Jusuf AN
Tangan saya gemetar saat menulis surat ini, Yai. Takdzim saya kepada Yai tak berkurang sedikit pun, doa dan keberkahan Yai semoga tercurah untuk saya dan keluarga.
Maaf, Yai. Saya santri Yai, begitulah seharusnya saya memosisikan diri. Seorang santri selamanya akan tetap sebagai santri meskipun sudah tidak tinggal di pesantren lagi.
Begini, Yai. Hem, mungkin baiknya saya awali dengan cerita. Saya masih terkenang saat di pesantren dulu: Suatu malam, puluhan santri berkumpul di Masjid. Kali itu bukan untuk ngaji bandongan atau sorogan, tetapi untuk membaca, mendengar, dan mendendangkan atsar (prosa) dan nadzam (puisi) dari kitab terkemuka. Seseorang membaca atsar, saya dan yang lain mendengarkan, sesekali menyela, “Allah” atau “Ya Rasulallah”. Lalu crak..dung...crak dung-dung! Rebana membahana. Dipimpin seseorang, semua ikut mendendangkan nadzam. Beberapa tampak khusuk, tak jarang pula yang mengantuk sambil garuk-garuk, termasuk saya, barangkali syaithon berkitar-kitar di atas kepala, atau lantaran bosan, tak paham apa yang didengar dan dinyanyikan.
Tanpa harus menyebutkan kitab apa yang kami baca, tentu Yai sudah sangat mengetahuinya. Apa lagi kalau bukan kitab karangan Syekh Ja’far Al-Barzanji berjudul asli ‘Iqdul Jawahir (Untaian Mutiara). Pemandangan seperti itu sebenarnya tak hanya ditemui pondok pesantren, Yai. Tetapi juga di kampung-kampung, bergilir dari rumah ke rumah, setiap malam selama Rabi’ul Awal, juga dalam acara muputi (tradisi potong rambut dan memberi nama bayi).
Yai tentu sepakat, kitab yang kini lebih dikenal dengan nama marga pengarangnya (Al-Barzanji) itu memang dahsyat. Mungkin juga menjadi salah satu kitab setelah Al-Qur’an yang paling sering dibaca secara berulang, melebihi Manakib-nya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau ungkapan-ungkapan sufistik dalam Al-Hikam karya Ibn Atha’illah yang sangat sastrawi.
Maksud saya begini, Yai. Fenomena tersebut membuat kita percaya bahwa tradisi sastra di pesantren sudah berjalan demikian lama. Pada perkembangannya, pendokumentasian karya sastra hasil kreasi para santri dan kyai dalam bentuk cetak juga dilakukan, bahkan kini merambah ke bentuk audio-visual. Yai sendiri sudah pula menggubah syi’ir-syi’ir dan senang bercerita di atas mimbar. Tapi adakah Yai pernah mendengar istilah ini: “Sastra Pesantren?”
Iya, Yai. Sastra Pesantren! Istilah itu baru saya tahu setelah bertahun-tahun tidak tinggal di pesantren lagi. Pada awal millinium ke-3, istilah tersebut bahkan menjadi perbincangan di berbagai media.
Saya percaya, Yai tidak kaget. Sebab toh Yai pernah cerita jika dulu Tasawuf yang praktiknya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., sebagai sebuah istilah baru dikenal abad ke-3 H. Sastra pesantren juga begitu ‘kan? Tradisi sastra di pesantren sudah ada bersamaan dengan adanya komunitas pesantren itu sendiri, meski istilah sastra pesantren belum lama muncul.
Oh ya, Yai. Sebelum jauh membincang sastra pesantren, demi kesatuan pandangan, sebaiknya kita sepakati dulu maksud istilah itu. Sastra pesantren dalam surat ini mengandung maksud sebagaimana pernah dikemukan oleh Gus M. Faizi, putra Pengasuh Pesantren Guluk-Guluk, Madura. Gus M. Faizi pernah membuat tulisan panjang berjudul Silsilah Intelektualisme dan Sastra di Pesantren, (Sebuah Perambahan Atas Tradisi Pesantren, Sastra, dan Sastra Pesantren), dimuat di Jurnal Ainil ISLAM, dan dipublikasikan ulang di blog pribadinya. Menurut beliau, sastra pesantren adalah karya sastra santri, kiai, dan atau juga yang punya silsilah sosial/intelektual dengan pesantren, bertema hal-ihwal kesantrian dan kepesantrenan dengan membawa semangat kesantrian (religiusitas), baik secara langsung maupun tidak.
Maka, ketika Gus Dur (K.H. Abdurahman Wahid) menempatkan novel Jalan Tak Ada Ujung sebagai sastra religius yang tidak kalah ketimbang Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA, kita tidak dengan serta merta bisa memasukkan karya tersebut sebagai bagian dari sastra pesantren. Karena Mochtar Lubis bukan kiai, santri, atau pengarang yang punya silsilah sosial/inelektual dengan pesantren.
Barangkali Yai beranggapan bahwa label sastra pesantren tidak penting dan sebaiknya tidak perlu ditempelkan para karya tertentu. Sebab label itu justru akan membuat karya sastra pesantren terkesan ekslusif, dan pada akhirnya tidak menarik simpatik pihak-pihak di luar pesantren. Jika itu yang menjadi pendapat Yai, saya sependapat. Karena yang terpenting dalam sebuah karya adalah substansinya dan bukan labelnya. Atau istilah sastra pesantren biarlah tetap ada, tetapi bukan untuk mengukuhkan label, melainkan untuk menggelorakan kalangan pesantren dalam menghasilkan karya.
Wahai Kyaiku yang bijaksana.
Dulu, sewaktu masih nyantri, saya tidak tahu apa-apa soal sastra, tapi kadang kala menulis puisi juga. Tak hanya saya, banyak teman-teman seangkatan yang juga punya minat dan bakat sastra, dan mereka suka diam-diam membaca buku-buku sastra berbahasa Indonesia. Tetapi lambat laut, bibit-bibit cinta sastra kawan-kawan banyak yang punah, karena memang di pesantren tak ada yang menyemaikannya.
Itulah kenapa saya menulis surat ini, Yai. Sekadar menyoal geliat sastra di pesantren. Jika tradisi sastra di pesantren tidak dibarengi dengan kesadaran dan arah yang jelas, maka ia hanya akan berjalan di tempat. ‘Iqdul Jawahir akan terus dibaca, tetapi spirit perlawanan dan cinta kepada Rasulullah Saw tidak akan benar-benar membekas.
Memang, saya sempat pula ikut ngaji bandongan ‘Iqdul Jawahir. Buku terjemahan kitab tersebut, juga kitab-kitab kuning lain kini juga sudah banyak. Tetapi diskusi, Yai. Saya rasa beda dengan bandongan, sorogan, atau membaca kitab terjemahan.
Sampai di sini sebenarnya Yai sudah paham maksud surat ini. Seandainya saya anak kecil, tentu saya tak perlu basa-basi untuk meminta mainan. Tetapi karena saya santri dan Yai adalah panutan saya, terlebih yang saya ingin sampaikan ini butuh dalil, maka ijinkan saya mengingat masa lampau, para tokoh pendahulu pesantren.
Luar biasa, Yai. Ternyata pesantren memiliki tokoh besar yang dikenal sebagai pelopor sastra Melayu. Pastilah Yai paham siapa yang saya maksud. Atau Yai akan segera ingat setelah membaca sajak ini:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.[1]
Itulah petikan sajak Sidang Ahli Suluk karya Syekh Hamzah Fansuri. Menurut Kyai Zamakhsary Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren, Syekh Hamzah Fansuri adalah salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh pusat pendidikan Islam (tradisional) pertama di Barus, Aceh, yang kemudian menjadi cikal-bakal pesantren sekarang ini.
Menderetkan nama-nama Kyai yang punya kesadaran bersastra di sini tentu akan sangat panjang. Sebutlah beberapa saja, seperti Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan putranya K. H Wahid Hasyim yang telah melahirkan banyak puisi berbahasa Arab, K.H Bisri Mustafa dan putranya K.H A.Mustafa Bisri yang juga telah menulis banyak nadzam dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia, dan jangan lupakan juga Kyai Ahmad Qusyairi Siddiq dari Jember yang sudah mengarang kitab Fiqh berjudul Tanwir al-Hija dalam 312 sajak. Itu hanya beberapa saja, Yai. Sekadar menunjukkan bahwa ulama pesantren tidak memandang remeh sastra sebagai media dakwah mereka.
Yai tentu tak heran. Pesantren memang patut dibanggakan dan telah melahirkan banyak ulama besar, yang tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga kepribadian luhur. Pengetahuan para ulama diperoleh dari kegigihan mereka menimba ilmu dan takdzim mereka terhadap guru, sementara kepribadian dan karakter mereka bisa jadi karena pengaruh bacaan-bacaan yang penuh muatan sastra. Lalu keahlian mereka menuangkan gagasan dalam bentuk syair itu, dari mana mereka mendapatkannya? Kepekaan hati, selain juga kesadaran bahwa syair (sastra) merupakan pilihan yang sudah teruji efektif sebagai media dakwah islamiyah.
Saya percaya, Kyaiku yang sedang membaca surat ini memegang teguh visi pesantren: al-Muhafadhah‘alal qodimis shaleh wal-akhdu bil Jadidil ashlah. Ketika pendidikan untuk kaum perempuan masih tabu, Pesantren Den Anyar, Jombang tahun 1910 menjadi pesantren pertama yang membuka diri untuk santriwati. Itu bukti bahwa pesantren sanggup menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Tentu Yai juga punya niat untuk menggiatkan sastra di pesantren yang Yai asuh, sebagaimana juga sudah dilakukan di beberapa pesantren lain.
Zaman modern, Yai, bagaimanapun telah membawa manusia pada pola pikir praktis dan tak jarang menempatkan agama sebatas simbol dan ritual. Beragama di era digital ini lebih sering dimaknai hanya benar-salah, sebatas menggugurkan kewajiban, fiqh an sich—demikian istilah populernya. Situasi yang demikian ini membutuhkan penyegaran, juga media yang mampu menggerakan sisi dalam (penghayatan), sastra salah satunya.
Dan kenapa saya memilih mengirimkan surat ini kepada Yai dan bukan kepada Pusat Pembinaan Sastra dan Bahasa? Sebab di pesantren mana pun Kyai adalah sosok teladan sekaligus pengayom. Meski dalam tujuan membangkitkan sastra di pesantren, Kyai bisa saja hanya sebagai pengayom. Tapi Yai tentu ingin menjadi keduanya, uswah sekaligus pengayom, sebagaimana sudah banyak dicontohkan oleh para pendahulu.
Maka, barangkali setelah selesai membaca surat ini, Yai akan tergerak memanggil para pengurus, bermusyawarah dengan mereka tentang bagaimana menumbuhkan bakat dan minat sastra para santri, itu bagus sekali, Yai. Saya percaya dari musyawarah tersebut akan melahirkan gagasan-gagasan cemerlang. Mungkin akan diputuskan pentingnya membuat forum diskusi rutin yang khusus menyoal sastra, membentuk tim untuk menerbitkan majalah, mengadakan panggung sastra dalam di Akhirus Sanah, lomba menulis, mengundang sastrawan untuk membakar semangat, mengayakan buku sastra di perpustakan, dan lain sebagainya.
Sekali lagi, Yai adalah guru saya yang lebih memahami bagaimana kebijakan yang tepat untuk mendorong dan menggiatkan sastra pesantren. Saya tidak tahu apa-apa, dan mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan.
[1] Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Mizan, 1995, Hal. 121
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Tangan saya gemetar saat menulis surat ini, Yai. Takdzim saya kepada Yai tak berkurang sedikit pun, doa dan keberkahan Yai semoga tercurah untuk saya dan keluarga.
Maaf, Yai. Saya santri Yai, begitulah seharusnya saya memosisikan diri. Seorang santri selamanya akan tetap sebagai santri meskipun sudah tidak tinggal di pesantren lagi.
Begini, Yai. Hem, mungkin baiknya saya awali dengan cerita. Saya masih terkenang saat di pesantren dulu: Suatu malam, puluhan santri berkumpul di Masjid. Kali itu bukan untuk ngaji bandongan atau sorogan, tetapi untuk membaca, mendengar, dan mendendangkan atsar (prosa) dan nadzam (puisi) dari kitab terkemuka. Seseorang membaca atsar, saya dan yang lain mendengarkan, sesekali menyela, “Allah” atau “Ya Rasulallah”. Lalu crak..dung...crak dung-dung! Rebana membahana. Dipimpin seseorang, semua ikut mendendangkan nadzam. Beberapa tampak khusuk, tak jarang pula yang mengantuk sambil garuk-garuk, termasuk saya, barangkali syaithon berkitar-kitar di atas kepala, atau lantaran bosan, tak paham apa yang didengar dan dinyanyikan.
Tanpa harus menyebutkan kitab apa yang kami baca, tentu Yai sudah sangat mengetahuinya. Apa lagi kalau bukan kitab karangan Syekh Ja’far Al-Barzanji berjudul asli ‘Iqdul Jawahir (Untaian Mutiara). Pemandangan seperti itu sebenarnya tak hanya ditemui pondok pesantren, Yai. Tetapi juga di kampung-kampung, bergilir dari rumah ke rumah, setiap malam selama Rabi’ul Awal, juga dalam acara muputi (tradisi potong rambut dan memberi nama bayi).
Yai tentu sepakat, kitab yang kini lebih dikenal dengan nama marga pengarangnya (Al-Barzanji) itu memang dahsyat. Mungkin juga menjadi salah satu kitab setelah Al-Qur’an yang paling sering dibaca secara berulang, melebihi Manakib-nya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau ungkapan-ungkapan sufistik dalam Al-Hikam karya Ibn Atha’illah yang sangat sastrawi.
Maksud saya begini, Yai. Fenomena tersebut membuat kita percaya bahwa tradisi sastra di pesantren sudah berjalan demikian lama. Pada perkembangannya, pendokumentasian karya sastra hasil kreasi para santri dan kyai dalam bentuk cetak juga dilakukan, bahkan kini merambah ke bentuk audio-visual. Yai sendiri sudah pula menggubah syi’ir-syi’ir dan senang bercerita di atas mimbar. Tapi adakah Yai pernah mendengar istilah ini: “Sastra Pesantren?”
Iya, Yai. Sastra Pesantren! Istilah itu baru saya tahu setelah bertahun-tahun tidak tinggal di pesantren lagi. Pada awal millinium ke-3, istilah tersebut bahkan menjadi perbincangan di berbagai media.
Saya percaya, Yai tidak kaget. Sebab toh Yai pernah cerita jika dulu Tasawuf yang praktiknya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., sebagai sebuah istilah baru dikenal abad ke-3 H. Sastra pesantren juga begitu ‘kan? Tradisi sastra di pesantren sudah ada bersamaan dengan adanya komunitas pesantren itu sendiri, meski istilah sastra pesantren belum lama muncul.
Oh ya, Yai. Sebelum jauh membincang sastra pesantren, demi kesatuan pandangan, sebaiknya kita sepakati dulu maksud istilah itu. Sastra pesantren dalam surat ini mengandung maksud sebagaimana pernah dikemukan oleh Gus M. Faizi, putra Pengasuh Pesantren Guluk-Guluk, Madura. Gus M. Faizi pernah membuat tulisan panjang berjudul Silsilah Intelektualisme dan Sastra di Pesantren, (Sebuah Perambahan Atas Tradisi Pesantren, Sastra, dan Sastra Pesantren), dimuat di Jurnal Ainil ISLAM, dan dipublikasikan ulang di blog pribadinya. Menurut beliau, sastra pesantren adalah karya sastra santri, kiai, dan atau juga yang punya silsilah sosial/intelektual dengan pesantren, bertema hal-ihwal kesantrian dan kepesantrenan dengan membawa semangat kesantrian (religiusitas), baik secara langsung maupun tidak.
Maka, ketika Gus Dur (K.H. Abdurahman Wahid) menempatkan novel Jalan Tak Ada Ujung sebagai sastra religius yang tidak kalah ketimbang Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA, kita tidak dengan serta merta bisa memasukkan karya tersebut sebagai bagian dari sastra pesantren. Karena Mochtar Lubis bukan kiai, santri, atau pengarang yang punya silsilah sosial/inelektual dengan pesantren.
Barangkali Yai beranggapan bahwa label sastra pesantren tidak penting dan sebaiknya tidak perlu ditempelkan para karya tertentu. Sebab label itu justru akan membuat karya sastra pesantren terkesan ekslusif, dan pada akhirnya tidak menarik simpatik pihak-pihak di luar pesantren. Jika itu yang menjadi pendapat Yai, saya sependapat. Karena yang terpenting dalam sebuah karya adalah substansinya dan bukan labelnya. Atau istilah sastra pesantren biarlah tetap ada, tetapi bukan untuk mengukuhkan label, melainkan untuk menggelorakan kalangan pesantren dalam menghasilkan karya.
Wahai Kyaiku yang bijaksana.
Dulu, sewaktu masih nyantri, saya tidak tahu apa-apa soal sastra, tapi kadang kala menulis puisi juga. Tak hanya saya, banyak teman-teman seangkatan yang juga punya minat dan bakat sastra, dan mereka suka diam-diam membaca buku-buku sastra berbahasa Indonesia. Tetapi lambat laut, bibit-bibit cinta sastra kawan-kawan banyak yang punah, karena memang di pesantren tak ada yang menyemaikannya.
Itulah kenapa saya menulis surat ini, Yai. Sekadar menyoal geliat sastra di pesantren. Jika tradisi sastra di pesantren tidak dibarengi dengan kesadaran dan arah yang jelas, maka ia hanya akan berjalan di tempat. ‘Iqdul Jawahir akan terus dibaca, tetapi spirit perlawanan dan cinta kepada Rasulullah Saw tidak akan benar-benar membekas.
Memang, saya sempat pula ikut ngaji bandongan ‘Iqdul Jawahir. Buku terjemahan kitab tersebut, juga kitab-kitab kuning lain kini juga sudah banyak. Tetapi diskusi, Yai. Saya rasa beda dengan bandongan, sorogan, atau membaca kitab terjemahan.
Sampai di sini sebenarnya Yai sudah paham maksud surat ini. Seandainya saya anak kecil, tentu saya tak perlu basa-basi untuk meminta mainan. Tetapi karena saya santri dan Yai adalah panutan saya, terlebih yang saya ingin sampaikan ini butuh dalil, maka ijinkan saya mengingat masa lampau, para tokoh pendahulu pesantren.
Luar biasa, Yai. Ternyata pesantren memiliki tokoh besar yang dikenal sebagai pelopor sastra Melayu. Pastilah Yai paham siapa yang saya maksud. Atau Yai akan segera ingat setelah membaca sajak ini:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.[1]
Itulah petikan sajak Sidang Ahli Suluk karya Syekh Hamzah Fansuri. Menurut Kyai Zamakhsary Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren, Syekh Hamzah Fansuri adalah salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh pusat pendidikan Islam (tradisional) pertama di Barus, Aceh, yang kemudian menjadi cikal-bakal pesantren sekarang ini.
Menderetkan nama-nama Kyai yang punya kesadaran bersastra di sini tentu akan sangat panjang. Sebutlah beberapa saja, seperti Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan putranya K. H Wahid Hasyim yang telah melahirkan banyak puisi berbahasa Arab, K.H Bisri Mustafa dan putranya K.H A.Mustafa Bisri yang juga telah menulis banyak nadzam dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia, dan jangan lupakan juga Kyai Ahmad Qusyairi Siddiq dari Jember yang sudah mengarang kitab Fiqh berjudul Tanwir al-Hija dalam 312 sajak. Itu hanya beberapa saja, Yai. Sekadar menunjukkan bahwa ulama pesantren tidak memandang remeh sastra sebagai media dakwah mereka.
Yai tentu tak heran. Pesantren memang patut dibanggakan dan telah melahirkan banyak ulama besar, yang tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga kepribadian luhur. Pengetahuan para ulama diperoleh dari kegigihan mereka menimba ilmu dan takdzim mereka terhadap guru, sementara kepribadian dan karakter mereka bisa jadi karena pengaruh bacaan-bacaan yang penuh muatan sastra. Lalu keahlian mereka menuangkan gagasan dalam bentuk syair itu, dari mana mereka mendapatkannya? Kepekaan hati, selain juga kesadaran bahwa syair (sastra) merupakan pilihan yang sudah teruji efektif sebagai media dakwah islamiyah.
Saya percaya, Kyaiku yang sedang membaca surat ini memegang teguh visi pesantren: al-Muhafadhah‘alal qodimis shaleh wal-akhdu bil Jadidil ashlah. Ketika pendidikan untuk kaum perempuan masih tabu, Pesantren Den Anyar, Jombang tahun 1910 menjadi pesantren pertama yang membuka diri untuk santriwati. Itu bukti bahwa pesantren sanggup menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Tentu Yai juga punya niat untuk menggiatkan sastra di pesantren yang Yai asuh, sebagaimana juga sudah dilakukan di beberapa pesantren lain.
Zaman modern, Yai, bagaimanapun telah membawa manusia pada pola pikir praktis dan tak jarang menempatkan agama sebatas simbol dan ritual. Beragama di era digital ini lebih sering dimaknai hanya benar-salah, sebatas menggugurkan kewajiban, fiqh an sich—demikian istilah populernya. Situasi yang demikian ini membutuhkan penyegaran, juga media yang mampu menggerakan sisi dalam (penghayatan), sastra salah satunya.
Dan kenapa saya memilih mengirimkan surat ini kepada Yai dan bukan kepada Pusat Pembinaan Sastra dan Bahasa? Sebab di pesantren mana pun Kyai adalah sosok teladan sekaligus pengayom. Meski dalam tujuan membangkitkan sastra di pesantren, Kyai bisa saja hanya sebagai pengayom. Tapi Yai tentu ingin menjadi keduanya, uswah sekaligus pengayom, sebagaimana sudah banyak dicontohkan oleh para pendahulu.
Maka, barangkali setelah selesai membaca surat ini, Yai akan tergerak memanggil para pengurus, bermusyawarah dengan mereka tentang bagaimana menumbuhkan bakat dan minat sastra para santri, itu bagus sekali, Yai. Saya percaya dari musyawarah tersebut akan melahirkan gagasan-gagasan cemerlang. Mungkin akan diputuskan pentingnya membuat forum diskusi rutin yang khusus menyoal sastra, membentuk tim untuk menerbitkan majalah, mengadakan panggung sastra dalam di Akhirus Sanah, lomba menulis, mengundang sastrawan untuk membakar semangat, mengayakan buku sastra di perpustakan, dan lain sebagainya.
Sekali lagi, Yai adalah guru saya yang lebih memahami bagaimana kebijakan yang tepat untuk mendorong dan menggiatkan sastra pesantren. Saya tidak tahu apa-apa, dan mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan.
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
[1] Abdul Hadi WM, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Mizan, 1995, Hal. 121
--------------------
Tulisan ini dimuat dalam buku Revitalisasi Sastra Pesantren, Kumpulan Essai. Diterbitkan oleh Pesantren Mahasiswa An-Najah Purwokerto.