Abah Kiai Entah


Cerpen Jusuf AN
(Pernah dimuat di Minggu Pagi)

SUDAH aku katakan pada Abah, meski Nina tak cantik tapi hatinya baik. Abah tetap tak setuju. "Abah tak ingin setelah kamu menikah masih plerak-plerok sama wong wedok," katanya sembari mengembalikan foto Nina padaku.
            "Abah senang punya menantu berhari busuk?" suaraku mengambang di antara puji-pujian yang menggema dari menara masjid samping rumahku.
            "Qalbu masih bisa dibersihkan, Frengky." Abah menepuk betisku. "Kau tidak malu dengan Robert, kalau bojomu seperti itu?"
            "Kenapa mesti malu? Frengky tresno Nina, Bah." 
            "Kalau kau ga' bisa cari yang lebih ayu, biar Abah yang carikan…" Abah beranjak dari duduknya setelah melihat jam dinding. Sebelum ia hilang di balik pintu aku mengejarnya.
            "Jangan! Jangan, Bah! Frengky bisa cari sendiri… ."
          
Suara iqamat terdengar ketika aku keluar rumah menemui Nina untuk mengatakan pendapat Abah. "Sekarang terserah Mas Frengky saja. Memilih Abah atau aku," tanggap Nina usai aku menjelaskan semuanya. Aku bukanlah lelaki yang demi cinta mau mengorbankan segalanya. Maka, tanpa berpikir panjang aku jawab pertanyaan Nina tegas: aku memilih Abah! Serempak mata Nina berkaca-kaca lalu menghambur membawa isaknya ke dalam kamar.
           
TAK mungkin Abah tidak tahu anjuran Rasul untuk menikahi perempuan bukan karena kecantikan atau hartanya. Tapi mengapa…? Ah, cukup menggelisahkan pendapat Abah yang satu itu. Padahal menurutku, Nina tak begitu jelek. Meski memang masih lebih cantik istri Mas Robet, kakakku satu-satunya.
Tapi sudahlah, antara aku dan Nina tak ada ikatan apa-apa. Malahan tadi pagi, aku dengar kabar dari Binti, teman Nina, bahwa kemarin ada orang datang melamarnya. Dan Nina mengangguk setuju. Untungnya aku berpacaran dengan Nina baru dua minggu dan tak ada sesuatu yang patut untuk dikenang dalam pacaran itu. Menyentuh tangan Nina apalagi mencium bibirnya belum pernah aku lakukan. Bukan kerena aku takut dosa atau takut Nina akan menolaknya. Sekali lagi bukan! Tapi aku takut Abah akan murka.
Entah mengapa Abah selalu tahu perbuatanku. Matanya begitu setia membuntutiku. Mata yang gaib. Mata yang kasat oleh mataku. Dulu, waktu aku masih di Yogya pernah aku onani di kamar mandi yang rapat sekali. Aku mengira hanya aku dan Tuhan yang tahu (dan Tuhan mungkin akan memakluminya). Tapi, setelah aku pulang, Abah menyidangku dalam kamar, memaksaku untuk mengaku. Setelah aku mengaku Abah menyabet lenganku dengan sebilah rotan. Kalau kau tak percaya, lihatlah warna hitam yang masih tertanam dilenganku ini.
Mulanya aku mengira Abah telah mengutus jin untuk membuntutiku. Namun, Abah membantah ketika aku menanyainya. Entahlah, Abah memang orang aneh. Kebanyakan orang yang mengenal Abah juga bilang begitu.
Soal keanehan Abah yang paling sering dibicarakan orang adalah nama-nama yang diberikan untuk aku, kakak, dan tiga adikku. Mulai dari Robert, kakakku, kemudian Lusia Avansa, Vira Juliana, Veronica, ketiga adik perempuanku, dan aku sendiri Frengky Juliovara. Kami, anak-anak Abah, tak ada yang disekolahkan di sekolah Agama. Aku sendiri baru setahun lalu lulus dari jurusan Filsafat UGM. Meski demikian, sejak SD hingga SMP kami sudah digembleng berbagai macam ilmu Agama. Terutama aku dan kakakku. SD kelas enam aku sudah menguasai ilmu mantiq dan nahwu sorrof, tata bahasa Arab yang kata orang paling rumit. Masuk SMP kelas dua segeluntung al-Qur'an telah aku hafal. Banyak orang menganggap kami anak jaddab, manusia gila yang ajaib. Tapi aku lebih percaya hukum sebab-akibat: kerena keseriusan Abah mendidikku dan perjuangan kerasku menimba ilmu, maka aku menjadi bisa seperti itu.  
Selain mengajar kira-kira seratus santri putra dan putri saban ba'da ashar dan subuh, mengisi pengajian hari-hari besar Islam, dan menemui tamu, kegiatan Abah yang lain adalah bermain sepak bola dengan para santrinya di halaman pondok. Untuk yang terakhir itu Abah tak mau diganggu. Aku sering tertawa kecil melihatnya. Sedikit-sedikit Abah berhenti mengambil nafas. Maklum. Umur Abah sudah setengah abad. Abah juga tak mau ketinggalan perkembangan dunia bola. Tiap minggu dua sampai tiga koran spesial bola dipastikan habis ia baca. Club favoritnya adalah Arsenal. Ketika ada pertandingan bola, Abah selalu menyuruhku untuk mengeluarkan TV ke halaman, lalu mengajak para santri untuk nonton bersamanya.
Kepulangan Abah dari Tanah Suci sebulan yang lalu juga menimbulkan bahan pembicaraan.
"Abah Yai  sengaja tidak bawa air zam-zam ya, Gus?" tanya Sabri, lurah pondok yang separuh rambutnya telah beruban, sehari setelah Abah pulang dari Tanah Suci.
"Kata Abah, mending minum Coca-cola dari pada zam-zam. Kemarin Abah beli sepuluh krat."
Tak seorang pun tamu yang paham dengan maksud Abah itu. Tak ada pula yang berani menanyakannya. Pertanyaan mereka berakhir pada kesimpulan: "Kelakuan 'wali' memang suka nyleneh." Sementara aku berasumsi begini, mungkin Abah telah mendapat air zam-zam, tapi kemudian diberikan pada jama'ah yang mencaci maki pemerintah karena air zam-zam yang dijanjikan tidak ditepati. Sedang mengenai benar tidaknya Abah seorang Wali aku tak peduli. Aku hanya menganggap Abah Kiai entah.   
            Sebetulnya kelakuan Abah yang aneh itu terasa sejak dua tahunan ini. Tepatnya sejak Emak sering sakit-sakitan. Ketika masih di Yogya aku sering ditelpon Veronica, "Mas Frengky disuruh pulang. Emak operasi kanker payudara." Di rumah sakit aku melihat Emak tergolek pucat. Selang invus mematuk otot lengannya. Wajah Emak nampak sepuluh tahun lebih tua. Setelah Emak dibawa pulang, aku kembali lagi ke Jogja. Tapi dua bulan kemudian Veronica kembali menelpon, "Mas Frengky disuruh pulang. Emak gerah batu ginjal." Lantas aku kembali pulang. Terakhir, menjelang aku diwishuda kabar Emak sakit kembali berdengung di telingaku. Kata veronica, ada kerusakan pada kornea mata Emak. Namun, aku tak langsung pulang. Baru setelah diwishuda aku pulang dan kaget ketika Emak tak bisa mengenali wajahku.
            Sejak itu Emak lebih suka berdiam dalam kamar. Pekerjaan dapur diurusi beberapa santri putri. Ketika Emak membutuhkan sesuatu ia selalu memanggilku. "Frengky, Mak mau wudhu. Antar Emak ke kebelakang. Ambilkan minum. Tolong disimak hafalan Emak." Tak berani aku membantah perintah Emak. Meski begitu, emak tak meninggalkan rutinitas ba'da ashar, para santri putri yang menghafal al- Qur'an tetap datang ke rumah untuk "setoran" hafalannya pada Emak. Ingatan Emak masih kuat, sehingga jika ada bacaan ayat yang keliru, ia selalu bisa membenarkan.
Dari kelima anak Abah, hanya aku yang sekarang tinggal di rumah.  Veronica, adikku yang paling kecil telah masuk SMA di Purwokerto, Lusia Avansa dan Vira Juliana kuliah di Semarang, sedang Mas Robert menggantikan mertuanya mengasuh pesantren di Lamongan. Makanya, Abah menyuruhku untuk cepat-cepat menikah agar isteriku bisa membantu merawat Emak. Padahal, meski Abah tidak menyuruhku untuk menikah, sebenarnya aku juga sudah punya rencana sejak dulu.
Namun, sudah tiga lembar foto perempuan aku tunjukan pada Abah, belum ada yang disetujui. Pertama Nina, lalu Azizah (Abah tak menyetujuinya dengan alasan yang sama), dan terakhir adalah Diana. Untuk Nina dan Azizah aku bisa memaklumi karena Abah telah mengutarakan alasan yang lebih bisa kumengerti. Katanya, mencegah kemungkaran harus lebih diutamakan. Tapi untuk Diana aku masih belum bisa mengerti mengapa Abah menolak.
"Apa Diana kurang cantik, Bah?" Abah terdiam dengan mata mengamati foto 3R bergambar wajah Diana yang hanya separuh badan. "Ia putrinya Mas Sholeh, Bah." 
Abah masih diam. Aku menunggu jawabannya sambil berdoa Abah akan menyetujui Diana sebagai isteriku. Sungguh aku telah terpikat dengan gadis itu. Aku mengenalnya saat haul Mbah Kiai Munthaha, yang semasa hidupnya pernah meengasuh pesantren Al-Asy'ariyyah—yang terkenal dengan al-Qur'an terbesar sedunia itu. Sedang aku mendapat fotonya dari Saudah, teman dekat Diana. Meski kami belum menjalin ikatan, tapi aku yakin kalau Abah melamar Diana, Mas Sholeh pasti tak akan menolak. Sebab Mas Sholeh pernah menjadi santri Abah ketika aku masih ingusan.
"Pripon, Bah?" tanyaku dengan wajah penasaran.
"Kalau kau menikah dengannya, nanti siapa yang akan mengasuh pesantren ini kalau abah meninggal? Dek Sholeh 'kan juga punya pesantren. Sedang ia tak punya anak laki-laki."
"Mas Sholeh kan masih muda, Bah. Jadi masih punya kesempatan punya anak laki-laki."
"Pakailah kemungkinan terburuk, Frengky. Bisa saja Dek Sholeh malah tidak diberi keturunan lagi."
"Jadi Abah 'boten merestui?"
            Abah tak menjawab. Ia masuk kamar lalu keluar lagi dengan kaos oblong dan celana komprang hitam. Para santri sudah menunggunya di halaman untuk main bola. Usai jama'ah magrib aku kembali menemui Abah.
            "Abah tak yakin putri Dek Sholeh menyukaimu," jelas Abah dengan mengerutkan kening rentanya.
            Aku ingin berbohong. Tapi takut Abah akan tahu kebohonganku. "Kalau Abah melamarnya pasti Kiai Sholeh akan setuju."
            "Menikah bukan masalah setuju dan tidak setuju, tapi suka dan tidak suka."
Baiklah kalau itu yang Abah minta, gertakku dalam hati.
Paginya, waktu embun masih rebahan di dedaunan aku pergi ke rumah Mas Sholeh di kaki pegunungan Dieng. Udara dingin runcing menembus sweater-ku. Beberapa santri Mas Sholeh yang kutemui beranda kamar pondokan menyapaku penuh hormat. Heran. Banyak orang mengenaliku tapi aku tidak mengenalinya. Keterlaluan!
"Ee, Gus Frengky…." Mas Sholeh menyambutku di ambang pintu. Mungkin ia keheranan melihat kedatanganku pagi begini. Kami ngobrol ngalor-ngidul sampai lama. Baru kemudian aku sampaikan niat yang bukan sekedar silaturrahim.
"Dek Diana ada, Mas?" Mas Sholeh kemudian masuk ke ruang tengah, dan keluar lagi bersama Diana. Sekilas saja aku memandang Diana yang nampak anggun dengan gaun kebaya biru muda dan jilbab putih bersih itu. Mas Sholeh sepertinya bisa membaca pikiranku. Ia pamit ke belakang. Tinggallah aku dan Diana sama-sama duduk menunduk. Ketika aku mendongak, kulihat kening Diana berkilauan. Sepasang tangannya saling remas.
"Dek Diana tentu tahu kalau Abahku… ." Belum sempat kalimatku sempurna meluncur, Diana telah memotong:
"O, masalah itu, Gus. Abahku sudah menceritakannya tadi malam." Gadis itu bicara tanpa mengangkat mukanya. "Awalnya aku tak percaya, tapi…." Perlahan ia mengangkat kepalanya. Bola mata kami bertumbukan cukup lama. Benarkah Abah telah melamar Diana untukku?Aku ingin meningkahi kalimat Diana, tapi entah kenapa bibirku menjadi berat bergerak. "Bagiku keputusan orangtua adalah keputusanku, Gus. Kalau orangtuaku setuju ya..."
"Berarti Dek Diana setuju menihak denganku?" nada suaraku keras tak terkontrol.
"Lho, bukankah Abahnya Gus Frengky yang mau menikah?" Kami berdua sama-sama tertegak. Aku tak percaya mendengar jawaban Diana. Tapi ia mengatakannya lagi dengan lebih jelas. "Semalam Abahnya Gus Frengky telepon dan nembung pada Bapak. Kata Bapakku, ia mau menikah lagi." Mendengar itu, seketika seluruh tubuhku lemas, kulitku terasa mengelupas, seperti ada api berkobar-kobar dalam dadaku. Buru-buru aku pamit pulang, tak sabar untuk bertemu Abah yang kini benar-benar telah gila.
           
                                                                                                    (Yogyakarta, Feb-06)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

6 comments

comments
27 Juli 2011 pukul 19.07 delete

hehehe...mungkin entah dan dimana...:-D

Reply
avatar
27 Juli 2011 pukul 21.17 delete

yeah...abah macam apakah yang sudi memetik bunga anaknya?

Reply
avatar
Anonim
18 Agustus 2011 pukul 15.19 delete

Cerpennya cukup bagus , humornya lumayan Heeee

Reply
avatar
18 Agustus 2011 pukul 20.27 delete

terimakasih Saudara Anonim
salam

Reply
avatar
Anonim
16 Februari 2012 pukul 14.50 delete

gila......hanya itu komentku heheh

Reply
avatar
Anonim
14 Mei 2012 pukul 07.12 delete

hehehe... ujian keikhlasan untuk seorang anak sholeh... hwehehe...

Reply
avatar