Cerpen Jusuf AN
(Pernah dimuat di majalah horison, April 2006)
APA lagi yang kau takutkan, Madun? Berangkatlah, temui Arina di taman! Ia telah menunggumu. Mengapa kau masih duduk termangu? Tak usahlah takut pada Liana, istrimu. Ia menunggu jemputanmu pukul sembilan nanti, ketika toko kain tempatnya kerja tutup. Dan kau masih punya waktu dua jam. Yakinlah kalau Liana tak akan tahu ikhwal Arina.
Shalat isya nanti saja, Madun. Setelah semua urusanmu selesai (aku berharap kau malah melupakannya saja). Berangkatlah sekarang! Nah, begitu.
Madun beranjak membuka lemari, mengambil selembar baju. "Bagus!" gumamku, tanpa ada yang mendengar. Kemeja biru itu kontras dengan warna kulitmu yang semu kecoklatan. Cahaya bulan akan membuatmu semakin menawan, dan Arina pastilah akan senang memandangmu.
Setelah sekian lama aku kewalahan menyusup di hatimu, akhirnya, berhasil juga kutemukan celahnya. Sebuah celah yang dulunya teramat kecil, yang ada dengan sendirinya akibat ulah sepasang matamu.
"Indah benar mata perempuan itu!" Waktu itu kau terpukau memandang sepasang bola mata Arina saat lampu merah membuatmu menunggu. Kau tak tahu bahwa aku telah menyelinap ke dalam mata Arina. Aku balas memandangmu. Ih, senangnya, ketika kau melempar senyum pada Arina. Aku yakin Arina menjadi lebih cantik dalam pandanganmu karena kehadirku di matanya.
Ketika lampu menyala hijau kau membuntuti Arina sampai di toko sepatu. Aku tahu kau ingin kenal dengan Arina bukan? Makanya, aku sengaja masuk dalam hati Arina—karena lebih mudah ketimbang masuk dalam hatimu—agar ia (Arina sebenarnya perempuan lugu dan pemalu) menjadi luluh padamu. Kau mendekatinya, kemudian melempar tanya, "lagi cari sepatu nih?"
"Iya, Mas, kira-kira yang cocok mana ya?" Arina merespon dengan tingkah genit setelah terlebih dulu aku menyelinap dalam bibinya. Lantas kau bertukar nama dengannya. Dan kau yang tadi pagi baru menggambil gaji mencoba merayunya dengan membayar sepatu pilihan Arina di kasir.
Aku pasti tertawa jika teringat semua itu, Madun. Sebab dendamku padamu masih menyala, dan akan terus menyala. Tak bisa aku lupakan saat-saat terbakar oleh dzikir yang diajarkan ayahmu: istighfar, tasbih, tahmid, shalawat, dan tahlil. Semua bacaan itu kau lafalkan masih-masing seratus kali tiap pagi dan petang. Membuat benteng hatimu semakin tebal hingga aku kelimpungan menembusnya.
Padahal dulu, waktu kau masih pacaran dengan Liana, kau selalu terbuka mendengar semua bisikan busukku. Ketika kalian tengah berduaan di pagar jembatan, aku bisa menjelma menjadi sejuta, lalu mengepung kau dan Liana. Waktu itu bulan temaram. Dan kalian terpukau memandannya. Aku meyakinkamu bahwa tak ada orang selain kau dan Liana di tempat itu. Maka, kau pun percaya. Mulanya, kau membelai tangan Liana, meremas, lalu kau cium keningnya mesra. Liana menyangka kau menciumnya dengan cinta, Madun. Padahal itulah berahi yang aku cipta.
Masih juga kuingatan, ketika suatu senja kau dan Liana bercumbu di kuburan China yang sepi, dipayungi langit warna oranye. Di pelataran salah satu makam kau berbisik lirih bersama semilir angin yang mengibas rambut Liana, hingga nampak kulit lehernya yang kuning langsat. "Aku tak bisa membahasakan besarnya cintaku padamu hanya dengan kata-kata, Liana." Serentak aku menyusup dalam hati Liana untuk mempercayai bualanmu. Lantas kalian pun saling membelai rambut, berciuman, kemudian rebah dan berguling-guling di rerumputan hijau.
Setiap desahmu berarti kebahagiaan tak terkira bagiku. Maka, kupacu berahimu terus kupacu. Tak sabar aku menunggu saat-saat paling istimewa itu. Saat di mana tubuhmu menyatu dengan tubuh Liana. "Ayolah, Madun! Bahasakan cintamu dengan kelaminmu!" Lembut aku berbisik. Tapi, sialnya kau tersadar sebelum menyelam ke percintaan yang paling dalam. Kau tiba-tiba teringat kejadian tragis sepasang kekasih yang mati bunuh diri dengan tubuh telanjang dan kelamin saling mengunci, karena mereka bersenggama di kuburan itu.
Tapi aku tak patah semangat. Di lain waktu, ketika kau tengah jenuh dengan rutinitas kuliahmu, aku membisikimu: "Pergilah keluar, Madun! Carilah anggur. Dan jangan lupa ajaklah Liana." Tapi kau hanya keluar memenui Liana tanpa mau membeli anggur. Ketahuilah, Madun. Kebanyakan manusia dengan senang hari mau menjadi kekasihku. Mereka semua bahagia bersamaku. Tapi kau?
"Lamarkanlah Liana untukku, Bapak!" Ketika kau mengatakan itu pada bapakmu berkali-kali aku mengumpat. Kau masih kuliah, Madun, bisikku. Kau tak boleh menikah. Tak boleh! Akan dikasih makan apa Liana? Tariklah kembali ucapanmu! Namun, kau abai dengan bisikanku.
"Kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu?" tanya bapakmu, Kiai surau yang keningnya penuh kerut, dengan suara parau.
"Sungguh, Bapak. Aku…"
Cergas aku melesat menuju dapur, menemui ibumu yang tengah mendadar telor. Sebab aku tahu wanita paruh baya itu ingin kau menikah setelah merampungkan kuliah. Kutajamkan pendengarannya, hingga akhirnya ia mendengar pecakapan kau dan bapakmu di ruang tengah, lalu menghampiri.
"Bapak malah senang kau berterus terang, sebab Bapak tahu…"
"Tapi Emak tidak!" Kau dan bapakmu kaget, serentak memandang sumber suara yang muncul tiba-tiba. "Kau mesti menyelesaikan kuliah dulu, baru setelah itu menikah," sambung emakmu.
Tapi bapakmu pandai bicara dengan peluru dalilnya. Dan anehnya, emakmu menjadi setuju. Sungguh, tak bisa aku lupakan ketika kedua orang tuamu datang melamar Liana untukmu. Padahal paling lambat, satu minggu lagi, aku yakin kau akan masuk dalam lorong gelapku yang paling hitam. Aku telah merencanakan semua itu, tepat dihari ulang tahunmu: Liana datang padamu tanpa membawakan kado. Saat itulah aku akan membisikimu untuk meminta kado yang telah Liana punya. Tubuhnya yang sintal itu, tentunya. Sebab aku tahu kau masih penasaran dengan adegan film blue yang sering kau tonton bukan? Tapi, semua rencanaku hancur. Bedebah! Tepat di hari ulang tahunmu kau sah menikah dengan Liana. Ciumanmu pada Liana membuatku semakin terkutuk. Senggamamu saban malam Jumat selalu menghanguskanku.
Kau boleh bangga karena Liana telah sah menjadi isterimu dan mengejekku dalam dzikir pagi dan petang itu. Tapi sekarang aku telah punya pengganti Liana.
Sebulan sudah tanpa sepengetahuan Liana kau menjalin hubungan gelap dengan Arina, perempuan bermata cantik itu. Kau sungguh menikmati percintaan dalam situasi tegang, dan akan selalu bangga karena berhasil mengatur waktu. Meski kadang kulihat kau mengeluh pada tuhanmu, bingung bagaimana caranya keluar dari perangkapku. Ah, kau selalu sadar jika ini perangkapku, Madun. Brengsek! Kau lelaki sungguh peka dengan tipu daya.
"Bibir Arina sia-sia kau campakkan, Madun!" bisikku—yang telah menjelma menjadi sejuta—di telinga Madun yang sekarang ada dalam kamar losmen dekat taman bersama Arina. "Matikan lampu yang terang itu, Madun. Singkaplah gorden dan biarlah cahaya rembulan meremangi kamar ini."
Madun hanya menunduk. Bangsat! Lagi-lagi kau sadar jika aku telah membisikimu. Kau memandang detik jam tergantung di atas pintu terus berputar. Aku tak betah dengan keadaan seperti itu, lantas mengepung Arina.
"Bukalah sedikit rok hitammu, Arina. Bukalah!" bisikku. Betisnya yang putih bersih ditumbuhi bulu-bulu tipis aku yakin akan sangat menggodamu. Tapi Arina teramat lugu. Ia malu melakukannya.
Kau masih punya waktu satu jam, Madun. Isterimu akan curiga jika kau terlambat menjemputnya. Ia punya mata batin yang amat tajam. Aku tak ingin kau terlambat menjemput karena akan membuat Liana curiga. Tataplah dada Arina! Ayo, rabalah! Dada itu tak dipunyai oleh isterimu. Yakinlah bahwa Arina tak akan menolak. Ia hanya malu saja untuk mengawalinya. Ia sebenarnya juga ingin merasakan kenikmatan itu.
"Arina, apa kau tak takut aku membawa ke kamar ini?" tanyamu gugup.
"Tidak, Mas. Aku justru merasa tenang ada di dekat Mas," jawab Arina malu-malu sambil menggamit sprei kasur.
"Tataplah lelaki di sampingmu, Arina! Jangan menunduk begitu. Tataplah Arina, Madun! Tak ada yang patut kau takutkan," bisikku lagi. Jika kalian saling tatap, maka saat itulah aku akan akan menggetarkan hati kalian. Dan kalian berdua pasti akan menganggapnya getaran asmara. Asmara yang kata kalian anugrah Sang Pencipta.
Oh, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Ketika kau mendongak, Arina kebetulan menunduk. Dan ketika Arina telah berani menatap, kau telah rebah sembari menjambak-jambak rambutnya sendiri.
"Mas kenapa? Sakit ya?"
"Cuma sedikit pusing..."
"Kalau begitu kita keluar beli aspirin."
Kau dan Arina lantas keluar kamar. Aku membuntutinya. Di apotik, kau kubisiki untuk membeli kondom, tapi kau tak mau. Dari apotik itu kau dan Arina langsung kembali ke kamar losmen.
Sementara detik kian cepat berputar. Andai detik jam itu punya hati, tentu aku akan membujuk untuk memperlambat langkahnya.
"Arina, aku mau keluar sebentar."
"Untuk apa?"
"Tadi kita lupa beli makanan."
Arina diam. Aku telah membuatnya percaya dengan kebohonganmu, Madun. Sebab aku tahu kau hendak menjemput Liana.
AKU terbang, melesat ke pasar, hinggap di gumpalan awan jauh di atas atap pertokoan. Jalanan akan macet dan kau pasti akan terlambat menjemput Liana. Di toko kain seberang jalan itu, aku melihat Liana tengah mengukur kain dengan ceraka. Ia bekerja menjadi pelayan karena kerjamu sebagai guru bantu tak mencukupi, Madun. Tapi, seberapa besar cinta Liana padamu aku tak peduli. Tak akan pernah aku ijinkan Liana tahu hubunganmu dengan Arina. Tenanglah, aku akan terus melindungimu dari kejelian mata batinnya.
Benar tebakkanku. Setelah toko tempatnya kerja tutup, Liana menunggumu di bawah lampu pinggir jalan. Ia hentakkan kakinya di trotoar karena kesal menunggumu. Saat itulah aku, dengan susah payah, menyusup dalam hatinya. Aku meyakinkannya bahwa kau terperangkap macet, dan tak mungkin kau terlambat karena disengaja, apalagi karena seorang perempuan lain. Lalu setengah jam kemudian kau datang.
"Jalanan macet, Liana," ucapmu dengan memasang wajah penuh kebimbangan. Liana bukan perempuan sembarangan, Madun. Hampir-hampir ia tahu guratan dusta di wajahmu jika aku tidak cepat-cepat merabunkan matanya.
Dengan motor tua itu kau membawa Liana pergi.
Dan aku terbang melesat ke kamar losmen. Di sana aku melihat Arina tengah jenuh menunggumu. "Tenanglah, Arina! Sebentar lagi Madun pasti datang. Sebab kaulah perempuan satu-satunya yang ada di hatinya." Liana tersenyum mendengar bisikanku. Saat layar TV menayangkan adegan mesum, mudah bagiku membawa angannya terbang dalam pelukanmu. "Pejamkan matamu, Liana!" Liana menurut. Semakin sempurna pelukanmu dalam alam khayalnya.
Sekarang aku cukup tenang. Maka, aku kembali melesat menemuimu.
KULIHAT kau masih memboncengkan Liana menyusuri jalan kota yang ramai. Di perempatan jalan kau terbayang wajah Arina. Kau gelisah karena lampu merah menghadangmu. Kau takut Arina pergi dari losmen itu karena jenuh menunggumu. Tidak, Madun. Arina masih setia menunggumu. Tapi tak ada salahnya kau menarik gas motormu lebih kencang setelah lampu hijau nanti.
Namun, sesuatu kembali membuatku tercengang. Tak mungkin kau lupa arah menuju pulang. Harusnya kau ambil jalan lurus, bukan berbelok ke kanan. Kau antarkan Liana pulang dulu, lantas akan aku bantu mencarikan alasan busuk untuk menemui Arina, yang bisa dipercaya istrimu.
"Mas, kita mau kemana?" Seperti juga aku, Liana dibuat bingung oleh arah tujuanmu. Kau pun seolah bingung menjawabnya. Liana menggoyang pundakmu sembari menanyakan lagi arah tujuanmu.
"Ke sebuah tempat," jawabmu pendek, dengan suara keras tapi terkacaukan putaran angin dan bising mesin kendaraan.
"Iya. Tapi mana? Mau apa?" lembut suara Liana masuk lewat telinga kananmu.
Roda motormu terus berputar seperti waktu. Hingga akhirnya aku bisa menebak arah tujuanmu. Sebab rute jalan yang tengah kau tuju sering sekali kau lalui. Dan tebakanku benar terbukti manakala kau menjawab pertanyaan Liana.
"Losmen." Kau benar-benar telah gila, Madun! Kau ingin membuka kebusukanmu sendiri?! Mengapa lagi-lagi kau lakukan hal bodoh!
"Losmen? Tak patut orang tak punya seperti kita hambur-hamburkan uang, Mas. Ranjang kita memang tak seempuk losmen, tapi…," bentak Liana setelah aku menggerakkan lidahnya dan memompa amarahnya. Dalam tubuhnya yang letih aku menjadi semakin mudah merasukinya. Tapi aku yakin kau tak tahu jika itu adalah kata-kataku.
"Ada hal penting yang mesti kita selesaikan, Liana," katamu dengan air muka yang tak bisa dengan jelas aku gambarkan. Ada kebimbangan, bercampur cemas, ditaburi kesedihan, dan cinta. Sementara hanya kesal dan kepanikan yang begitu besar aku rasakan.
"Di rumah memangnya tidak bisa?!" Hanya lewat Liana aku bisa membawamu berbelok arah menuju rumah. Entah kenapa, hatimu benar-benar keras kali ini.
Dan kau tak peduli dengan pertanyaan Liana. Maka, sebelum kau dan Liana sampai di losmen sebelah taman itu, aku telah melesat menemui Arina. Aku sumpalkan bertumpuk-tumpuk jenuh padanya. Aku sebar firasat bahwa telah terjadi sesuatu padamu di luar sana. Agar ia menyusulmu. Ia pun menenteng tas kecilnya, pergi keluar kamar dengan langkah gamang dan kecewa.
Sayangnya, terlebih dulu kau telah sampai di halaman losmen. Liana tak mau kau ajak masuk, sebab aku benar-benar telah menyatu dalam tubuhnya. Tapi kau menarik kuat lengannya, membuat tubuh Liana mau tak mau ikut terseret.
Saat kau dan Liana sampai di pintu keluar-masuk losmen Arina muncul dari dalam. Ia tertegak melihatmu. Sedang kau mencoba tetap tenang. Masih menggengam lengan Liana, kau jelaskan pada Arina, bahwa sesungguhnya kau telah beristri. Wajah Arina sontak memerah. Ia berlari—menubruk pundak kirimu ketika melintasi pintu—dengan menahan isak. Dan kau, untuk apa kau mengejarnya, Madun?
"Biar kujelaskan dulu semuanya, Liana." Kau telah berhasil menangkap tubuh Arina di pintu gerbang, lalu mencoba menenangkan tangisnya. Arina terlanjur jatuh hati padamu, hingga ia pun mau mendengarnya.
Bulan purnama sebesar semangka masih bertengger menaburkan kelembutan. Duhai, alangkah indah andai aku bisa menyaksikan kau dan Arina bermesraan dalam kamar remang cahayanya. Tapi sepertinya tak ada harapanku lagi sekarang.
Di depan Arina kau mencium kening istrimu dengan segenap cinta yang mekar dari dasar jiwamu. Tahuhukah kau, Madun? Bahwa ketika kau menciumnya seperti itu, tubuhku terbakar. Bergegas aku keluar dari dalam tubuh Liana, dan menggantung di awan, menyaksikan ketololanmu, bangsat!
Kini, Liana yang kau tatap itu adalah benar-benar istrimu. Ketika ia menanyakan siapa perempuan yang mengenakan rok hitam, yang berdiri menunduk di depanmu, kau bersimpuh di tanah, lalu menangis.
"Hentikan tangismu, Madun!" teriakku melengking. Tubuhku merasa teriris-iris mendengarnya. Dalam tangismu ada getar penyesalan, terasa amat menyakitkan bagiku. Tiap tetes air matamu—dahsyatnya melebihi takbir—terkandung kegaiban yang dengan tiba-tiba mengoyakkan tubuhku.
BULAN purnama tiba-tiba hilang ditelan awan. Dari halaman losmen, aku masih sempat mendengar kau memohon pada istrimu untuk mengijinkan menikahi Arina. Sungguh aku tidak bisa menerima semua itu, Madun. Namun, tak ada lagi yang sanggup kuperbuat saat tangis sesalmu kian keras dan air matamu menderas.
Sangat mungkin Liana menyetujui permohonanmu. Sebab ia begitu menyayangimu dan mau berbuat apa saja asal kau bahagia. Jika pun benar kau menikahi Arina, bukan berarti kau bebas dari bisikku. Tidak, Madun! Tidak! Tak semudah itu aku menyerah. Aku akan terus mengejarmu hingga berhasil membawamu dalam kobaran api di ujung hari.**
Yogyakarta, 2006