Perempuan Peramal


Cerpen Jusuf AN

Subuh hari. Sebelum aku dan Liana di arak menuju serambi masjid dengan diiring tabuh rebana membelah jalan desa. Di telinga kananku suaramu bergetar, menyuruhku membatalkan akad perkawinan yang sebentar lagi dilangsungkan. Kau bilang, Liana bukan jodohku. Sebab hakikat jodoh bukanlah akad perkawinan, melainkan kuatnya menjaga ikatan kasih sayang. Terangmu, perahu kami tak akan bertahan lama oleh amuk badai yang telah menghadang di depan.
Kau kira aku main-main dengan prosesi sakral ini, Melva? Kau sangka aku sekedar ingin menyenangkan orang tuaku dan tak berpikir panjang sebelum memutuskan. Sudah, Melva! Bahkan, aku telah menyediakan banyak penangkal, banyak cara agar perahu kami langgeng dan kekal.
"Lebih baik kau pikirkan lagi rencanamu itu, Arta." Terngiang ucapanmu dua bulan lalu, usai kita menonton pentas monolog 'Toekang Kritik' di gedung pertunjukan dekat pasar tradisional yang telah disulap menjadi taman.
"Maksudmu, rencana Sanggar untuk pentas keliling Jawa?" tanggapku setengah heran.
"Kalau itu terserah teman-teman saja. Tapi rencanamu untuk melamar Liana aku kira perlu dipertimbangkan lebih matang." Suaramu mengalun biasa saja, tak ada yang aneh. Tapi aku tersengal mendengarnya.
"Tahu dari mana kalau aku hendak melamar Liana?" Seperti yang sudah-sudah mendengar pertanyaan serupa itu, kau terdiam sembari menggaruk tempurung kepalamu, kebiasaanmu yang tak bisa kusebut buruk. "Kau memang hebat, selalu saja tahu apa yang belum sempat aku beritahu." Kini wajahmu nampak gigu. "Memang, aku sedang memikirkan hal itu sekarang, bahkan sejak seminggu lalu. Jika memang Liana jodohku, aku ingin menikahinya bukan karena dorongan siapa-siapa."
"Termasuk Tuhan?" sahutmu pelan.
"Tuhan membebaskan kita untuk memilih. Aku hanya tak ingin menikahi Liana oleh dorongan orangtuaku. Mereka seolah punya hak besar untuk ikut campur dalam menentukan pilihan-pilihanku." 
 "Apa kau sudah cerita pada keluargamu tentang Liana?" Aku suka caramu bertanya. Runcing. Tak berbelit.
"Minggu kemarin aku ajak Liana ke rumah. Dan keluargaku sejutu. Kata mereka, aura keibuan terpancar di wajah Liana. Mereka bahkan menyuruhku untuk secepatnya menikah, yang kelak aku tahu, mereka ingin cepat menimang cucu. Aku justru bingung dengan pendapat mereka, Melva. Sama sekali tak bisa aku baca aura keibuan di wajah Liana. Liana seperti kau, juga perempuan-perempuan lain yang suka menangis. Yeah, kalau benar perempuan yang suka menangis pertanda setia, alangkah beruntungnya aku. Tapi lebih beruntung, jika aku bisa setia. Ha…ha..," terta menggeliatkan Malioboro yang telah lengang. Kau memandangku tanpa ikut tertawa.
Lalu, tiga bulan setelah itu, dengan suara mantap aku meminta orang tuaku untuk melamar Liana. Sejak itulah kita tak pernah lagi bertemu. Aku memilih diam di rumah, setelah aku beri kabar pada salah seorang teman di Sanggar bahwa aku akan menikah.
***
"Qabiltu nikakhaha wa…" Lagi, suaraku tercekat di kerongkongan. Mungkin sudah tujuh kali ijab-qabul ini gagal dan diulang. Padahal semalam, aku yakin telah hafal dengan secarik kertas betulis sighat qabul berhuruf Arab itu. Adakah ini merupakan sebuah pertanda benarnya ramalanmu? Ough, mengapa aku larut oleh ucapanmu subuh hari.
Aku memutar kepala ke belakang. Mencari wajah ovalmu di antara gerumbul orang yang menatap tegang. Mengapa kau tak penuhi undanganku, Melva? Kau bilang, meski teramat lamat telinga kananku mendengar, akan datang bersama teman-teman Sanggar dan akan membacakan puisi setelah prosesi sakral ini selesai. Kau tentu tahu bahwa masjid akan selalu menerima siapa saja untuk membacakan puisinya.
Mungkin kau sedang kacau, karena begadang semalaman. Dan aku bisa memakluminya. Atau barangkali kau masih dalam perjalanan, dirundung gundah, dan merutuk sesal atas kalimatmu subuh hari tadi. Kalimat yang sebenarnya tak pantas kau ucapkan.
Memang, kadang aku terkagum dan sering bergumam, kau lebih hebat dari peramal-peramal dunia, meski kau selalu mengelak dan mengatakan, semua kebenaran ramalanku hanya kebetulan semata. Mungkin kau benar. Entah. Sejauh yang aku tahu kau tak pernah belajar astrologi, shio, apalagi ramalan Jawa lewat wuku kelahiran. Kau bahkan tak hafal nama-nama shio. Atau, diam-diam kau telah belajar ilmu palmistry dengan saudaramu—melalui e-mail—yang kuliah Psikologi Transpersonal di sebuah Universitas di Kanada? Karena kau selalu diam ketika aku tanya hal itu, aku patut mencurigainya. Tapi kau sama sekali tak menatap dan membaca pola garis tanganku ketika suatu siang kau melarangku membawa motor karena berfirasat akan terjadi sesuatu. Juga ketika suatu waktu kau melarangku mendaki Merbabu karena cuaca akan buruk dan aku akan beku. Dan semua yang kau katakan itu nyata terjadi; aku mendekam dalam zal kelas dua selama seminggu akibat terpeleset di tikungan tajam, dan; telah menyusahkan kawan-kawan sebelum mencapai puncak Merbabu karena tubuhku beku di guyur hujan. Kelak aku tahu darimu bahwa firasatmu lahir begitu tiba-tiba, seperti firasat seorang ibu kepada anak yang dicintainya. Entah apa maksud keteranganmu.
Sebenarnya, aku kurang senang menyebutmu dengan peramal. Aku menyebutmu begitu karena belum kutemukan istilah yang lebih tepat. Suatu hari ketika kau meramalkan bencana besar melanda negeri, yang kelak benar terjadi di pulau paling ujung, aku menganggapmu lebih mirip dengan Nostradamus[1] atau Ranggawarsito. Sayang, kau tak pernah ijinkan aku membaca buku harianmu, yang mungkin telah dipenuhi sajak tentang apa yang akan terjadi di masa depan--seperti yang ditulis dua orang hebat itu. Ah, kau tak pernah menganggap kedua orang itu hebat. Kebetulan dan kebetulan, selalu itu katamu. Tak lebih.
"Ramallah aku…" Hampir semua kawan menyambutmu begitu, ketika kau datang ke Sanggar yang dua tahun lalu kita dirikan. Lebih sering kau hanya tersenyum tanpa memenuhi permintaan mereka. Jika pun kau menyampaikan ramalanmu, itu hanya celoteh tak berguna, sekedar untuk menyenangkan atau membodohi mereka saja. Heran, semua ramalan yang kau katakan karena diminta selalu melenceng dari kejadian sesungguhnya. Tapi di lain waktu kau sering dengan tiba-tiba melarang seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Dan ketika laranganmu tak disikapi, maka benar-benar celaka itu kemudian akan tiba. Seperti jatuhnya aku dari sepeda dan beku di lereng Merbabu.
Adakah yang kau ramalkan subuh hari—tanpa aku minta sebelumnya—akan benar terjadi? Mungkin tidak. Aku baru ingat, suatu hari—tanpa aku minta—kau melarangku untuk tidak pergi menemui Liana karena berfirasat tak enak. Tapi aku tetap pergi, dan firasatmu terbukti mentah. Dan, esoknya, kulihat garis-garis malu diwajahmu.
Masih kujabat tangan kanan ayah Liana, erat. Tangan yang kekar, dengan sebuah akik bermata merah langit senja di jari manisnya. Lelaki berkopyah putih itu menatapku. Setelah kalimat ijab selesai dilafalkan, ia menggoyangkan tangan kananku; menyuruhku untuk segera menjawab. Tak sepatah jawab aku ucap. Bibirku kelu seperti saat beku di lereng Merbabu. Jas abu-abu yang membungkus kerempeng dadaku basah keringat dingin. Satu dua tamu tertawa kecil. Ayah-ibuku menghela nafas berat. Debar cepat dadaku, mungkin merubah wajahku menjadi merah. Mungkin aku nampak begitu tolol. Sekilas kutangkap mata Liana. Sepasang mata cantik itu memberi semangat padaku, menyuruhku untuk mengulang. Akhirnya, diulangilah ijab-qabul yang hampir mirip dengan jual-beli antara aku dan ayah Liana sebagai Wali. Karena tak ingin kembali gagal, maka seseorang kemudian menuntun lidahku.
Dan akhirnya, selesailah semua. Sebutir keringat jatuh dari ujung hidungku ketika tanda tangan paling akhir aku goreskan. Aku hempas nafas panjang. Mengakhiri semua ketegangan. Lampu blitz terus menghujani serambi masjid.

***
Setelah sebulan penuh aku nikmati manis madu cinta bersama Liana, siang ini aku pamit keluar rumah hendak menemuimu. Untuk menanyakan sebab apa kau tak datang.
Liana senang hati mengijinkan. Sebab semua tentang kau telah aku ceritakan padanya. Tanpa ada yang kusembunyikan. Bahkan tentang ramalanmu subuh hari itu, yang cepat disambut gelak tawa Liana. Aku bilang, kau adalah seorang teman yang enak diajak berbincang, terutama soal dunia kesenian. Ya, kau jauh berbeda dengan Liana yang sama sekali tidak apresiatif dengan dunia seni, yang lebih senang meracik bumbu, bicara tentang bunga, dan surga. Aku ceritakan pula awal pertemuan kita. Di sebuah pameran lukisan di Museum Affandi, entah berapa tahun lalu itu. Waktu itu, melihat langgam pakaian yang kau kenakan aku mengira kau seorang pelukis. Aku masih ingat benar kau mengenakan skinny jeans hitam, berkaus ketat, sendal jepit, scarf menggantung di bahu, sedang berdiri mematung di halaman. Entah bagaimana selanjutnya hingga kita saling bertegur sapa dan tertawa. Dan beberapa hari kemudian aku tahu kau bukan seorang pelukis seperti yang aku sangka, melainkan penggemar dunia panggung asal Padang yang tak punya tempat bernaung. Maka, bersama beberapa kawan, kita kemudian mendirikan sebuah Sanggar kecil yang sebentar lagi akan mementaskan karyanya keliling Jawa.
Di depan rumah kontrakan yang sering kita sebut Sanggar itu kulihat kau duduk bersama beberapa lelaki. Kau perempuan seorang diri. Lamat aku dengar pecahan tawamu, sumbang di awang-awang. Melihat wajahku kau seolah tercekik, dengan geliat cepat kau masuk ke dalam tanpa melepas sandal. Aku pura-pura tak melihatmu. Aku sapa beberapa kawan yang duduk di bangku bambu. Mereka memberi senyum yang dipaksakan. Sungguh asing wajah-wajah yang kutatap itu. Bukankah seharusnya aku yang marah dengan mereka--termasuk denganmu--karena tak mendatangi undanganku. Tapi sudahlah, tak ada gunanya marah-marah.
Aku masuk ke sebuah ruang paling belakang di mana kau biasa mengurung sendirian. Aku buka pintu dan mendapati perkusi dan beberapa panggung properti. Di salah satu sudut, kau menyambutku dengan kepulan asap. He, sejak kapan kau akrab dengan rokok?!
"Sejak kau menikahi Liana," katamu, entah menjawab pertanyaan hatiku atau sekedar ngelantur. "Ya, sejak kau menikah dengan Liana aku sebenarnya tak betah lagi berada di Jogja. Maaf, kalau aku tak datang sebulan lalu. Bukan karena tak ada yang mau mengantar, tapi aku takut akan berteriak di tengah upacara sakral itu dan akan membuat perkawinanmu batal. Aku juga yang menyuruh teman-teman untuk tidak datang." Kau bicara dengan kepala menunduk. Belum sempat aku menyahut kau sudah meneruskan, "Kau bodoh, Arta! Hatimu tak peka, tak pantas kau jadi seorang seniman, apalagi sastrawan…." Kau mematikan rokok di lantai, lalu menyalakannya yang baru, tanpa memandangku.
"Apa yang kau katakan, Melva? Kau mabuk? Berapa botol vodka telah kau tenggak?" tanyaku, seperti mendesah, tak kuasa untuk marah setelah melihat wajahmu memerah.
"Berapa pun botol vodka tak akan sanggup buatku mabuk, Arta. Aku akan selalu terjaga. Tapi tidak untuk yang satu itu." Kau membuang rokok yang masih panjang tanpa mematikannya, lalu menyalakan yang baru.
"Kau tak senang aku menikahi Liana? Begitu maksudmu? Ucapkan kalimat yang terang, Melva. Sejak kapan kau menjadi penyair?!" Aku mendekatimu, lalu duduk mencangkung memanah wajahmu yang ranum.
"Syukurlah kau tahu apa yang membuat aku selayak mabuk. Jadi aku tak perlu lagi menjelaskan," kau menarik nafas panjang,-- beberapa kali-- lalu menghempaskannya seperti membuang berkilo beban di dadamu. Kau tersenyum teramat berat. Bola matamu memendar kabut, pemandangan yang paling tak aku suka.
Maka, sebelum butiran-butiran air meretas dari matamu, aku telah bergegas keluar. Tanpa berbasa-basi pada beberapa kawan di bangku bambu aku menghambur pulang.

***
Pagi telah meremang. Aku pura-pura masih sibuk dalam mimpi ketika Liana terjaga dan beranjak dari ranjang setelah menanam basah bibirnya di keningku. Andai kau tahu, Melva, sepanjang malam, dalam kamar remang lampu kuning ini aku terus memikirkanmu. Senyummu yang berat dan terkesan kau paksa dan matamu yang memendar kabut tak mau berlalu dari otakku, garang menjagal mataku terlelap. Kau tahu, aku memilih cepat menghambur dari Sanggar tadi siang, karena tak kuasa melihat retasan air matamu yang mungkin akan berjatuhan seperti hujan. Jika benar kau menangis, semoga kesakitan yang mengeram di hatimu akan terbasuh, seperti debu diguyur hujan.
Siang nanti, aku akan menemuimu lagi dan meminta "maaf" karena tak bisa membaca gelagatmu selama itu: Cermin perasaan yang kau simpan.
Mendadak ponselku bergetar di atas meja.  
"Kali ini kau cukup dengarkan saja, Arta," suaramu terdengar lantang di seberang. "Aku cuma mau pamit hendak pulang ke Padang. Aku akan terus mabuk jika masih berada di tanah Jogja, tanah yang menyimpan bau keringatmu. Oya, tentang perkataanku sebulan lalu lebih baik kau lupakan saja. Kau tentu tahu mengapa aku meramalmu yang tidak-tidak waktu itu… Kini, semua telah lewat dan harus kita lewati jalan selanjutnya. Selamat pagi, Arta, semoga kau bahagia…"
"Melva…" Tak ada lagi suara kecuali dengung.
Aku dapat merasakan lara yang kaurasa melalui pita suaramu yang serak. Tetapi apa mesti aku perbuat. Adakah aku mesti cabuti satu persatu panji janji yang selalu aku tancapkan di puncak percintaan, yang selalu aku bisikkan di relung telinga Liana dengan segenap perasaan: "Kasihku untukmu abadi, Liana."
Sejak suara laramu itu, Melva, aku ingin sekali menelponmu. Mengabarkan hari-hariku yang tak selayak keriangan katak di bawah jarum-jarum hujan. Hari-hariku yang merambat bagai ulat di daunan. Detik dalam darahku digenangi serak lara suaramu, senyummu yang teramat berat, dan pendaran kabut di matamu. Tapi tak ada nomor yang dapat aku hubungi. Haruskah aku terbang ke Padang, mendatangi rumah gadangmu untuk mengakhiri kegetiran waktu. Inikah amuk badai yang kau ramalkan itu, Melva?

Wonosobo, Juli 2006



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »