah satu obat lagi. Antibiotik.”
“Aku harus segera beli di apotiek?”
“Tidak.”
“Di masjid?”
“Kau bisa meraciknya sendiri.”
“Bagaimana caranya, Ibu?”
“Kau mesti belajar ilmu ikhlas.”
“Ajarkan kepadaku ilmu itu, Ibu.”
“Sebelum kau menulis, tata kembali niatmu. Benar-benar ditata. Ditata benar-benar. Luruskan pada satu tujuan saja. Jika perlu, kau pejamkan matamu yang lama, tanpa bersandar pada bantal lho! Niatkan bahwa kau menulis bukan untuk mengharapkan pujian dari makhluk. Bukan pula untuk mencari keuntungan duniawi. Bukan untuk gagah-gagahan. Bukan untuk pamer intelektual. Bukan untuk cari hadiah. Bukan untuk meremehkan yang lain.”
“Lalu untuk apa?”
“Niatkan, bahwa tujuanmu menulis semata untuk mencari ridha Tuhan. Jika antibiotik itu sudah merasuk dalam dadamu, kau sungguh beruntung. Karena dengannya, kau akan bahagia. Meski tulisanmu tidak mendatangkan uang, pujian, hadiah, tetapi justru dihina banyak orang. Kau tidak akan stess lagi, meski tidak lagi bisa menulis.”
“Ridha Tuhan bersama ridhamu, Ibu.”
“Ridha ibu bersama ridha Tuhan, anakku.”


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »