Anak Bungsu Sepasang Guru


                                                           Cerpen Jusuf AN
Cerpen ini mendapat penghargaan Tirto Oetomo Award tahun 2012

SEJAK semalam Trimo sudah yakin, pagi ini akan menjadi pagi yang sangat mendebarkan. Mendaftarkan Agil ke sekolahan, sungguh, bagi Trimo tidak kalah mendebarkan dibandingkan detik-detik menjelang kelahiran enam anaknya.
Dengan mata masih kemerahan lelaki tua itu bangkit dari ranjang melangkah ke dapur. Sukmi, istrinya baru saja mengangkat telur dadar dengan sorokmenuntaskan minyaknya di mangkuk. Tak jauh dari tempat itu pintu kamar mandi terlihat mengatup, byar-byur air dan senandung sumbang terdengar dari dalam: Aku ingin begini...aku ingin begitu...
“Kau dengar itu?” Sukmi bertanya setelah melihat suaminya muncul dari arah pintu. Trimo tahu, lagu yang dinyanyikan Agil itu adalah soundtrack film kartun Jepang. “Suara hati anak kita, Pak!” Sukmi menjawab pertanyaannya sendiri sembari mengangkat tremos kemudian menuangkan airnya ke cangkir. Melihat Trimo diam membatu, Sukmi meneruskan kalimatnya sambil mengaduk kopi, “Jarang-jarang lho, anak seusia Agil sudah memikirkan masa depan”
Memang, tapi masa depan selalu misteri bukan? Dan sekolah tidak menjanjikan cerlangnya, terkadang bisa jadi menggelapkannya. Trimo ingin mengatakan itu, dengan menunjukkan bukti-bukti nyata yang sangat dekat dengan kehidupannya, yakni lima kakak Agil yang sekarang hidup bahagia dan sejahtera tanpa pernah makan bangku sekolah menengah pertama. Tapi Trimo telah mengatakan semua itu semalam. Trimo yakin, kemantapan hati istrinya untuk mendaftarkan Agil melanjutkan sekolah tidak akan berubah hanya karena mendengar kalimat-kalimat yang sama.
Trimo beranjak dari dapur, membawa cangkir kopinya ke ruang tengah. Duduk di sofa, setelah menyeruput kopi dan menyalakan kreteknya, Trimo mengedar pandang, menatap satu-satu foto-foto yang terpajang memenuhi dinding ruangan. Memandang enam foto anaknya, sembilan foto sang cucu, satu foto yang merangkum 25 wajah terdiri anak, cucu, mantu, istri dan dirinya sendiri, Trimo tak pernah jemu. Pernah suatu ketika Trimo ingin memindah foto-foto itu ke ruang tamu, tetapi Sukmi melarangnya dengan alasan tak tampak ada di antara foto anaknya yang berpose mengenakan toga. Malu, apa kata orang nanti…” demikian Sukm berdalih saat Trimo mengutarakan niatnya.
“Kenapa harus malu?” tanggap Trimo waktu itu.
“Kita ini guru, Pak. Bapak guru SMA, aku guru TK. Tapi anak-anak kita...” sembari mendedahkan dua telapak tapak tangan, “Hanya lulus esde.”
“Memang begitu kenyataannya.”
“Itu gara-gara Bapak!”
Lho!”
“Kok lho? Kalau Bapak menyuruh mereka melanjutkan sekolah pastilah mereka kini sudah pada jadi sarjana, insinyur, pejabat….”
“Belum tentu, Sukmi. Dan perlu aku tegaskan lagi, bukan aku yang nyuruh mereka tidak melanjutkan sekolah.”
“Tapi Bapak menyetujui pilihan anak-anak ‘kan?”
Sejatinya, sebagai seorang Guru, Trimo terkadang merasa tak enak hati jika anaknya tidak melanjutkan sekolah. Dan memang, lima anak pertama Trimo, semuanya sudah didaftarkan ke SMP terdekat di Kecamatan, 3 kilo jauhnya dari rumah; harus menyusuri jalan setapak dan menyeberang jembatan gantung menyeberangi serayu pula. Pun dua setel seragam, tas, sepatu, dan peralatan tulis yang baru sudah dibelikan. Tapi begitulah…
“Sekolahnya jauh. Kawan-kawan Noor tidak ada yang melanjutkan. Masa’ Noor harus berangkat dan pulang sendiri,” kilah si sulung Noor.
“Bapak akan mengantar dan menjemputmu setiap hari,” bujuk Sukmi. “Ya kan, Pak?”  menoleh ke arah Trimo, disambut anggukan dan senyum kecil Trimo.
Noor yang tak lagi punya alasan, pada akhirnya menurut. Tapi di sekolahan, Noor yang sulit bergaul merasa terasing. Guru-guru baru, teman-teman baru, materi-materi pelajaran baru, tak ada yang menyenangkan baginya, membuatnya memutuskan berhenti sekolah. Seribu bujukan dan rayuan tidak membuatnya tertarik untuk berangat sekolah. Trimo dan Sukmi yang tak ingin anaknya diterkam gelap kebodohan berinisiatif membeli buku-buku, mengajar Noor pelajaran setiap sore dan malam. Sedang ketika pagi sampai siang Noor menghabiskan waktu di rumah tetangganya yang penjahit.
Tiga tahun kemudian Neng yang doyan buku sejak TK meniru kakaknya. Juga Ana, menolak sekolah dengan alasan yang sama; tak ada kawan esde-nya yang melanjutkan. Arif sedikit melegakan, mengurangi rasa malu sepasang guru itu. Bersama beberapa anak sekampung yang sebagian besar adalah laki-laki, enam hari dalam seminggu Arif rela berjalan kaki sejauh 6 kilo. Tetapi diam-diam Arif kerap membolos, bikin onar di kelas dan tak lupa ikut tawuran, hingga akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Trimo kemudian memutuskan membawa Arif ke pesantren setelah memergoki daun ganja di dalam dompetnya.
Empat tahun setelah peristiwa memalukan itu secara mengejutkan Sukmi hamil muda. Sufyan, adiknya Arif, anak kelima yang masih kelas lima itu mulai merasakan perhatian Sukmi padanya lambat laun berkurang. Dan ketika adik lelakinya lahir diberi nama Agil, Sufyan yang telah merasakan nikmatnya menjadi bungsu lebih dari sebelas tahun diserang cemburu, membuatnya jarang di rumah dan sering membantah titah Trimo dan Sukmi. Dan ketika lulus sekolah dasar, diam-diam Arif membujuk Sufyan untuk tidak melanjutkan sekolah melainkan ngaji di pesantren bersamanya. Sufyan merasa sangat tertarik setelah dikatakan kepadanya bahwa hidup di pesantren jauh lebih enak dari pada tinggal di rumah.
Orang tua harus siap ditinggalkan jika tidak ingin meninggal lebih awal, demikian Trimo berkeyakinan. Ia tak pernah sedih dan telah membalik kepercayaannya pada  pepatah leluhur bahwa kumpul tidak kumpul asal makan. Biarlah Noor, Neng, Ana, Arif, dan Sufyan tak lagi tinggal serumah, yang penting mereka memiliki penghidupan layak, bisa makan kenyang meskipun hidup saling berjauhan. Bagi Trimo lima anaknya yang pertama telah membuatnya bangga, meski tak satu pun dari mereka ada yang jadi sarjana.
Tak dinyana, Noor yang telah beranak tiga kini memiliki bisnis konveksi yang memang menjadi impiannya sejak esde. Neng yang pecinta buku sempat jadi pengarang, meskipun sejak menikah dengan pegawai perpustakaan Neng tak penah menulis, tapi ia telah melahirkan tiga anak dalam waktu enam tahun—buah karya yang cukup mengejutkan. Ana yang hobi masak, kini membuka restoran, memiliki sepuluh karyawan dan dua anak menggemaskan. Sementara Arif yang sempat lima tahun mengabdi pada Kiai di pesantren, kini jadi politisi, sering pula mengisi pengajian di pelosok-pelosok negeri. Sedangkan Sufyan yang masih bujang, setelah enam tahun di pesantren, memilih mengontrak rumah dan kini sedang merintis warung kopi dan usaha laundry. Semuanya hidup bahagia. Dan bisa dipastikan kebahagiaan mereka belum seberapa dibanding kebahagiaan yang dirasakan Trimo.
Teringat masa lalu lima anaknya, pun pencapaian-pencapaian mereka, benak Trimo tak terhindar dari kesimpulan: “Belajar tidak berarti harus di sekolah!” Trimo yang baru sebulan lalu pensiun setelah menjadi guru lebih dari tiga puluh lima tahun telah pula menyimpan riwayat mantan anak-anak didiknya. Banyak siswa yang dulu dikenal paling pendiam di kelas kini jadi tukang jual obat keliling, supir bus, atau petani salak. Sebagian anak yang dulu dikenal rajin mengerjakan PR, dan nilai ujiannya paling baik, sekarang bekerja di pabrik kayu lapis, penjaga swalayan, dan sebagian lagi menjadi pegawai negeri. Anak-anak yang melanjutkan sampai perguruan tinggi, banyak yang menganggur, satu dua beruntung (atau sial?) bisa jadi Camat atau Bupati, tapi banyak juga yang pada akhirnya gila, mati karena narkoba, kecuali beberapa anak tetap bisa bertahan hidup karena tidak malu jadi kuli.
Kadang-kadang, sambil menyungging senyum kecil Trimo membatin, buah yang jatuh memang tak jauh-jauh dari pohonnya. Betapa Trimo remaja juga pernah menolak untuk sekolah. Tetapi karena ayahnya yang tentara mengancam hendak mengusirnya dari rumah jika tak mau sekolah Trimo pun pasrah. Menjadi guru adalah nasib yang tak pernah dicita-citakannya, meskipun pada akhirnya ia bisa menikmatinya sepenuh hati—inilah salah satu wujud bhaktinya pada orangtua. Tahun demi tahun ia lewati dengan nurani yang menjerit-jerit oleh kenyataan; sekolah hanya menjadi penjara yang memisahkan anak didik dari persoalan-persoalan nyata di sekitar lingkungannya; sekolah bukan tempat belajar melainkan pabrik di mana robot-robot diproduksi. Trimo sudah berusaha merubah iklim buruk yang ada di sekolahannya, misal dengan mengusulkan agar Persputakaan Sekolah lebih banyak mengoleksi buku bacaan ketimbang buku paket yang usianya pendek dan telah banyak bertumpukan di gudang, dengan membiasakan siswa berdiskusi memecahkan persoalan aktual. Tetapi ia tidak berdaya dengan sistem. Ia cuma seorang guru IPS biasa, cuma berijasah Ahli  Muda. Pernah suatu ketika Trimo protes dengan kebijakan Kepala Sekolah yang mewajibkan siswanya ikut Taur ke Bali. Akibat ulahnya itu, Trimo justru di mutasi ke SMA lain.
Dendamnya dengan kedzaliman mantan atasan yang menendangnya pindah ke sekolah lain itu, membuat semangatnya menjadi Guru yang baik justru berkobar. Ia kerap berpesan kepada murid-muridnya, “Negeri ini sedang sakit. Masa depan kalianlah yang menentukan kesembuhan atau bertambah parah sakitnya.” Ia yakin, salah satu dari berpasang-pasang telinga yang mendengar itu kelak akan ada yang menjadi guru juga. Ia yakin, guru sangat bisa menjadi agen perubahan jika ia sungguh-sungguh menjadi guru. Dan ia berharap, semoga akan semakin banyak lahir guru-guru yang tidak hanya sibuk mengurus perutnya saja. 
Ahai, Guru Trimo. Lihatlah, lelaki dengan kerut-merut di wajahnya itu masih ngungun di atas sofa ruang tengah, sesekali mendesah mengamati foto-foto yang terpajang di dinding. Ia tahu, sebentar lagi Agil selesai mandi, memakai seragam sekolah dasar yang sudah Sukmi siapkan, kemudian menyuruh Trimo untuk segera berkemas, meski fajar baru saja menetas. Sejak dua minggu lalu Agil yang nilai ujiannya rangking satu sekecamatan datang kepada Trimo menunjukkan brosur full color yang kemudian diketahui didapat dari Fendi, teman sekelas anaknya. “Ini sekolah unggulan, Pak. Nanti, Agil mau kos bareng Fendi. Biar Bapak tidak repot-repot antar. Kasihan, Bapak, ‘kan sekolahnya jauh.”
Mendengar kalimat Agil, Trimo terheran, atau lebih tepatnya tercengang. Dadanya berdesir, teringat akan sistem sekolah yang tak kunjung berubah kecuali kurikulum yang sekadar berganti nama. Bahwa Agil menunjukkan minat untuk sekolah, sebuah minat yang berbeda dengan kakak-kakaknya itu hanya karena dipengaruhi lingkungan, tak murni muncul dari hati. Beberapa hari sebelum Ujian Agil pernah mengatakan kalau dirinya ingin menjadi pengusaha, dan Trimo tahu ijazah tidak diperlukan oleh seorang pengusaha. Maka, Trimo tidak menyetujui permintaannya, tidak pula berinisiatif mendaftarkannya ke sekolah lain. Tetapi karena Sukmi berkali-kali mendesaknya, dan Agil ngambek tak mau makan, berat hati akhirnya Trimo mengalah.
***
“Kalau kamu tidak diterima bagaimana?”
“Pasti diterima dong! Kan nilaiku bagus. Bapak ini gimana sih?”
“Ya bisa saja. Sainganmu ‘kan banyak, dan bukankah masih ada test tulis dan wawancara.”
“Pokoknya aku harus diterima. Aku akan belajar keras biar lulus test seleksi.”
Hmm, kalau misal, kamu sudah belajar, tapi tetap tidak diterima?”
“Takdir.”
“Dan kamu akan kecewa?”
“Tidak tahu.”
Percakapan terhenti. Sementara sepeda motor Trimo terus melaju lamban di atas jalan aspal yang baru sebulan silam diresmikan. Melintasi sawah-ladang, tanjakan berliku tajam, jembatan gantung, lalu tiba di jalan besar, sepeda motor Trimo lebur dalam keriuhan. Agil yang mengenakan seragam merah putih dengan tas gendong berisi ijazah dan bermacam piagam penghargaan sudah tak sabar ingin cepat sampai di tujuan. Di kepalanya telah tersimpan sekian rencana, tak sabar untuk segera diwujudkan; nanti, bersama Fendi, ia akan tinggal di kamar kos di pinggiran kota, bisa keluar rumah kapan saja, jalan-jalan ke mana saja, terbang bebas di angkasa, la..la..la...
Jantung Trimo kian rapat berdebar, doanya terus pula berdenyar, menyatu dengan butiran darah. Ia berharap Agil tidak diterima di sekolah unggulan yang akan didaftar. Kalau pun Agil kecewa, biarlah. Tidak lebih dari seminggu Agil pasti akan menerima takdirnya, pikir Trimo. Trimo ingin anaknya yang bungsu itu menjadi manusia tangguh dan merdeka, dan karenanya ia bermaksud mendidik Agil di rumah saja.
Ah, masa’ iya? Bukankah Agil ingin sekolah dan menghalang-halangi keinginan bocah ingusan itu adalah sama saja mengekang kemerdekaannya?
***
“Agil, sebelum formulir ini Bapak tandatangi, tolong jawab pertanyaan Bapak. Kepana kau ingin sekolah?”
“Untuk mencari ilmu, Pak. Bapak ini gimana sih, gitu aja ditanyakan. ”
“Kenapa tidak ke pesantren saja, di sana juga kau bisa belajar banyak ilmu.”
“Aku ingin di sekolah sini, bukan di pesantren.”
“Baiklah. Memangnya apa yang menjadi cita-citamu?”
“Aku ingin menjadi penerus Bapak.”
“Apa?”
“Menjadi Guru.”
“Perasaan kau pernah bilang ingin jadi pengusaha.”
“Tidak, Pak. Sekarang aku mantap, aku ingin jadi guru. Seperti Bapak dan Ibu.”
“Sungguh?”
“Kenapa kau ingin jadi guru?”
“Kenapa ya? Emm…”
“Sini!” Trimo menarik lengan ke luar dari ruang tempat pendaftaran. Menuntun bocah itu ke tempat yang sepi.
Sebenarnya Trimo tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar dari mulut anaknya. Agil ingin menjadi guru? Kenapa itu tidak dikatakannya dari dulu? Terus terang Trimo terharu mendengar itu. Atau, pikiran Agil telah dipengaruhi oleh Sukmi, yang kini tengah sibuk mengurus Sertifikasi? Mungkinkah Sukmi telah mengatakan kepada Agil bahwa dengan menjadi guru hidup akan terjamin? Bisa jadi. Tapi bagi Trimo, menjadi Guru bukan soal kesejahteraan, melainkan lebih pada pengabdian sebagai seorang pencerah kehidupan. 
“Jika benar kau ingin jadi guru, mulai sekarang berjanjilah…”
“Apalagi sih, Pak?” Agil tidak paham dengan perasaan yang bergemuruh di dada Bapaknya.
“Kelak, sayangilah murid-muridmu seakan-akan mereka adalah anak-anakmu. Guru bukan jabatan, melainkan panggilan hidupmu kan? Maka kau mesti ikhlas menjalani kerjamu nanti.”
“Aku juga mau menjawab begitu tadi…”
“Satu lagi, Gil. Kau mesti terus memperbaiki kualitas pribadi dan ilmumu, jika ingin muridmu berpikir dan berperilaku baik.”
“Tentu. Ah, ayah mengguruiku melulu…”

Wonosobo, 2011


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

4 comments

comments
12 April 2012 pukul 10.32 delete

Cerpennya menyentuh hati. Bagus banget Kang... Tak heran piagam penghargaan itu diterima jenengan, karena memang layak. Kunanti tulisan2 yg lain buat membuka hati dan pikiranku Kang.

Reply
avatar
12 April 2012 pukul 12.20 delete

maturnuwun Gus Irham... persoalan pendidikan memang selalu membuat saya gelisah. semoga bs terus berkarya ya, amin.....

Reply
avatar
18 April 2012 pukul 15.40 delete

kunjungan gan.,.
bagi" motivasi.,.
Orang miskin bukanlah seseorang yang tidak mempunyai uang,
tapi ia yang tidak memiliki sebuah mimpi.,
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,

Reply
avatar
19 April 2012 pukul 09.43 delete

terimakasih kunjungannya...
mimpilah yang membuat kita hidup dan bermakna untuk kehidupan, ayayaya...

Reply
avatar