Cerpen Jusuf AN
Matahari pagi menerobos kaca jendela, jatuh berpendaran di lantai keramik biru tua ketika Satria mengulang tanya untuk ketiga kalinya:
"Ma, kenapa Satria tidak mirip dengan Papa?"
Zie yang lama termangu akhirnya menjawab, "Kau kurang teliti, Satria. Lihatlah bola matamu, hitam kecoklatan seperti punya Papa. Hidungmu yang mancung itu, bukankah mirip dengan punya Mama?"
"Kalau rambut Satria? Kenapa pirang kecoklatan, tidak seperti punya Mama atau Papa."
"Kalau rambutmu itu mirip dengan punya Kakek. Dulu, sebelum rambut Kakek beruban, juga pirang kecoklatan seperti punyamu," terbata Zie menerangkan.
Merasa kurang puas Satria bergegas pergi keluar setelah mengendong tas warna pelangi. Di ambang pintu, Zie masih sempat berteriak, menyuruh Satria untuk berhati-hati. Tapi sikap Satria tak seperti biasa: Satria tak membuka jendela mobil antar jemput sekolah untuk mendadahkan tangannya. Adakah yang salah dengan jawaban Zie?
Betapa Zie tak menyangka, bocah seusia Satria akan menanyakan hal semacam itu. Apa ada materi genetika untuk siswa kelas tiga Sekolah Dasar?
Zie mamatung, menyandarkan bahu di kayu pintu. Matanya nyalang memandang laju mobil yang membawa Satria hingga hilang di kelokan. Lama Zie termangu di situ, sampai telepon berdering mengagetkannya.
"Zie, nanti sore aku pulang naik pesawat. Aku sudah kangen dengan Satria, denganmu juga. Padahal belum ada seminggu aku pergi untuk mengajar di Jakarta, tapi serasa sudah setahun," kata Mada, suami Zie lewat telepon diiringi tawa kecil.
Zie yang masih dirundung gelisah dengan pertanyaan Satria hanya menjawab, "hati-hatilah di jalan, aku dan Satria juga kangen." Menutup telepon Zie duduk di ruang tengah. Pertanyaan satria kembali menguasai kepalanya. Pikirannya meloncat-loncat ke belakang, jauh sekali ke belakang, sebelum Zie mengandung dan akhirnya melahirkan Satria. Waktu itu, betapa Zie selalu gelisah. Dia selalu duduk di ruang tamu sembari menatap kaca jendela, menumpuk rindu di dada.
"Aku akan selalu merindukanmu, Zie. Pecayalah!" Kalimat yang dikatakan Mada semenit sebelum berangkatannya ke Kanada entah berapa tahun lalu itu masih terekam di otaknya. Saat itu Mada memberi kecupan di keningnya. Kecup perpisahan yang membuat matanya merembas basah.
Kepergian Mada ke Kanada adalah untuk melanjutkan studi S3-nya. Jika bukan dibiayai oleh kantor tempat Mada mengajar tak mungkin Mada tega meninggalkan Zie sendiri di rumah. Apalagi mereka baru sebulan melangsungkan perkawinan.
Memang, Zie selalu menerima telepon dari Mada seminggu sekali, meski tak pasti. Tapi suara Mada tak cukup mampu untuk melebur rindu yang menyesak di dada Zie.
"Kau mesti mencari kesibukan, Zie. Agar tidak terlalu merasa kesepian." Zie ingat benar saran Mada itu. Tapi entah kenapa dia tak begitu peduli. Bahkan pernah Zie mendapat tawaran kerja dari rekan Mada yang tanpa berpikir panjang Zie tolak. Bukan karena ia tak menguasai kerja yang ditawarkan. Zie seorang sarjana akutansi yang berprestasi dan pasti sanggup mengurusi tata usaha perusahaan. Tapi Zie tak ingin rumah tangganya berantakan oleh kesibukan mencari uang. Toh dengan mengandalkan penghasilan Mada akan cukup memenuhi kebutuhan.
Maka begitulah, waktu terus merampat meski teramat lamban. Selama ditinggal Mada aktifitas Zie tak ada lain kecuali memasak dan membersihkan rumah. Setelah semua kerjanya selesai Zie akan kembali menumpuk kerinduannya, sambil sesekali membolak-balik album perkawinan. Kesepian mendekap Zie tiap malam. Harapan Zie bertemu Mada di alam mimpi memang selalu gagal tapi Zie tak pernah jera berdoa di malam berikutnya. Sampai suatu hari di senja yang muram, Zie mendengar bunyi ketukan pintu depan. Melihat tamu yang bertandang Zie ternganga, tapi secepatnya bisa kembali menguasai diri.
"Farhan? Kapan pulang dari Malaysia?" sambut Zie datar, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Seminggu lalu, Zie. Eh, kenapa kau tidak berkabar kalau sudah menikah? Kemana suamimu?"
Zie menunduk. Farhan mengulang lagi pertanyaannya. Baru kemudian Zie menjawab seadanya. Jujur dan terbuka: Zie ceritakan tentang malam-malamnya yang dingin dan sepi sejak di tinggal Farhan. Tak peduli bahwa Farhan adalah lelaki yang pernah menjadi kekasihnya waktu masih di SMA. Zie menganggap Farhan tak lebih dari teman lama dan tak ada salahnya mencurahkan perasaannya selama di tinggal Mada.
Mendengar cerita Zie Farhan berusaha menenangkan. Selayak orang tua pada anaknya, Farhan menasehati Zie untuk tabah dan bersabar. Tapi entah bagaimana sesungguhnya hati Farhan berucap.
Keesokkan harinya tanpa Zie duga Farhan kembali datang ke rumahnya. Tak mungkin Zie mengusir Farhan begitu saja. Zie juga tak dapat mengelak ketika Farhan membuka lembar demi lembar kengangan masa lalunya. Awalnya Zie hanya mendengar, sesekali mengangguk-angguk tanpa ikut menambahi atau mengurangi cerita Farhan. Tapi lama kelamaan, setelah lima hari bertutut-turut Farhan terus bertandang ke rumahnya tanpa diundang, kenangan Zie bersama Farhan mekar dengan sendirinya: Saat-saat menghabiskan senja di bukit, bermain pasir di pantai, ketahuan membolos di alun-alun … . Bahkan, sebelum berangkat tidur Zie sering tersenyum mengenang masa lalunya itu. Zie sendiri tak begitu tahu mengapa dulu tali kasihnya dengan Farhan terpenggal. Sejak lulus SMA mereka berpisah, Zie di Jogja untuk kuliah, sedangkan Farhan ke Jakarta mencari kerja.
"Sudah malam, aku pamit pulang," ujar Farhan di hari kedelapan kedatangannya.
"Baru jam sembilan. Nanti dulu. Aku ingin buktikan sama kamu kalau aku bisa memasak," sergah Zie, lalu mempersilahkan Farhan masuk ke ruangmakan. "Dulu kamu sering ngejek aku tak bisa masak 'kan? Sekarang lihatlah! Ayo makan!" tawar Zie dengan senyum menawan.
Ekor mata Farhan terpana melihat opor ayam, sayur asam, tumis dangin sapi…, "Benar kau yang memasak semua ini, Zie?" Zie menjawab dengan senyum. "Tapi aku tak mau makan sendirian," lanjut Farhan.
Demikianlah, keakraban kembali terjalin, begitu mudah terjalin. Mungkin karena mereka mempunyai kenangan yang sama. Kenangan manis yang tak mudah dikuburkan. Dan tanpa disadari, mereka sebenarnya telah menanam kenangan baru yang kelak akan diketahui manis asamnya.
Setelah makan malam itu, Farhan tak lagi duduk di ruang tamu, melainkan di ruang tengah. Obrolan mereka terdengar renyak dan sesekali gelak tawa tumpah. Sementara malam terus merangkak. Zie tak pernah tahu kenapa dia hanya terpaku saat Farhan pelan-pelan meraih tangannya dan menggamitnya. Bagai kena sihir Zie menurut saja saat Farhan membawanya ke kamar dan baru keluar pagi-pagi dengan tubuh penuh peluh. Sehari setelah itu, Zie tak bisa berucap apa-apa ketika Farhan pamit ingin kembali bekerja ke Malaysia.
Menariknya dari cerita ini, sehari setelah Farhan kembali ke Malaysia, Mada pulang dari Kanada tanpa terlebih dulu mengabarinya. Alasan Mada sangat klasik, yakni ingin membuat kejutan.
Sungguh kejutan Mada sukses besar. Zie merasa dadanya bagai dihantam batu gunung saat melihat wajah Mada setelah sekitar sebelas bulan berpisah. Bukankah Zie senang Mada telah pulang? Tapi mengapa Mada pulang setelah Zie melakukan kesalahan terbesar?
Kenangan tentang Farhan—dalam pendar lampu kamar tempo hari—sedikit demi sedikit luntur akibat seringnya Mada membelainya. Zie sama sekali tak rumit berpikir, ketika dua bulan setelah kepulangan Mada dia terlambat datang bulan. Dia yakin benar bahwa bayi yang dikandungnya, yang kelak diberinama Satria, adalah buah dari hubungannya bersama Mada.
Kenapa Satria tidak mirip dengan Papa? Zie kembali terngiang peryanyaan Sastria. Ia rasakan dadanya ngilu bagai tersayat sembilu.
***
"Benar nati sore Papa pulang, Ma? Asyik, nanti Satria akan bertanya pada Papa, kenapa rambut Satria pirang kecoklatan, tidak seperti punya Mama dan Papa yang ikal," kata Satria sepulang dari sekolah, setelah Zie memberi tahu telepon dari Mada.
"Boleh saja kau tanya sama Papa. Pasti Papa juga akan menjawab sama dengan yang Mama katakan tadi pagi," jawab Zie santai, meski sebenarnya tak begitu tahu kebenaran kalimatnya. Adakah pertanyaan Satria nantinya akan membuat Mada curiga?
Siang pun berangsur-angsur pergi, berganti senja dengan mendung menggantung di cakrawala. Suara geluduk merambat di atap rumah. Zie duduk di ruang tamu, menunggu kepulangan Mada. Hujan telah setengah jam turun, saat Mada pulang dengan taksi wana biru, di sambut Zie di ambang pintu. Tak lama setelah itu Satria terbangun dari tidurnya karena geli dengan kumis Mada yang mendarat di pipinya.
"Kenapa rambut Satria tidak ikal seperti Papa?" pertanyaan Satria begitu saja terlempar.
Zie dan Mada bertumbuk pandang: Mada tersenyum lebar, sedangkan Zie tersenyum berat. Belum sempat Mada menjawab, terlebih dulu terdengar suara ketukan pintu. Zie bangkit dari sofa untuk melihat siapa tamu yang datang menjelang malam. Dan lagi-lagi Zi tak menduga bahwa tamu itu adalah Farhan, lelaki yang menyimpan kenangan di ranjang kamarnya beberapa tahun silam. Zie terngaga melihatnya, cukup lama. Sampai teriak Satria terdengar dari ruang tengah, "Papa tidak tahu jawabannya, Ma."
"Siapa?" tanya Farhan, begitu mendengar suara bocah dari ruang tengah.
Zie menunduk beku. Matanya berkabut. Dua lututnya bergetar, begitu berat menopang tubuh.
Jogja, Wonosobo, 2006