Cerpen Jusuf AN
Aneh sekali. Aku datang ke rumahmu untuk ikut mengungkapkan bela sungkawa, tetapi yang aku lihat adalah wajah-wajah cerah, senyum-senyum lebar, juga suara tawa yang sesekali nyaring terdengar. Apa dosamu, Va? Kenapa mereka justru seakan terlihat bahagia karena kehilanganmu selama-lamanya.
“Kalau aku mati, apakah kau akan menangis?” Itu adalah pertanyaan yang kau kirimkan lewat pesan singkat, tepat sebulan yang lalu sebelum kau benar-benar mati.
Aku yang waktu itu tengah berada di sebuah kafe yang riuh oleh suara musik, membiarkan saja pesanmu. Lalu tengah malam, setelah seseorang mengantarkanku pulang ke kamar kosku kembali aku mengulang membaca pesanmu.
“Bahkan, pertanyaanmu ini telah membuatku menangis, Va. Tak perlulah membahas soal kematian lagi. Kita masih sangat muda,” jawabku.
Aku tahu kau belum tidur, dan beberapa saat kemudian kau cepat membalas pesanku: “Bukankah kematian adalah sesuatu yang wajar. Setiap hari ada orang mati. Kadang ribuan orang mati dalam waktu bersamaan. Sangat biasa, bukan? Apa yang pantas untuk ditangisi dari sesuatu yang sebenarnya sangat wajar dan biasa, Mei?!”
“Tidak, Va. Aku takut!”
“Ketakutan akan mati itulah yang membuat kita bertahan hidup.”
Aku tidak membalas pesan singkatmu lagi. Tetapi bukan tidak memikirkannya, Va. Sejak pesan-pesan singkatmu itu, aku menjadi lebih sering menyendiri, kehilangan nafsu makan dan berdandan. Setiap membuka koran, fokusku hanya pada berita-berita bencana, kecelakan, dan pembunuhan. Aku mencoba menghindar, tetapi berita-berita itu seakan terus mengejarku. Menyalakan televisi yang tampak olehku adalah gambar-gambar mayat dan orang-orang yang mengusung keranda. Setiap pagi aku terjaga oleh mimpi buruk. Lalu keluar rumah dan mendapati langit selalu diliputi mendung. Ya, sebagaimana mendung yang juga meliputi pikiranku.
Sontoloyo! Kalau bukan karena kau terus mengirimiku pesan-pesan singkat soal maut, tidak mungkin aku menjadi seperti ini. Cermin itu telah menampakkan wajah kusut, mata sayu, bibir kering dan kelabu, dengan rambut panjang yang tak tertata. Apakah ini adalah Mei? Mei yang cantik itu? Tidak. Aku tidak percaya melihat bayangan diriku sendiri dalam cermin. Betapa masih terngiang rayuan genit para lelaki, termasuk dirimu, tentang mata beningku, wajahku: kecantikanku. Tidak mungkin.
Tak mau terus-menerus pikiranku terkungkung dalam mendung, aku mencoba menghubungimu. Aku ingin kau membantuku mengembalikan matahari di kepalaku. Aku ingin seperti dulu, Va. Menjadi perempuan yang energik, senang dengan warna merah, bersemangat mendatangi pameran lukisan, berjoget-berdendang di tengah konser musik, nongkrong di kafe dan pulang malam dalam keadaan setengah mabuk. Aku ingin tidak takut menghadapi maut, dan belum ingin memikirkan maut. Aku ingin berterus terang kepadamu soal itu. Aku ingin menelponmu dan menangis. Tetapi nomorku tidak bisa dihubungi. Aku coba lagi esoknya dan esoknya, hasilnya tetap sama.
Kau di mana? Beberapa teman sekampus aku tanyai tentang keberadaanmu. Tapi hanya kabar simpang siur yang aku dapat. Mungkin! Semua menjawab dengan diawali kata ‘mungkin’, yang artinya tidak ada seorang pun yang tahu persis tentang keberadaanmu, kecuali Tuhan—yang juga sudah kau anggap seperti temanmu sendiri.
Lalu demikianlah aku menduga: Mungkin kau marah denganku; kau pergi ke rumah saudarahmu yang jauh di luar kota, dan sengaja mengganti nomor handphone tanpa mengabariku. Atau, kau sudah berhenti kuliah, lalu hijrah ke luar kota, dan berusaha melupakan semua tentangku. Maafkan aku, Va. Kalau aku menolak ajakanmu untuk menikah, bukan berarti aku membencimu. Kau tahu, tidak hanya kau saja yang aku tolak dan aku selalu mencoba membina hubungan baik kepada mereka yang aku tolak.
Kita masih muda, masih kuliah pula. Menikah bukan saja akan menciptakan jeruji-jeruji pagar bagi aku yang ingin bebas, tetapi juga akan membuat kita semakin kerepotan. Bagaimana jika aku hamil, punya bayi, menyusui? Puih, tubuhku yang aku jaga keindahannya ini akan membengkak dan hari-hariku akan penuh kesibukan untuk orang lain. Dan yang terpenting: aku tidak mencintaimu!
Tetapi aku menyukai sajak-sajakmu, Va. Sajak-sajak yang kau kirimkan lewat pesan-pesan singkat. Sajak-sajak cinta, luka, atau tepatnya cinta yang luka. Sajak-sajak yang masih aku simpan di kotak masuk pesan ponselku. Aku suka kata-katamu, meski kadang-kadang berlebihan saat menyanjungku.
Aku percaya kata-kata yang kau kirimkan itu mewakili perasaanmu. Tetapi aku tidak yakin benar jika itu adalah kata-kata yang kau susun sendiri. Mungkin kau telah mengutipnya dari orang lain tanpa menyantumkan nama pengarangnya, siapa tahu. Aku tidak pernah membaca puisi kecuali hanya beberapa kali ketika tidak sengaja membuka koran yang terbit hari Minggu.
“Tak ada yang mencintaimu setulus kematian.” Suatu ketika kau kirimkan pesan itu.
“Jadi kau tidak tulus mencintaku?” Aku membalas.
“Adakah kata-kata dapat membuatmu percaya?”
“Tidak. Kalau toh benar kau tulus mencintaiku, belum tentu aku bisa menerimanya.”
Sejak itulah kau berhenti mengirimiku sajak. Tapi kau terus berkirim pesan, kalimat-kalimat mencekam: Kematian! Lalu suatu saat kau menanyakan hal itu. Apakah aku akan menangis jika kau mati? Dan aku yang waktu itu baru pulang dari kafe secara tak sadar telah menitikkan air mata membacanya.
Setelah putus asa karena berkali-kali gagal menelponmu, aku kirimkan sebuah pesan ini: Temuilah aku, Va. Atau beri tahu aku di mana kau sekarang, biar aku yang menemuimu. Entahlah. Aku tidak yakin pesan itu akan sampai dan terbaca. Tapi di luar dugaan, sesaat setelah aku kirimkan pesan itu, ponselku bergetar di atas meja. Kau menelponku.
“Va…”
“Vanya sudah tidak ada, Mbak. Ini kakaknya.”
“Ke mana, Mas?”
“Kemarin pagi. Sudah dikuburkan.”
Suara itu terdengar begitu tegas. Kuat. Keras. Membuat lidahku seketika tercekat. Kepalaku tegak. Langit-langit kamarku seakan runtuh. Menimpa kepalaku. Kepalaku seperti pecah. Mataku melotot tapi pandanganku kabur.
Seketika aku menghambur, memacu sepeda motor, menembus gerimis, menyebut nama desamu pada tiga orang yang aku temui di jalan, lalu aku lintasi aspal berkelok yang terjal dan curam. Kain putih segitiga lalu terlihat terpanjang di sebuah simpang jalan, itu artinya rumahmu sudah dekat. Dan ketika melihat sebuah rumah dengan tarub yang di bawahnya berjajar meja kayu dan kursi-kursi plastik hijau aku meminggirkan motorku, yakin benar itu adalah rumahmu.
Ini kali pertama aku mendatangi rumahmu, justru ketika kau sudah tidak ada. Ah, barangkali rumah ini bukan sepenuhnya rumahmu, atau tidak lagi menjadi rumahmu sekarang. Dan kau memang tidak menyambut kedatanganku, Va, meski mungkin sejatinya kau melihatku.
Seseorang dengan peci hitam dan baju batik menyambutku dengan senyum yang ramah. Aku dipersilakan duduk di kursi plastik menghadap meja kayu yang berderet tomples kebak kue-kue kering, juga permen dalam piring. Seorang lelaki, yang wajahnya mirip denganmu tetapi tampak lebih muda, menghampiriku, lalu duduk di depanku.
“Aku tahu. Kau Mei bukan? Saya kakaknya Va.”
Aku perhatikan matanya: Jernih. Tidak tampak tanda-tanda kalau ia baru menangis atau tidak tidur semalaman. Air mukanya juga terlihat bersih dari guratan kesedihan.
“Va meninggal baik-baik, kau percaya? Ya, ia orang yang baik, meski jarang sekali pulang.”
Aku masih terdiam, sembari memperhatikan orang-orang di sekitar. Kenapa tidak aku temukan satu pun wajah yang tampak bersedih? Kalau memang benar kau meninggal baik-baik, lalu kenapa kepergianmu tidak meninggalkan tangisan?
Aku baru akan bertanya, kapan dan apa sebab kematianmu, tetapi kakakmu sudah mengatakannya. “Ada infeksi di selaput otaknya. Dulu memang Va punya riwayat gagar otak ringan, mungkin sakitnya masih ada kaitannya dengan itu. Dokter bilang meningitis. Kita juga kurang tahu pasti. Selama sembilan hari di rawat di Rumah Sakit sesekali Va tersadar, tetapi ia sudah hilang ingatan. Begitulah, malam itu tepat pukul 01.10 Va pulang ke rumah abadinya.”
Mataku gerimis.
“Tidak usah menangis. Selain kesembuhan, hanya kematian pilihan yang terbaik bagi orang-orang yang didera sakit semacam Va. Dan Tuhan telah memberikan pilihan yang terbaik untuknya, termasuk juga bagi yang ditinggalkan.”
Ya, kenapa aku harus menangis? Apakah aku telah merasa kehilanganmu? Mungkin tidak. Mungkin aku hanya menangisi diriku sendiri, menangisi ketakutanku akan mati. Tiba-tiba aku teringat pesan singkat yang pernah kau kirimkan: Tak ada yang mencintaimu setulus kematian. Tak ada? Kalau kematian benar-benar mencintaiku, kenapa aku tidak mencintainya juga?
Gerimis di mataku mendadak mereda. Lalu aku lihat kakakmu tersenyum lebar, dan aku membalasnya dengan senyuman yang barangkali terlihat begitu mekar sembari membayangkan kematianku sendiri.
Wonosobo, 2015
Catatan:
“Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian” pernah digunakan oleh Aslan Abidin (2004) sebagai judul puisi, dimuat dalam buku dengan judul yang sama. Puisi tersebut sedikit banyak telah memberikan inspirasi atas lahirnya cerpen ini.
Ditulis sambil terkenang kawan yang sudah meninggal: Vanera El-Arj. Cerpen ini pernah diimuat di Koran Merapi Pembaruan Edisi Minggu 14 Juni 2015.
Aneh sekali. Aku datang ke rumahmu untuk ikut mengungkapkan bela sungkawa, tetapi yang aku lihat adalah wajah-wajah cerah, senyum-senyum lebar, juga suara tawa yang sesekali nyaring terdengar. Apa dosamu, Va? Kenapa mereka justru seakan terlihat bahagia karena kehilanganmu selama-lamanya.
“Kalau aku mati, apakah kau akan menangis?” Itu adalah pertanyaan yang kau kirimkan lewat pesan singkat, tepat sebulan yang lalu sebelum kau benar-benar mati.
Aku yang waktu itu tengah berada di sebuah kafe yang riuh oleh suara musik, membiarkan saja pesanmu. Lalu tengah malam, setelah seseorang mengantarkanku pulang ke kamar kosku kembali aku mengulang membaca pesanmu.
“Bahkan, pertanyaanmu ini telah membuatku menangis, Va. Tak perlulah membahas soal kematian lagi. Kita masih sangat muda,” jawabku.
Aku tahu kau belum tidur, dan beberapa saat kemudian kau cepat membalas pesanku: “Bukankah kematian adalah sesuatu yang wajar. Setiap hari ada orang mati. Kadang ribuan orang mati dalam waktu bersamaan. Sangat biasa, bukan? Apa yang pantas untuk ditangisi dari sesuatu yang sebenarnya sangat wajar dan biasa, Mei?!”
“Tidak, Va. Aku takut!”
“Ketakutan akan mati itulah yang membuat kita bertahan hidup.”
Aku tidak membalas pesan singkatmu lagi. Tetapi bukan tidak memikirkannya, Va. Sejak pesan-pesan singkatmu itu, aku menjadi lebih sering menyendiri, kehilangan nafsu makan dan berdandan. Setiap membuka koran, fokusku hanya pada berita-berita bencana, kecelakan, dan pembunuhan. Aku mencoba menghindar, tetapi berita-berita itu seakan terus mengejarku. Menyalakan televisi yang tampak olehku adalah gambar-gambar mayat dan orang-orang yang mengusung keranda. Setiap pagi aku terjaga oleh mimpi buruk. Lalu keluar rumah dan mendapati langit selalu diliputi mendung. Ya, sebagaimana mendung yang juga meliputi pikiranku.
Sontoloyo! Kalau bukan karena kau terus mengirimiku pesan-pesan singkat soal maut, tidak mungkin aku menjadi seperti ini. Cermin itu telah menampakkan wajah kusut, mata sayu, bibir kering dan kelabu, dengan rambut panjang yang tak tertata. Apakah ini adalah Mei? Mei yang cantik itu? Tidak. Aku tidak percaya melihat bayangan diriku sendiri dalam cermin. Betapa masih terngiang rayuan genit para lelaki, termasuk dirimu, tentang mata beningku, wajahku: kecantikanku. Tidak mungkin.
Tak mau terus-menerus pikiranku terkungkung dalam mendung, aku mencoba menghubungimu. Aku ingin kau membantuku mengembalikan matahari di kepalaku. Aku ingin seperti dulu, Va. Menjadi perempuan yang energik, senang dengan warna merah, bersemangat mendatangi pameran lukisan, berjoget-berdendang di tengah konser musik, nongkrong di kafe dan pulang malam dalam keadaan setengah mabuk. Aku ingin tidak takut menghadapi maut, dan belum ingin memikirkan maut. Aku ingin berterus terang kepadamu soal itu. Aku ingin menelponmu dan menangis. Tetapi nomorku tidak bisa dihubungi. Aku coba lagi esoknya dan esoknya, hasilnya tetap sama.
Kau di mana? Beberapa teman sekampus aku tanyai tentang keberadaanmu. Tapi hanya kabar simpang siur yang aku dapat. Mungkin! Semua menjawab dengan diawali kata ‘mungkin’, yang artinya tidak ada seorang pun yang tahu persis tentang keberadaanmu, kecuali Tuhan—yang juga sudah kau anggap seperti temanmu sendiri.
Lalu demikianlah aku menduga: Mungkin kau marah denganku; kau pergi ke rumah saudarahmu yang jauh di luar kota, dan sengaja mengganti nomor handphone tanpa mengabariku. Atau, kau sudah berhenti kuliah, lalu hijrah ke luar kota, dan berusaha melupakan semua tentangku. Maafkan aku, Va. Kalau aku menolak ajakanmu untuk menikah, bukan berarti aku membencimu. Kau tahu, tidak hanya kau saja yang aku tolak dan aku selalu mencoba membina hubungan baik kepada mereka yang aku tolak.
Kita masih muda, masih kuliah pula. Menikah bukan saja akan menciptakan jeruji-jeruji pagar bagi aku yang ingin bebas, tetapi juga akan membuat kita semakin kerepotan. Bagaimana jika aku hamil, punya bayi, menyusui? Puih, tubuhku yang aku jaga keindahannya ini akan membengkak dan hari-hariku akan penuh kesibukan untuk orang lain. Dan yang terpenting: aku tidak mencintaimu!
Tetapi aku menyukai sajak-sajakmu, Va. Sajak-sajak yang kau kirimkan lewat pesan-pesan singkat. Sajak-sajak cinta, luka, atau tepatnya cinta yang luka. Sajak-sajak yang masih aku simpan di kotak masuk pesan ponselku. Aku suka kata-katamu, meski kadang-kadang berlebihan saat menyanjungku.
Aku percaya kata-kata yang kau kirimkan itu mewakili perasaanmu. Tetapi aku tidak yakin benar jika itu adalah kata-kata yang kau susun sendiri. Mungkin kau telah mengutipnya dari orang lain tanpa menyantumkan nama pengarangnya, siapa tahu. Aku tidak pernah membaca puisi kecuali hanya beberapa kali ketika tidak sengaja membuka koran yang terbit hari Minggu.
“Tak ada yang mencintaimu setulus kematian.” Suatu ketika kau kirimkan pesan itu.
“Jadi kau tidak tulus mencintaku?” Aku membalas.
“Adakah kata-kata dapat membuatmu percaya?”
“Tidak. Kalau toh benar kau tulus mencintaiku, belum tentu aku bisa menerimanya.”
Sejak itulah kau berhenti mengirimiku sajak. Tapi kau terus berkirim pesan, kalimat-kalimat mencekam: Kematian! Lalu suatu saat kau menanyakan hal itu. Apakah aku akan menangis jika kau mati? Dan aku yang waktu itu baru pulang dari kafe secara tak sadar telah menitikkan air mata membacanya.
Setelah putus asa karena berkali-kali gagal menelponmu, aku kirimkan sebuah pesan ini: Temuilah aku, Va. Atau beri tahu aku di mana kau sekarang, biar aku yang menemuimu. Entahlah. Aku tidak yakin pesan itu akan sampai dan terbaca. Tapi di luar dugaan, sesaat setelah aku kirimkan pesan itu, ponselku bergetar di atas meja. Kau menelponku.
“Va…”
“Vanya sudah tidak ada, Mbak. Ini kakaknya.”
“Ke mana, Mas?”
“Kemarin pagi. Sudah dikuburkan.”
Suara itu terdengar begitu tegas. Kuat. Keras. Membuat lidahku seketika tercekat. Kepalaku tegak. Langit-langit kamarku seakan runtuh. Menimpa kepalaku. Kepalaku seperti pecah. Mataku melotot tapi pandanganku kabur.
Seketika aku menghambur, memacu sepeda motor, menembus gerimis, menyebut nama desamu pada tiga orang yang aku temui di jalan, lalu aku lintasi aspal berkelok yang terjal dan curam. Kain putih segitiga lalu terlihat terpanjang di sebuah simpang jalan, itu artinya rumahmu sudah dekat. Dan ketika melihat sebuah rumah dengan tarub yang di bawahnya berjajar meja kayu dan kursi-kursi plastik hijau aku meminggirkan motorku, yakin benar itu adalah rumahmu.
Ini kali pertama aku mendatangi rumahmu, justru ketika kau sudah tidak ada. Ah, barangkali rumah ini bukan sepenuhnya rumahmu, atau tidak lagi menjadi rumahmu sekarang. Dan kau memang tidak menyambut kedatanganku, Va, meski mungkin sejatinya kau melihatku.
Seseorang dengan peci hitam dan baju batik menyambutku dengan senyum yang ramah. Aku dipersilakan duduk di kursi plastik menghadap meja kayu yang berderet tomples kebak kue-kue kering, juga permen dalam piring. Seorang lelaki, yang wajahnya mirip denganmu tetapi tampak lebih muda, menghampiriku, lalu duduk di depanku.
“Aku tahu. Kau Mei bukan? Saya kakaknya Va.”
Aku perhatikan matanya: Jernih. Tidak tampak tanda-tanda kalau ia baru menangis atau tidak tidur semalaman. Air mukanya juga terlihat bersih dari guratan kesedihan.
“Va meninggal baik-baik, kau percaya? Ya, ia orang yang baik, meski jarang sekali pulang.”
Aku masih terdiam, sembari memperhatikan orang-orang di sekitar. Kenapa tidak aku temukan satu pun wajah yang tampak bersedih? Kalau memang benar kau meninggal baik-baik, lalu kenapa kepergianmu tidak meninggalkan tangisan?
Aku baru akan bertanya, kapan dan apa sebab kematianmu, tetapi kakakmu sudah mengatakannya. “Ada infeksi di selaput otaknya. Dulu memang Va punya riwayat gagar otak ringan, mungkin sakitnya masih ada kaitannya dengan itu. Dokter bilang meningitis. Kita juga kurang tahu pasti. Selama sembilan hari di rawat di Rumah Sakit sesekali Va tersadar, tetapi ia sudah hilang ingatan. Begitulah, malam itu tepat pukul 01.10 Va pulang ke rumah abadinya.”
Mataku gerimis.
“Tidak usah menangis. Selain kesembuhan, hanya kematian pilihan yang terbaik bagi orang-orang yang didera sakit semacam Va. Dan Tuhan telah memberikan pilihan yang terbaik untuknya, termasuk juga bagi yang ditinggalkan.”
Ya, kenapa aku harus menangis? Apakah aku telah merasa kehilanganmu? Mungkin tidak. Mungkin aku hanya menangisi diriku sendiri, menangisi ketakutanku akan mati. Tiba-tiba aku teringat pesan singkat yang pernah kau kirimkan: Tak ada yang mencintaimu setulus kematian. Tak ada? Kalau kematian benar-benar mencintaiku, kenapa aku tidak mencintainya juga?
Gerimis di mataku mendadak mereda. Lalu aku lihat kakakmu tersenyum lebar, dan aku membalasnya dengan senyuman yang barangkali terlihat begitu mekar sembari membayangkan kematianku sendiri.
Wonosobo, 2015
Catatan:
“Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian” pernah digunakan oleh Aslan Abidin (2004) sebagai judul puisi, dimuat dalam buku dengan judul yang sama. Puisi tersebut sedikit banyak telah memberikan inspirasi atas lahirnya cerpen ini.
Ditulis sambil terkenang kawan yang sudah meninggal: Vanera El-Arj. Cerpen ini pernah diimuat di Koran Merapi Pembaruan Edisi Minggu 14 Juni 2015.