Cerpen Jusuf AN
“Sudahlah, Yanti. Jangan artikan musibah ini sebagai kutukan. Semua sudah terjadi, dan tak ada yang perlu disesali.” Entah sudah berapa kali Zaitun mengulang kalimat itu. Tapi Yanti, anaknya, seolah tak mendengarkan. Tangisnya kembali pecah, air matanya membuncah. Ah, betapa hal ini menandakan suatu keperihan yang sangat. “Ibu tahu bagaimana perasaanmu. Dada Ibu juga masih sakit sekali. Tapi sudahlah, semoga musibah ini terjadi bukan karena kesengajaan seseorang, tapi karena keteledoran kita semata,” lanjut Zaitun, sembari membelai-belai rambut Yanti yang tergerai.
Di luar kamar, jengkerik mengerik. Rembulan separuh bulat menggantung di langit. Dan angin, apa yang dirasakan angin saat membentur tembok rumah yang dihuni Zaitun dan Yanti? Rumah yang dua hari silam dikejutkan oleh peristiwa yang sangat memalukan.
Tengoklah, Yanti masih ngungun di ranjang berseprei hijau daun. Dua tangannya tak bergerak untuk kemudian mengusap cecer air mata yang berlinang di pipinya yang pucat. Pandangannya kosong. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam kepalanya. Mungkin ia tengah menebak-nebak sebab-musabab hal yang paling perih dan memalukan dalam hidupnya.
“Sawan manten? Ah, kamu, sukanya mengada-ada.” Tentu, Yanti masih ingat kalimat yang diucapkannya, seminggu sebelum pesta perkawinannya digelar. Betapa ia tak percaya atas keterangan Manda, sahabat dekatnya.
“Tadinya aku juga tidak percaya, Yanti. Tapi dua peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini cukup untuk membuktikan bahwa sawan manten memang benar-benar ada,” jawab Manda.
“Peristiwa macam apa yang membuat akal sehatmu teracuni, Manda?”
“Pernihakan Galuh dengan Weni, teman SMP kita, gagal hanya karena perdebatan tentang surat undangan.”
“Ya, kalau yang itu aku sudah dengar dari Ibu. Yang satunya?”
“Dayat dan Hajar, kamu tahu, mereka berdua memang sempat duduk di kursi pelaminan. Tapi ketika pihak keluarga Hajar mengantarkan menantu ke keluarga Dayat, di tengah perjalanan mobil yang mereka tumpangi kecelakaan.”
“Jadi, Hajar dan suaminya….”
Manda hanya mengangguk-anggukkan kepala sembari memandang wajah Yanti yang ketakutan. “Sekarang kamu percaya ‘kan? Kata orang mereka terkena sawan manten.”
“Percaya apa? Sawan manten?” ujar Yanti ketus, lalu menggelengkan kepala beberapa kali. “Tidak, Manda! Peristiwa yang barusan kau ceritakan itu hanya suatu musibah yang kebetulan. Aku tidak percaya dengan sawan manten.”
Mulanya Yanti memang tak percaya, dan mencoba untuk tetap tidak percaya. Sebagai seorang Sarjana Fisika yang baru diwishuda Yanti tentu akan malu kalau percaya dengan takhayul seperti itu. Tapi, ketika bertanya pada Zaitun mengenai hal itu, diam-diam ia mulai menanam kebimbangan.
“Sawan itu sama saja dengan kesialan. Sebelum Ibu menikah dengan Ayahmu yang telah meninggal, Ibu juga diberitahu oleh Kakek perihal sawan manten. Konon sawan manten bisa berupa kecelakaan lalu-lintas, keracunan, pertikaian antara keluarga mempelai, dan macam-macam lainnya. Tapi sudahlah, kamu jangan panik dan tak usah terlalu memikirkannya. Kamu ingat, Ibu pernah beri tahu bahwa setan sebenarnya selalu ikut campur dalam setiap urusan kita. Setan tak pernah suka jika ada anak manusia yang ingin berbuat kebaikan. Pernikahan itu merupakan kebaikan, Yanti. Tapi kau jangan pernah takut dengan setan.”
Sejak keterangan Yanti terima ada ketakutan yang dari detik ke detik bertambah mengusik. Meski begitu, Yanti tak pernah menunjukkan ketakutan itu pada siapapun termasuk calon suaminya sendiri. Di depan Suryo, Yanti selalu tampil ceria, dengan bibir yang tak henti-henti berbunga. Entah kenapa Yanti merasa tenang setiap ada di samping Suryo. Sungguh, Yanti seolah mimpi sebentar lagi Suryo akan menjadi suaminya. Yanti tak mungkin lupa dengan pertemuannya dengan Suryo awal mula. Waktu itu Yanti baru naik kelas tiga SMA dan Suryo tengah merayakan kelulusannya. Di alun-alun kota, saat ratusan siswa tengah tertawa-tawa—entah gembira atau apa—Yanti, Suyo dan Manda, bertemu dan berkenalan. Paras Yanti biasa saja saat menyambut tangan Suryo, berbeda dengan Manda yang mendadak gugup. Dan begitulah, beberapa hari setelah perkenalan itu Manda bercerita pada Yanti, bahwa dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Kau yakin, ini perasaan cinta?” tanya Yanti.
“Apa lagi namanya kalu bukan cinta? Aku tak nyenyak tidur dan selalu terbayang wajahnya, tak bisa membaca tulisan karena di setiap buku senyumnya tergambar, dan hampir setiap malam bermimpi bertemu dengannya, apa namanya kalau bukan cinta?”
Dan Yanti tak kaget lagi, ketika beberapa minggu setelah itu Manda datang ke rumahnya dengan wajah sumringah. “Doakan aku dan Suryo ya!” Tentu saja, Yanti turut gembira dan ikut merayakan kebahagiaan itu di sebuah kafe sederhana di sudut kota.
Tapi cinta memang sukar di tebak datang dan perginya—masuk tanpa permisi, keluar tanpa pamitan. Lulus SMA Yanti memilih kuliah di Jogja, sedang Manda di Jakarta. “Ibuku akan selalu khawatir jika aku kuliah di Jogja, sebab di sana aku tak punya saudara. Aku titip Suryo ya….”
Dan Yanti tak pernah menduga kalau di Jogja, kamar kosnya akan berdekatan dengan kos Suryo. Mulanya ia tak punya perasaan apa-apa saat Suryo datang ke kosnya, mengajak jalan-jalan di Malioboro, menghabiskan malam di depan benteng Vredeburg, atau mengililingi alun-alun kidul dengan sepeda ontel. Sampai suatu saat Yanti mendengar dari mulut Suryo sendiri bahwa Manda bukan lagi kekasihnya.
Yanti tertegak dan membayangkan wajah Manda di Jakarta. Setelah menelpon Manda baru ia lega, sebab Manda justeru terkekeh mendengarnya. Manda mengaku telah punya kekasih yang lebih ganteng dari Suryo. Yanti terheran-heran dengan laku Manda. Tapi ia lebih heran dengan dirinya sendiri, yang lambat-laun menjadi bertambah dekat dengan Suryo yang ternyata juga sehati.
Maka demikianlah, setelah Yanti wishuda, mereka benar-benar merencanakan hari perkawinan. Ketika mendengar rencana itu, Manda tergagap sejenak, tapi secepatnya bisa menguasai diri. Manda memang sudah mendengar hubungan Yanti dan Suryo sejak lama. Tapi, siapa yang tidak terkejut saat mendengar seseorang yang pernah singgah di hati akan menikah dengan orang lain?
“Kamu merestuinya kan, Manda?”
“Mhh, tentu. Tentu, aku merestui.” Sebenarnya dada Manda bergeletar. Bukankah ia sudah tidak menaruh perasaan apa-apa dengan Suryo? Entahlah.
**
Derai gerimis tipis mencipta nada ritmis di atas tenda biru yang didirikan di depan rumah Yanti. Di dalam, tepatnya di meja prasmanan, menu masakan menguapkan aroma harum, membuat siapa saja yang menciumnya merasa lapar. Setelah tamu-tamu yang datang menyalami calon pengantin dan keluarga, tak ada yang ketinggalan singgah di ruang makan. Bukankah makanan bergizi bisa didapatkan di tempat-tempat seperti ini? Ada opor, aneka telor, tumis cumi-cumi, mie…., siapa tidak tergoda? Sementara itu, di teras rumah Yanti dan Zaitun sibuk menerima tamu yang baru datang, dan pamitan pulang.
Tak nampak hidung Manda bersama Yanti. Manda ada di dapur, bersama ibu-ibu meracik bumbu. Sebagai kawan, sangat wajar Manda turut membantu. Tapi sebenarnya Yanti sudah melarang Manda agar tidak repot-repot ikut memasak. Yanti lebih menginginkan Manda menemaninya menerima tamu. Bukankah segian besar kawan Yanti yang diundang, juga merupakan kawan Manda? Tapi entahlah, Yanti tak tahu kenapa Manda menolaknya.
Lihatlah, betapa Manda bersemangat mengulek mrica, bawang-berambang, gula, garam… Keringat membuncah dari tubuhnya. Lihatlah pula, wajah Yanti yang berseri-seri menyiratkan kebahagiaan. Bagaimana tidak, besok pagi ia akan disandingkan di depan penghulu untuk dinikahkan. Adakah yang lebih indah dan awet dikenang selain hari pernikahan?
Indah? Ya, harapan Yanti dan Suryo serta keluarga mereka pastilah demikian. Tapi jika keinginannya bertolak apa yang mesti dikata.
Tak ada yang menduga jika keesokan harinya, ketika Yanti dan Suryo diarak ke serambi masjid untuk dinikahkan mendadak puluhan orang berduyun-duyun mendatangi rumahnya. Mereka adalah orang-orang yang keluarganya jatuh sakit akibat memakan hidangan pernikahan di meja prasmanan kemarin hari.
Mendengar makian puluhan orang itu pihak keluarga Suryo serasa tertimpa runtuhan bebatuan gunung. Pengiring pengantin yang tadinya tersenyum-senyum serentak tercengang. Tatapan mata Yanti mengabur. Bagai tersirap, Yanti jatuh tersungkur. Langit pagi yang biru berubah hitam pekat di mata Zaitun. Ia tak tahu apa yang mesti diperbuat saat keluarga Suryo menampakkan muka tegang dan tatapan mata garang. Suasana bertambah kacau saat ayah Suryo turut memaki-maki keluarga Yanti, lalu menyeret anaknya segera pergi. Oh, betapa peristiwa ini sangat memalukan, sangat memilukan!
“Untunglah keamanan desa segera datang, Yanti. Jika tidak, maka…” Zaitun menangis lirih di depan Yanti baru siuman. Belum reda pilu mereka, keesokan harinya, ada kabar datang mengiris dada. Dari hasil outopsi polisi, ternyata mie yang tersaji mengandung zat racun serangga. He! Siapa telah menuangnya?
“Kita kena sawan manten, Yanti,” kata Zaitun menyimpulkan. Dan Yanti diam tak bergerak. Dadanya sesak terhentak.
Kini Yanti tak ubahnya makhluk yang disemayami aneka penyakit. Hampir seminggu ia tak bangkit dari ranjang. Wajahnya nampak begitu pucat, tak bertenaga. Tak bertenaga? Tidak! Lihatlah, seolah baru menerima wangsit mendadak saja ia bangkit. Berlari menuju dapur, mengambil pisau, dan kemudian menghambur ke luar rumah. Zaitun cergas mengejar dan mendekapnya. Keras Yanti meronta hingga terlepas. Apa yang akan dilakukan Yanti dengan pisau itu, Zaitun sama sekali tak paham. Tapi Yanti terus berlari dan berhenti di depan pintu sebuah rumah seseorang yang sangat ia kenal: Manda!
Rumah Poetika, November 2006-April 2007