Sihir Mata Kiri

susuk di mata kiriCerpen Jusuf AN

Dimuat untuk pertama kalinya di Minggu edisi ke IV Agustus 2006 dengan judul “Susuk di Mata Kiri”

Sebagai perempuan, belum pernah aku mendahului ungkapkan perasaan sayang terhadap lelaki. Aku lebih memilih diam, dan sakit menahan emosi ketimbang harus menyatakan cinta lebih dulu. Ih, tak sudi! Alasannya sederhana: Harga diri. Perempuan lemah daya raga. Dan akan gampang diperdaya jika datang menawarkan diri. Dan bukakah bunga tak punya sayap untuk terbang mendekati kumbang, begitulah alam raya memberi pesan.

Memang, selama ini aku berhasil memegang prinsip itu. Apalagi sejak aku memasang susuk emas di mata kiriku. Aku semakin yakin, seumur hidup tidak akan pernah merengek mengharapkan cinta sang kumbang. Tapi malam ini, aku dikepung kebimbangan, antara tetap memegang prinsip dan menjebolnya.

Nyalang aku pandang bayangan wajah oval sawo matang dengan sepasang bola mata hitam, yang satu diantaranya telah menjelma menjadi magnet dahsyat bagi siapa saja yang memandangnya. Sekali lagi siapapun, kecuali Maun. Tidak seperti semua lelaki yang pernah aku temui, Maun sama sekali tak tersihir oleh susuk di mata kiriku. Sialnya, justeru aku yang terpikat oleh senyumnya.

Sial? Barangkali mekarnya bunga di hatiku bukan merupakan kesialan, melainkan rahmat dari Tuhan. Sebab sejak aku memasang susuk di mata kiri dua tahun lalu, tak pernah aku menyimpan perasaan cinta yang sungguh-sungguh cinta dengan lelaki-lelaki yang pernah aku pacari.

Perihal tujuanku memasang susuk sebenarnya bukan untuk mematikan bunga-bunga cinta itu. Aku memakainya karena sadar benar bahwa wajahku tak begitu rupawan. Aku sering merasa iri dengan teman-teman sepantaran yang cantik menawan. Setelah memakai susuk itu impianku memang terwujud. Tiga hari sepulangku dari dukun Marmo di lereng gunung Merapi—aku mendapat alamatnya dari koran kriminal—sengaja aku keluar rumah untuk mengetes kehebatannya. Sepanjang jalan, dari rumah hingga warung kelontong Mbok Nah ada tujuh lelaki menggodaku, tiga diantaranya telah beristeri. Aku menghitungnya dengan jari, tertawa geli dalam hati. Betapa tidak, jarak antara rumahku dengan warung Mbok Nah hanya 100 meter. Bisa kau bayangkan berapa banyak lelaki akan bersiul jika aku melintasi keramaian pasar.

"Laksmi, sungguh aku tidak tahu dengan perasaan ini. Aku memang masih SMA dan jauh lebih muda darimu, tapi tidak ada salahnya aku memintamu jadi kekasihku," ujar Doni, sehari setelah melihatku.

"Aku harap kau melupakan peristiwa lima tahun lalu, Laksmi. Aku baru sadar ternyata cintamu begitu tulus. Apa kau mau menerimaku kembali?" Aku pasti tertawa jika mengingat ucapan Sastro, lelaki yang dulu sempat menjadi pacarku.

"Laksmi, aku belikan cincin ini untukmu. Aku harap kau bisa terima cintaku. Jika kau mau, aku bersedia ceraikan isteriku," kata Sasmita begitu enteng. Terlihat cengeng.

Masih banyak lagi kalimat-kalimat tolol dari laki-laki yang datang menemuiku yang akan terlalu panjang jika aku ceritakan semua di sini.

Aku sadar benar tak baik merusak rumah tangga orang. Aku juga takut rahasia di balik mata kiriku akan terbaca tetangga iri. Karenanya aku jarang keluar rumah untuk mencegah para lelaki yang telah beristeri itu nekad menceraikan isterinya lalu melamarku. Selain itu, aku memilih satu di antara berpuluh-puluh lelaki yang datang menawarkan cinta: Aku memilih Doni. Sebab ia putra perwira polisi, ditakuti, dan kantongnya cukup basah untuk dibajak. Tak ada yang menarik selain itu dari lelaki bermata bulat dan tubuh bengkak seperti Doni.

Dua minggu bersama Doni aku merasa jenuh. "Don, kita sudahi saja hubungan kita ya? Aku tak tahan menunggu kamu lulus SMA. Malah katakanya kau akan meneruskan ke perguruan tinggi," jelasku, sembari melirik mata Doni yang lamat-lama berkaca.

"Aku tak bisa melepaskanmu begitu saja hanya karena kau tak sabar menungguku lulus perguruan tinggi, Laksmi. Sekarang juga aku siap menikahimu," balas Doni.

Doni tak pernah tahu mengapa dulu aku memilihnya dan dua minggu kemudian menghempasnya. Ia begitu bodoh karena tak bisa menerka makna dibalik ucapanku. Mau tak mau Doni akhirnya menerima keputusanku.

Setelah Doni siapa? Setelah siapa, lalu siapa? Tentu jawabannya akan panjang. Tapi hampir serupa. Dengan rentang waktu hubungan yang berbeda. Dengan Satria lima minggu, Fikry dua bulan, Frida seratus hari, Salman empat bulan sepuluh hari, Pras…. dan banyak lagi. Dalam dua tahun, sedikitnya lima belas lelaki telah aku peluk dan kuhempas.

Angin semilir masuk dari jendela kamar yang sengaja aku buka. Ingin aku pukul cermin rias berbentuk lonjong di depanku karena kesal tak bisa lepaskan selimut tebal pertanyaan yang melilit otakku. Apa kelebihan Maun, seorang Guru ngaji yang setiap sore melintas dua kali—pulang-pergi menuju-dari surau—di depan rumahku itu? Mengapa senyum kecilnya mampu menumbuhkan bermacam bunga di hatiku? Aku sangat yakin bunga-bunga itu adalah cinta. Bermekaran dan menyerbak harum setiap kali melihat senyuman Maun. Mengapa pula Maun tak tersihir oleh susuk emas yang terpasang di mata kiriku? Adakah Maun juga memasang susuk di bibirnya yang jauh lebih hebat dari punyaku? Dua pertanyaan terakhir itulah yang paling perkasa menyedak dada.

Sudah berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, setiap datang senja aku sengaja duduk di beranda, menunggu Maun berangkat ke surau. Ma'un, lelaki dua puluh empat tahun yang dulu pernah sekelas denganku di bangku Sekolah Dasar, selalu saja melempar senyumnya. Kadang ditambahi beberapa patah sapa, "Mari, Mbak Laksmi…." Atau, kalau tidak, "Sendirian saja, Mbak Laksmi?" Untuk pertanyaan terakhir itu aku sering menjawab, "Iya nih, Mas." Dan tanpa sepengetahuan Maun aku berkata dalam hati, "Aku cipta ruang kosong di hatiku ini untukmu. Masuklah, Maun! Hatiku rindu." Belum berani aku katakan langsung kalimat itu. Siapa tahu Maun juga menyimpan perasaan sama seperti aku tapi malu mengatakannya. Tapi sikap Maun tetap tak berubah setelah hari demi hari berikutnya berlalu. Ia tak pernah sengaja menemuiku meski aku selalu mengharapkan kedatangannya dan kadang menawarinya mampir. Getar asmaraku justeru semakin mengguncang.

Diam-diam aku juga sering mengamati Maun dari kejauhan ketika ia tengah mengajar anak-anak TPA. Sorot mataku berusaha membisiki telingnya dengan cinta, tapi selalu mentah. Dan mungkin sekarang sudah waktunya aku berterus terang.

Bagaimana dengan harga diriku? Begitulah, aku kini yakin benar bahwa asmara sanggup membunuh apa saja termasuk prinsip yang dulu aku pegang.

Aku keluar kamar, duduk di beranda menunggu Maun pulang dari surau. Baru lima menit aku duduk Maun telah nampak, sekitar lima puluh meter di depan sana. Kali ini ia mengenakan sarung coklat kotak-kotak dan hem berwarna krem lengan panjang serta kepala tertutup peci hitam. Aku telah bangkit dari kursi rotan, melangkah mendekat ke ruas jalan.

"Mas Maun, mampirlah dulu. Baru pukul lima. Maghrib masih lama," sapaku ramah, sembari menatap wajahnya yang bersih dan bening. Aku ulurkan tangan mengajaknya salaman.

"Terimakasih, Mbak Laksmi." Ma'un melempar senyumnya yang dengan cepat aku ditangkap. Dengan cepat pula dadaku bergetar karenanya. Tanganku masih terjululur menunggu tangan Maun, cukup lama. Aku kira Maun tak akan berani menyentuhnya, karena takut dosa. Tapi dugaanku keliru. Seakan ragu-ragu Maun mengangkat lenganya hendak meraih tanganku. Jantungku kian kencang berdebar. Sebab, begitu ia memegang telapak tanganku, aku akan menggenggamnya erat, lalu mengatakan perasaanku dengan jujur.

Tik-tak detik dari Ma'un mengangkat tangan hingga menyentuh tanganku adalah waktu paling menegangkan seumur hidupku. Prinsip yang telah aku bangun sedemikian kokoh itu sebentar lagi akan jebol. Semalam, telah aku susun kalimat paling romantis untuk mengungkapkan perasaan ini. Tapi, sungguh celaka! Ketika tangan kami bersalaman, dan belum sempat aku ucapkan kalimat romantis itu, sebutir emas kecil luruh dari kelopak mata kiriku, jatuh ke tanah. Aku yang kaget luar biasa, buru-buru melepas tangan Maun dan berlari masuk ke dalam rumah.

***

Kekuatan macam apa yang tersimpan di telapak tangan Maun hingga susuk itu luruh dari mata kiriku. Bukankah ia hanya seorang pengajar TPA yang tidak tamat SMA? Adakah ia telah berguru dengan seorang sakti selama dua tahun kepergiannya ke Jawa Timur? Entah.

Tengah malam, aku membawa senter ke ruas jalan mencari sebutir emas yang jatuh itu. Tapi aku tak menemukan apa-apa selain jejak sendal Maun. Mungkinkah Maun telah mengambil susuk emas itu. Jika benar, aku tinggal menunggu saat-saat paling memalukan. Saat di mana mulut orang-orang dipenuhi cerca dan cibiran. Ah, semoga Maun bisa menjaga rahasiaku.

Senja berikutnya aku hanya mengintip lewat celah jendela, dan tidak mendapati Maun berangkat menuju surau. Senja berikutnya dan berikutnya sama, tak aku lihat Maun melintas di depan rumahku. Sesuatu yang mengejutkan justeru terjadi di senja seminggu kemudian: Orang tua Maun datang melamarku menjadi memantu.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »