NOVEL JEHENNA

"Novel Jehenna" terbit bulan November 2010, nyaris satu tahun. Meski novel tersebut diterbitkan dengan sistem kontrak, tetapi tetap saja sebagai penulis saya ingin sekali mendapatkan laporan penjualannya. Tetapi saya sadar terkadang penerbit sangat sibuk dan tidak sempat melaporkannya. 
            Novel Jehenna dicetak 3000 eksemplar  dan dijual di seluruh Indonesia lewat jalur distributor. Belum lama ini saya mengontak penerbit, apakah masih ada stok "novel Jehenna" di gudang? kalau masih ada saya ingin membelinya dua eks saja untuk arsip saya. Sebab sekarang saya tidak lagi memiliki novel tersebut. Lima eks hadiah dari penerbit sudah habis saya bagikan kepada kawan-kawan dan terakhir saya mengirimkan novel itu kepada Badan Bahasa di Jakarta. Diva, yang menerbitkan "novel Jehenna" sudah tidak memiliki stok lagi. "Wah, mungkin sudah habis. Semoga cetak ulang," kataku. 
            "Itulah, Mas. Belum ada permintaan cetak ulang dari distributor, jadi..." 
            "Oh, begitu..."
            "Coba cari di toko buku, barangkali masih ada..."
            "Baiklah...."
======================================================
Teringat novel Jehenna, saya jadi ingin memposting sedikit petikannya. Beberapa kawan bertanya, di mana saya mesti "download novel Jehenna" ?
Tegas saya katakan tidak bisa. Novel itu hanya bisa dibaca dalam bentuk cetak. Maka, bagi yang penasaran ingin membaca, silahkan mencarinya di toko buku sebelum kehabisan.Wah, wah, judul postingan ini menipu dong? Hehe... maaf deh. Sungguh, saya tidak bermaksud untuk menipu. Saya memberi judul itu karena beberapa kali ada kata kunci "download novel Jehenna" kesasar masuk blog ini, yang bagi saya itu termasuk sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Dan lewat postingan ini saya bermaksud menjawabnya. Kalau memang anda ingin sekali membaca "novel Jehenna" dan belum bisa mendapatkan bukunya, bisalah sementara membaca petikan novel berikut: 

"Petikan novel Jehenna" bab empat:

JEHENNA NAMAKU. Aku begitu menikmati hidupku, seperti juga Maswath dan Zalnabur (aku mulai terbiasa memanggil dua orang tuaku itu dengan nama setelah umurku lima puluh tahun lebih). Duh, senangnya, dilahirkan sebagai makhluk seperti aku. Kami hidup di bumi yang juga ditempati oleh manusia. Cara kami hidup hampir mirip dengan manusia. Sebagian dari kami ada yang hidup menggelandang, tak punya rumah yang tetap dan sebagian lagi ada yang tinggal di rumah-rumah. Tentu saja rumah kami berbeda dengan rumah manusia, meski sebenarnya memiliki fungsi yang sama saja, sebagai tempat singgah. Kami tidur, makan, kawin, dan bermain-main. Yang membanggakan bagi kami adalah, bahwa kami tak terlihat oleh mata kepala manusia sedang kami dapat memandang sepuas mata aktifitas mereka.
Dulu, ketika usiaku kepala lima, sering pada pagi buta ketika Al Mu’tadir, manusia penghuni kamar yang ranjangnya kami tempati, masih lelap di ranjangnya aku keluar dari istana kolong ranjangku, meninggalkan Maswath dan Zalnabur yang masih berdekapan. Sering aku bermain-main dengan selimut Al Mu’tadir, si tua bodoh itu, hingga kadang ia terbangun dan merinding ketakutan.
            Setiap adzan subuh menyilet gelap, aku akan terbang melesat, menembus dinding-dinding istana dan tembok kota, lalu hinggap di sebuah batu besar di sungai Tigris. Sungai yang jernih mengalir tak jauh dari istana. Sungai di mana abu mayat Hallaj dihanyutkan setelah kepalanya dipenggal dan terlebih dulu kedua bola matanya dicungkil dan lidahnya dipotong. Di sungai Tigris inilah aku biasa bemain-main dengan kawan-kawan sepantaranku. Mereka adalah Sibly, Barnabas, Aminah, dan Hakim: anak-anak jin yang pengecut yang tinggal di kota ini.
Sibly merupakan lelaki yang umurnya 2 tahun lebih tua dariku tetapi ia tak berani sekalipun hanya memainkan selimut manusia, apalagi mendekati manusia yang tengah berwudhu. Hakim merupakan anak yang selalu patuh dengan orang tuanya. Ia merupakan anak dari golongan jin muslim yang taat di kota ini. Aku sering melihatnya tengah disiksa oleh orang tuanya, dan ia hanya diam menahan tangis dan kesakitan. Sedang, barnabas adalah yang paling tua di antara kami, tetapi bukan berarti ia lelaki yang paling berani. Suatu ketika ia pernah aku tantang untuk menggoda seorang Imam di tengah shalatnya, dan Hakim menyerah sebelum bertanding. Yang terakhir adalah Aminah, putri tunggal Habib al-Huda, salah satu sesepuh dari golongan jin muslim yang cukup ditakuti di kalangan kami. Ia memiliki rambut yang panjang. Hidungnya bulat, bentuk matanya seperti mataku, agak memanjang ke samping. Tetapi warna matanya kekuning-kuningan (bangsa jin memang memiliki tubuh yang bermacam-macam dan mungkin bagi manusia rupa-rupa jin terkesan sangat aneh). Jujur, ia terlihat lebih cantik ketimbang Zalnabur. Hanya saja ia seorang muslim. Nasib Aminah hampir mirip dengan Hakim. Ia begitu patuh terhadap orang tuanya dan selalu di suruh belajar ilmu agama. Pernah suatu hari aku melihat Aminah marahi dan dipukul oleh ayahnya karena berani mengintip sepasang suami istri yang tengah bersenggama. Aku mencoba membelanya, dengan mengatakan pada Habib al-Huda, bahwa Aminah tidak bersalah, suami-istri itulah yang salah karena lupa membaca mantra. Tetapi pukulan Habib al-Huda, jin tua yang mengenakan jubah putih dan tarbus itu justru berpindah memukuliku.
Lalu aku adukan perbuatan Habib al-Huda itu kepada Maswath, ayahku. Kontan Maswath marah mendengar ceritaku. Ia ingin membalas tindakan Habib al-Huda, tetapi aku mencegahnya. Aku pikir, Maswath kurang cerdik. Sukar mengalahkan Habib al-Huda dengan kekerasan sebab ia memiliki kawan yang banyak di daerah ini, juga memiliki cambuk sakti yang biasa di simpan di dalam mulutnya. Menurutku akan lebih bagus jika mengalahkan Habib al-Huda pelan-pelan, dengan cara yang halus. Maka, aku pilih Aminah sebagai jalan untuk membalas dendamku terhadap Habib al-Huda.
Suatu hari, Aminah tidak datang ke sungai Tigris untuk bermain bersama kami. Tanpa Aminah, seolah kurang lengkap. Maka, kami (aku, Sibly, Barnabas, dan Hakim) sepakat membatalkan permainan, dan mengganti acara untuk menjenguk Aminah.
Aminah tinggal di kompleks kuburan manusia bersama ayah dan ibunya dan beberapa jin muslim lainnya. Tentu saja kami tidak boleh bertindak gegabah. Sebab jika Habib al-Huda tahu kedatangan kami, mustahil kami bakal lolos dari cambuk saktinya yang ia simpan di dalam mulut. Kami mengendap-endap di tembok pekuburan. Dengan perasaan was-was kami edarkan mata mengelilingi kompleks pekuburan. Kutemukan Aminah tengah duduk di depan pelataran cungkup, di depannya Qur’an, dan di sebelahnya terlihat Habib al-Huda memegang cambuknya.
Sibly, Barnabas dan Hakim terlihat putus asa. Mereka berdua tahu, tidak akan mungkin berhasil membujuk Aminah saat ia bersama ayahnya. Dengan hanya menepuk bahuku—seperti memberi aba-aba agar aku berhat-hati—mereka bertiga menghambur meninggalkanku. Aku tak bisa lagi mencegah mereka yang secepat kilat menghilang dari pandangan.
Aku hanya diam, mengendap-endap di kejauhan, sembari memandangi wajah Aminah. Sayup-sayup kudengar Habib al-Huda memberi pelajaran pada Aminah, sebagaimana yang dilakukan Zalnabur dan Maswath padaku setiap malam. Diam-diam aku mengikuti apa yang disampaikan Habib al-Huda pada Aminah, yang diucapkan dengan nada lantang dan terdengar tak masuk akal; berbeda dengan yang disampaikan Zalnabur dan Maswath padaku.
Tidak tertarik mendengar ceramah Habib al-Huda aku melesat pergi. Membawa penat dan kejengkelan yang meledak-ledak aku kunjungi pasar di mana Zalnabur biasa mencari makan setiap hari. Ya, banyak makanan lezat dapat kami dapat di pasar. Sebenarnya aku dan semua golonganku dapat makan apa saja, termasuk kotoran keledai, kuda atau unta atau tulang belulang binatang. Tetapi cara makan yang paling lezat dan paling kami sukai bagi kami adalah makan satu piring bersama manusia. Meski tidak semua manusia baik hati pada kami, mau mengijinkan kami turut serta makan bersama. 
......................................................................................................
Petikan Novel Jehenna Bab Sepuluh
 
ENTAH HARUS bagaimana aku meminta ampun padamu, Gustaf.”
“Aku tahu kau sudah berjuang dengan mengerahkan segala kemampuan, Jehenna. Aku lihat sendiri saat kau menjelma menjadi cahaya putih benderang semalam. Kau hebat, hampir-hampir aku tak mengenalimu waktu itu.”
“Lupakanlah itu, Gustaf. Sepuluh ribu hari seperti sedetik saja rasanya.”
“Kau masih ingat dengan janjimu rupanya.”
“Tubuhku perih sekali, Gustaf.”
“Aku pun merasakan demikian ketika menguntit Fakhrudin, bahkan sampai ketika ia hendak dikuburkan. Mungkin untuk sementara waktu kau istirahatlah dulu. Pergilah ke kota dan hiburlah dirimu. Bumi Tuban semakin lama semakin ramai manusia. Kau pasti menyukainya, Jehenna.”
“Benar katamu, Gustaf. Sementara waktu aku akan pergi. Tetapi kumohon, kabari aku jika istri Musthafa mengandung seorang putra. Aku yakin, Musthafa akan mengikuti apa yang pernah dikatakan ayahnya.”
“Kau pejuang gigih, Jehenna. Tak pernah kau merasa letih. Tentu aku akan mengabarimu nanti.”
☻☻☻
PAGI BUTA. Membawa kesal dan segunung malu aku melesat meninggalkan Gustaf. Menuju kota Tuban yang masih temaram.
Rupanya, waktu telah menyeret Tuban dengan wajah baru. Dulu, di tempat yang kini menjadi pusat kota Tuban, hanya terdapat sebuah bangunan yang besar, dan beberapa bangunan rumah dari kayu. Tetapi kini bangunan-bangunan beton sudah tumbuh di mana-mana. Sudah pula berdiri sebuah masjid baru yang lebih besar dan mewah yang terletak beberapa meter dari makam si Bonang.
Aku melayang-layang mengelilingi kota ini. Satu dua kendaraan melintas di jalan aspal. Satu demi satu pintu rumah dan pertokoan terbuka. Seseorang berkulit putih keluar membawa anjing, berlari-lari kecil. Di tangga masjid terlihat beberapa pemuda duduk sembari bersendau gurau. Tak jauh situ, di alun-alun kota tepatnya, nampak beberapa orang, tua-muda, bermain petasan besar-besar.
Ketika hari memasuki siang, aku datangi pasar. Terkenang aku dengan Zalnabur, ibuku, yang dulu mengajariku cara memilih makanan yang lezat. Aku sadar ini bukan Bagdad dengan manusia-manusia mengenakan jubah. Inilah Tuban yang dihuni manusia bercelana dan sebagian berkebaya. Tetapi tak jauh beda situasi pasar Bagdad dan Tuban. Orang-orang keluar masuk toko pakaian dan makanan. Kusaksikan pula beberapa pengemis tertunduk di tepi jalan. Memasuki lorong-lorong pasar, kulihat perempuan-perempuan penjual sayur mayur merayu pembeli yang hilir mudik. Penjual benda tajam berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Ah, di manakah dapat aku temukan orang makan pada Ramadhan macam ini? Baru aku berpikir, segera aku lihat itu seorang lelaki tengah merokok di pojok pintu masuk lorong pasar. Di sana ada juga warung yang pintunya setengah terbuka.
Dengan cepat aku hinggap di bahu kiri seorang lelaki yang tengah bersantap di sebuah warung makan. Kenapa mesti malu-malu membuka warung dengan pintu lebar-lebar? Toh meskipun pintu warung hanya dibuka setengah saja, banyak pengunjung tetap datang. Dan mereka makan dengan lahab dan tenang. Ah, entahlah. Aku nikmati saja daging kamping dari mulut lelaki yang bahunya kuhinggapi.
Setelah bersantap, aku melesat ke udara dan turun kembali setelah kupergoki segerombol pemuda tengah bermain judi. Di tengah kota yang ramai masih juga terdapat tempat yang tersembunyi seperti ini? Entah siapa pemiliknya. Tetapi aku yakin, sebuah ruang dengan ukuran delapan kali lima meter ini sengaja dibangun sebagai tempat perjudian. Sepuluhan lelaki dengan tubuh penuh keringat dan mata merah mengguratkan ketegangan di wajah. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja panjang. Beberapa gelas berisi tuak seolah mereka lupakan. Mata mereka tajam memanah kartu-kartu remi. Kulihat  dua orang lelaki kekar berjaga-jaga di pintu. “Tak usah terlalu seriuslah,” ejekku pada mereka. Dan mereka pun tertawa, seperti mendengarkanku. Beberapa jin yang menghinggapi kepala mereka juga tertawa mendengar ucapanku. Ada yang kurang di sini, pikirku. Tak ada seorang perempuan pun menemani mereka bermain judi. Ah, tapi ketimbang mereka melupakan permainan menyenangkan ini, tanpa perempuan pun tak apalah. 
Ahai, Tuban benar-benar telah berubah. Bukan hanya bangunan-bangunannya, tetapi juga tingkah laku manusianya. Ternyata ajaran Bonang mulai terlihat tanda-tanda keruntuhannya. Ah, tak seperti yang aku kira.
Setelah meminjam mulut salah seorang penjudi untuk menenggak tuak, aku keluar dari ruang perjudian. Dan sial! Azan dzuhur telah menyambutku di luar. Merontokkan semua nikmat yang baru kurasakan. 

=====================================
"Petikan Novel Jehenna" Bab Dua Puluh Tiga

JEHENNA NAMAKU. Siapa bilang aku tak percaya dengan kekuatan Tuhan? Ia ada dan hidup, aku juga percaya, sangat bahkan. Hanya saja, aku tidak percaya kalau dia (yang sering ditulis dengan “d” kapital) ada dengan sendirinya. Aku lebih percaya dengan apa yang pernah dikatakan pempinan utama Perguruan Dasar Laut; bahwa Allah, nama Tuhan itu, punya kekuatan mencipta karena telah merebut kaf dan nun dari Tuhan sebelumnya. Aku sendiri tak tahu seperti apa wujud kaf dan nun itu, jika memang berwujud. Pernah aku dengar bahwa kaf dan nun itu adalah ucapan Allah, diambil dari kata kun fayakun yang artinya, “jadilah” maka jadilah ia, jadilah apa Allah mau. Kalau menurutku sendiri kaf dan nun hanya sekadar nama. Nama untuk sebuah senjata maha rahasia, yang kalau kami dapat merebut senjata itu dari genggaman tangan Allah, maka kami juga akan dapat memiliki kemampuan mencipta dan bertindak sekehendak hati, termasuk menghidupkan dan mematikan makhluk. Permasalahannya, kenapa Allah tidak membunuh semua makhluk, termasuk aku, yang berusaha menyingkirkan kedudukannya, yang mengancam singgasananya? Kenapa ia justru menciptakan kami?
Sekian tahun memikirkannya, aku hanya dapat menjawab bahwa Allah membiarkan kami hidup sebagai coba bagi manusia, makhluk yang dilengkapi dengan akal pikiran dan dimuliakan dari makhluk lainnya. Barangkali Tuhan yang dulu, Tuhan sebelum Allah yang aku percaya adanya itu, juga berpikirkan begitu: membiarkan segolongan makhuk sebagai coba makhluk lain untuk menguji keimanan dan kepatuhan mereka; tetapi akhirnya makhluk yang dibiarkan menjadi penggoda itu justru menjadi bumerang bagi diri Tuhan itu, merebut kaf dan nun dan mengangkat diri sebagai Tuhan.
Jawaban itulah yang membuatku yakin, bahwa kami, segolongan makhluk penggoda manusia, pada saatnya nanti dapat merebut rahasia Allah yang kini memimpin gerak bumi seisinya, untuk kemudian pada akhirnya kami menyatakan diri sebagai Tuhan yang abadi.
Sebagaimana yang aku pelajari di Perguruan Dasar Laut bahwa  kekuatan Tuhan tersimpan di dalam al-Qur’an. Musnahnya al-Qur’an dari bumi, dari dada-dada manusia beriman, berarti kalahnya kekuatan Tuhan. Lenyapnya Qur’an menjadi tanda kemenangan kami. Boleh saja ayat-ayat al-Qur’an masih tertulis dan terkumpul dalam sebuah buku, tetapi ia tak akan berarti apa-apa jika manusia tidak mempercayainya lagi. Selama masih ada manusia tunduk menyembah pada Tuhan, itu berarti al-Qur’an masih hidup, Allah masih berkuasa dan dapat berlaku sekehendak hatinya. Tapi nanti, setelah Qur’an lenyap dari dada-dada manusia hingga tak seorang pun ada manusia menyembah Tuhan atau sekadar merasa lemah di hadapan Tuhan maka kamilah yang akan berkuasa. Kaf dan nun-nya akan terlepas dan genggamannya, atau mungkin tidak berfungsi lagi kecuali digunakan oleh kami sebagai pihak yang menang. Begitulah, pelajaran yang aku terima di Perguruan Dasar Laut.
Kami selayak pemburu gaib, sedangkan manusia adalah buruan yang tolol. Betapa tidak? Manusia tak dapat melihat wujud kami, sedang kami dapat dengan jelas dan terang melihat mereka. Sehingga kami dapat melepaskan ribuan anak panah dan memasang jebakan untuk menjerat buruan kami dengan gampang. Itulah yang membuatku percaya diri; bahwa Al-Qur’an dapat dimusnahkan dari dada-dada manusia.
Memang banyak ayat-ayat Qur’an yang berbicara perihal kami: cara membentengi diri dari tajam anak panah kami, cara agar selamat dari jebakan-jebakan yang kami pasang, dan banyak. Tetapi, sekali lagi, karena kami tak terlihat dari pandangan manusia maka banyak manusia tidak percaya dengan eksistensi kami. Sebagian manusia menertawakan ayat-ayat Qur’an itu dan sebagian lagi memang percaya, tetapi seringkali lengah-lupa.
Al-Qur’an memang menyimpan kekuatan luar biasa, kami sadar itu. Jika ia dibacakan kami seringkali lari terbirit, entah karena apa. Seolah ada kekuatan yang maha gaib tersimpan dalam setiap huruf di dalam Qur’an. Bahasa Qur’an memang kami akui begitu indah, tak ada yang dapat menandinginya. Meski begitu tidak semua ayat-ayat di dalamnya kami, khususnya aku percayai; di antaranya ayat-ayat yang mengatakan ada alam setelah mati.
Seperti kebanyakan manusia, aku tidak percaya dengan ayat yang menjelaskan perihal alam setelah kematian. Dengan sangat sederhana aku dapat beralasan, yakni karena aku belum melihatnya dengan mata kepala. Selain itu, percaya pada ayat-ayat tentang alam setelah kematian itu sama artinya aku harus keluar dari jalan perjuangan ini. Keluar dari jalan juang sama artinya dengan hilangnya kesempatan untuk menjadi Tuhan. Pikirku, jika memang surga itu ada, tentulah nikmatnya tidak seberapa dibanding jika aku menjadi Tuhan. Bukankah dengan menjadi Tuhan, aku dapat menciptakan apa pun, jauh lebih nikmat dari surga yang digambarkan al-Qur’an sekalipun.
Lalu, jika tiba-tiba aku mati dan ternyata apa yang dikatakan Qur’an perihal alam mengerikan di sana itu benar? Bukankah kata al-Qur’an aku dikenakan juga kewajiban menyembah Tuhan dan akan mendapat siksa yang pedih jika membangkang? Ah, itu urusan nanti. Sebagai makhluk, kematian memang niscaya bagiku. Kematian tetaplah suatu yang misteri. Tetapi entah kenapa aku percaya jika aku akan berumur panjang. Tuhan memang bodoh, pikirku. Ia sengaja memberi kami, para pembisik manusia ini, dengan umur yang panjang-panjang. Ratusan atau bahkan ribuan tahun. Memiliki umur ratusan tahun, membuatku kadang berkesimpulan: Tak ada gunanya memikirkan kematian. Jika pun aku mendadak mati sebelum kaf dan nun Tuhan berhasil kami rebut, aku sangat percaya, aku akan dihidupkan kembali setelah kawan-kawan seperjuanganku berhasil merebut kaf dan nun itu. Bagaimana jika kawan-kawanku tetap tidak bisa merebut kaf dan nun itu? Tidak! Dengan kekuatan yang kami miliki dan dengan tetap menggalang persatuan aku yakin kami akan sanggup melenyapkan Qur’an dari bumi, dari dada manusia beriman.

=================================================== 
Redakan penasaranmu dengan membaca lengkap novelnya!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »