Cerpen Jusuf AN
"Rumah itu kebakaran. Lihat, apinya besar sekali."
Entah sudah berapa kali Wisnu menjerit begitu sembari menunjuk rumah Marmo. Karenanya aku tidak terkejut lagi. Betapa tidak? Jangankan api yang menjilat, kepulan asap tipis pun tidak aku lihat. Hanya pintu rumah Marmo yang tertutup serta kelambu jendela yang rapat yang kami tangkap.
Wisnu, anak lelakiku satu-satunya, memang sering melihat apa yang tidak aku lihat. Aku sering keheranan, kagum, ketakutan, atau sesekali tertawa terpingkal. Adakah darah kakeknya, ayahku, menurun pada Wisnu? Dulu, ayahku pernah mengaku sering melihat jin serta bermacam hantu, seperti banasphati, genderuwo, dan kuntilanak. Entahlah. Yang jelas, sejak masih dalam kandungan sudah nampak tanda-tanda akan keanehan Wisnu.
Saat mengandung Wisnu isteriku mengaku sering bermimpi menemukan dua bola berpijar-pijar cahaya. Setiap kali hendak mengambil bola pijar itu isteriku selalu terjaga. Aku ingat, tengah malam isteriku sering membangunkanku dan menceritakan mimpinya, lalu mengajakku untuk sembahyang malam dan berdoa.
Tidak seperti kebanyakan usia kandungan, isteriku tak juga melahirkan ketika usia kandungannya mencapai satu tahun. Tentu saja aku panik dan segera membawa isteriku ke dokter. "Kandungannya baik-baik saja. Mungkin beberapa hari lagi akan melahirkan," jelas Dokter. Aku pun menunggu, tak sabar menunggu. Betapa berdebar menunggu kelahiran anak pertama. Tetapi bayi yang aku tunggu tak lahir-lahir juga. Bayi itu seolah begitu betah tinggal dalam kandungan isteriku. Bahkan, sampai kandungan isteriku berumur dua tahun, tak juga nampak tanda-tanda isteriku akan melahirkan. Besar kandungannya biasa-biasa saja, seperti kandungan sembilan bulan.
"Tenanglah, Mas, aku tak apa-apa. Dulu Imam Syafi'i malah sampai empat tahun dalam kandungan," begitu isteriku coba menenangkanku dan dirinya sendiri.
Akhirnya, Wisnu lahir pula, pada bulan Mei bersama hujan pertama setelah musim kemarau. Langit seolah juga menyambut kelahiran Wisnu. Persalinannya berjalan lancar dan wajar. Hanya saja, kami begitu terpesona ketika melihat sepasang mata Wisnu yang bercahaya. Mungkin kami terlalu berlebihan, sebab begitu bahagia dengan kelahiran anak pertama. Tapi begitulah yang kami lihat saat itu: cahaya memancar dari sepasang mata Wisnu.
"Ayo, kita tolong penghuni rumah itu, Yah." Wisnu kembali berteriak. Ia berlari menghampiriku kemudian menggoyang-goyangkan kakiku. Mungkin ia terobsesi dari film-film hero yang sering ia tonton saban pagi dan sore hari.
"Tenanglah, Wisnu. Rumah itu aman-aman saja," jelasku, lalu kubopong Wisnu ke dalam kamar.
Betapa susah untuk tak berprasangka yang tidak-tidak. Selama ini kami mengenal Marmo sebagai tetangga yang baik. Semua warga di kampung kecil ini juga demikian. Marmo begitu murah senyum dan tak pernah lupa menyapa setiap bertemu denganku. Dulu, Marmo bahkan sering datang ke rumahku, bercerita seputar pekerjaannya sebagai mandor hutan dan sesekali mengeluh padaku karena pensiunnya hampir tiba. Meski begitu, ia selalu mengakhiri keluhannya dengan senyum, seolah yakin akan menemukan kesibukan yang lain setelah pensiun.
Semenjak isterinya meninggal (isterinya meninggal beberapa hari setelah Marmo Pensiun), rumah Marmo yang berhadap-hadapan dengan rumahku itu, memang selalu sepi. Tak pernah lagi kudengar keras suara musik dangdut dari rumah itu. Aku tahu, Rusmi, anak perempuan Marmo penggemar berat musik dangdut. Suara Rusmi merdu. Dan tak heran jika kemudian kudengar kabar, Rusmi menjadi penyanyi dan sering tampil di pentas-pentas kecil di dalam kota. Sebagai tetangga aku merasa bangga, dan berharap hobi dan bakat Rusmi bisa tersalurkan dengan baik.
Rusmi adalah anak Marmo yang terakhir. Tiga kakaknya, semuanya laki-laki, sudah beristeri dan tinggal serumah dengan mertua mereka di luar kota. Usia Rusmi barangkali di bawah dua puluh tahun. Pasalnya baru setahun lalu ia masih mengenakan seragam putih-abu. Aku sering membayangkan, jika nanti Rusmi menikah dan berumah sendiri dengan suaminya, betapa hidup Marmo akan sepi.
Lamunanku tercekat ketika Wisnu kembali menggoyang-goyangkan tubuhku, memintaku segera bergerak memadamkan api yang berkobar di rumah Marmo. "Ayah jahat! Ayah jahat! Kenapa tak memadamkan api besar yang membakar rumah itu?" Jerit Wisnu memekakan telingaku.
***
Wisnu akhirnya pulas tertidur setelah isteriku masuk kamar dan dengan usaha keras menenangkannya. Tak ada percakapan antara aku dan isteriku setelah itu. Tetapi aku yakin, isreriku juga memendam pertanyaan yang sama denganku. Apa yang terjadi dengan rumah Marmo sebenarnya?
Aku keluar kamar dan segera menuju ruang depan dan menyingkap gorden. Menembus kaca jendela mataku menyeberang jalan dan menggerayangi bagian depan rumah Marmo yang diremangi lampu beranda dan rembulan. Sekilas aku teringat kejadian-kejadian aneh yang pernah Wisnu lihat.
Aku masih ingat sekali bagaimana dulu Wisnu menangis histeris ketika rombongan peninjau kebersihan dari Kabupaten melintas di depan rumahku. "Waung…waung!" hanya satu kata itu yang Wisnu katakan waktu itu. Aku tahu, waung adalah sebutan lain untuk anjing yang sering isteriku gunakan untuk menakut-nakuti Wisnu saat menangis. Tetapi tak kulihat seekor anjing pun bersama pejabat-pejabat pemerintah itu.
Di lain waktu, ketika aku dan isteriku membawa Wisnu menyusuri lorong-lorong pasar, sebentar-sebentara ia menjerit ketakutan, dan mengaku melihat banyak ular. Untunglah isteriku cukup sabar, selalu berusaha menenangkan Wisnu. Yang paling tak bisa kulupakan adalah ketika Wisnu shalat berjamaah bersamaku di mushala kecil di dalam rumah. Dari mulai takbir hingga salam tak henti-hentinya ia tertawa cekikikan. Aku dan isteriku mendiamkannya. Baru setelah shalat selesai aku bertanya setengah membentak, kenapa tertawa. Wisnu menjawab, ada paha ayam bakar beterbangan mengitar di atas kepalaku.
Isteriku tertawa-tawa mendengar jawaban Wisnu dan kemudian menerangkan pada Wisnu, jika selepas isya nanti aku akan menghadiri kenduri perkawinan. Sungguh, aku merasa malu dan geli sendiri mengingat peristiwa itu. Masih banyak lagi hal aneh yang pernah Wisnu lihat dan akan terlalu panjang jika kukisahkan semuanya di sini. Dari semua peristiwa yang telah lewat sedikit demi sedikit sudah dapat aku mengerti. Tetapi tidak untuk rumah Marmo yang terbakar dalam pandangan Wisnu.
Tak kutemukan keganjilan apa-apa pada rumah Marmo. Hanya pintu yang tertutup serta kelambu yang rapat. Dan aku menduga Marmo dan Rusmi tengah menonton TV di ruang tengah. Betapa aku tak berharap ada kejadian yang di dalam rumah itu.
Paginya, kulihat rumah itu sunyi sekali. Aku duduk di beranda sampai lama, menunggu seseorang keluar atau hanya membuka kelambu rumah itu. Tetapi sampai menjelang siang, tak terlihat bayangan seseorang bergerak dalam rumah itu, apalagi sampai keluar rumah.
"Wisnu, rumah itu tidak apa-apa kan?" tanyaku ketika Wisnu pulang dari sekolah. Wisnu memandangi rumah Marmo, lalu menggeleng, dan isteriku segera menuntunnya masuk.
***
Seminggu kemudian Wisnu kembali mengatakan, rumah Marmo terbakar. Dan itu adalah keterangan Wisnu yang terakhir kali. Sejak itu Wisnu tak pernah lagi mengatakan ada api membakar rumah Marmo. Sampai suatu ketika, sekitar dua bulan ke depan kudengar desas-desus tentang Marmo dan Rusmi. Desas-desus yang sebetulnya tak ingin aku percayai. Desas-desus gila yang dengan cepat menyebar ke telinga semua warga kampung kecil ini. Dan aku tak pernah menyangka jika desas-desus yang belum jelas itu akan menyulut api amarah yang begitu besar di dada warga.
Aku seperti bermimpi ketika suatu malam kulihat puluhan warga menyiram bensin dan melempari obor ke atap rumah Marmo. Benarkah Marmo telah tega menghamili Rusmi? Meski sebulan yang lalu sering kudengar suara orang muntah-muntah dari rumah Marmo aku tetap mencoba tidak percaya dengan berita hina itu. Sementara amarah warga tak bisa dicegah lagi. Sampai api berkobar begitu besar, tak kulihat Marmo atau pun Rusmi keluar dari dalam rumah api itu. Hanya pekik-jerit Rusmi sesekali. Jika pun mereka keluar (apalagi jika perut Rusmi nampak besar) aku yakin, warga akan ramai-ramai membakar mereka hidup-hidup.
Wonosobo, 2007