Perempuan Yang Ingin Gelengkan Kepala


Cerpen: Jusuf AN
Bayang-bayang pohonan telah rebah ke timur, kian lama kian panjang. Bumi perlahan meremang. Ia menutup kios bunganya dan berjalan pulang. Serakan dedaun kelengkeng di halaman rumahnya memberi sambutan yang meriah. Sejenak ia menggerayangi halaman rumahnya lalu bergegas membuka pintu. Di ruang tengah ia mendapati Fajar, anak bungsunya, tertidur di sofa. Mainannya berserakan di mana-mana. Farid dan Fatih, kakak Fajar, tak nampak di rumah. Di meja makan, nasi dan lauk-pauk yang ia masak tadi pagi tak tersisa lagi. Menuju ruang belakang, ia mendapati setumpuk piring gelas kotor dan seabreg pakaian penuh lumpur. Ia hanya tersenyum. Meminum segelas air putih, duduk sebentar membelai Fajar, ia kemudian memulai mencuci gelas-piring.
Dadanya berdesir ketika teringat bahwa malam nanti Ghani akan datang meminta jawaban. Sebentar-sebentar ia terdiam dan meggeleng. Ragu. Bagaimana mungkin ia menolak lamaran Ghani, lelaki yang selama ini telah banyak membantunya? Betapa semua akan berantakkan jika ia menolak lamaran lelaki kaya bersitri dua itu? Ia ingin marah, ketika memikirkan hal itu. Tetapi ia sadar, marah tak akan menyelesaikan masalah. Ah, kenapa selama ini ia selalu menghindar untuk memikirkan itu dan membiarkan waktu berjalan. Tinggal beberapa jam lagi Ghani akan datang, ia mesti tentukan keputusan.
Di luar matahari telah terbenam. Sebentar lagi Fajar pasti akan bangun, Fatih dan Farid juga akan pulang. Maka ia harus segera menyiapkan makan malam. Sementara pikirannya masih diselimuti keraguan. Dadanya dipenuhi asap kegetiran. Barangkali jika ia berkeputusan menolak lamarah Ghani, ia akan diusir dari rumah yang sudah hampir satu tahun ia tempati, dan Ghani juga akan memaksanya untuk segera mengembalikan sejumlah uang yang telah ia gunakan untuk membuka usaha kios bunga. Jika benar begitu, duh, sungguh luka hidupnya bertambah melepuh. Tapi jika ia menerimanya sebagai suami?  
Tidak! Ia mendesis tiba-tiba. Kenangan masa lalunya kembali menggigit jantungnya, bagai ribuan jarum suntik menusuk-nusuk. Ngilu dan perih rasanya. Apalagi tadi pagi secara tak sengaja Fajar telah membongkar masa lalunya yang suram.
"Kemarin Ibu Guru Helmi tanya, di mana ayah Fajar sekarang."
"Ayah?"
Fajar mengangguk.
"Fajar jawab apa sama Ibu Guru?"
"Fajar diam saja."
"Diam?"
"Fajar 'kan tidak tahu di mana persisnya ayah sekarang? Kata Ibu ayah ada di Jakarta, kata Kak Farid ayah ada di Bali, Kak Fatih bilang ayah lagi di luar negeri. Fajar ‘kan bingung mana yang benar!"
Ia terdiam dan segera menghindar. Ah, Fajar, anak yang lahir 5 tahun silam itu tentu tak tahu jika kata-katanya telah membuat mata ibunya berembun, telah membongkar kenangan pahit yang selama ini coba ia pendam dalam-dalam.
Ia mengusap matanya yang sembam. Betapa menyakitkan mengingat senja jahanam setahun silam. Senja di mana surat gugatan dari kejaksaan yang ditujukan untuk Farhan, mantan suaminya, ia terima. Mulanya ia sama sekali tak percaya ketika suaminya dituduh telah menggelapkan uang kantor lebih dari satu milyar Rupiah. Betapa tidak? Selama ini keluarganya selalu hidup sederhana. Tak ada mobil mewah dan perhiasan gemerlapan. Menu masakan pun seadanya: lalapan, tempe, tahu, sesekali ikan gurami  atau daging sapi. Ia tetap mencoba tak percaya ketika persidangan demi persidangan di pengadilan berjalan dan ia mulai melihat perubahan  pada wajah suaminya. Wajah yang dulu terlihat segar dan cerah berubah merah gundah. Langit seolah runtuh saat palu putusan berdebam di meja kuasa. Ketukan yang nyaring, tetapi di telinganya terdengar seperti gelegar petir . Ketukan yang kemudian mengantarkan suaminya mendekam di penjara.
Tentu keputusan hakim salah besar, pikirnya waktu itu. Tetapi begitu ia menemui Farhan di rumah tahanan barulah ia percaya bahwa keputusan hakim ada di pihak yang benar—Farhan sendiri yang mengakuinya. Lantas, kemana uang sebanyak itu Farhan belanjakan? Ia bermaksud menanyakan itu tetapi Farhan terlebih dulu melempar kata yang tidak ia sangka-sangka: cerai! Seketika air matanya berderai. Ia berlari pulang dengan tubuh gontai. Setibanya di rumah, dilihatnya Farid dan Fatih tengah mengamuk, mengacak-acak kamar dan merobek-robek foto Farhan. Sementara Fajar tertidur pulas di kamar, tak tahu menahu perihal kejadian yang menimpa ayahnya.
"Rumah ini akan segera disita. Kita mesti segera pindah," terangnya pada Farid dan Fatih dua hari kemudian, setelah ia mendatangi Ghani, lelaki berjambang tipis yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Dari Ghani ia disuruh menempati sebuah rumah miliknya yang tidak terpakai. Dari Ghani ia juga diberi pinjaman modal untuk membuka usaha kios bunga, yang tak kecil jumplahnya.
***
Harum, begitu ia memberi nama kios bunganya, dengan nama panggilannya sendiri. Selain mencintai bunga, dulu namanya juga sempat harum di sekolah. Ia diberkati otak yang cerdas dan karena itulah orang tuanya menghendakinya untuk melanjutkan ke jenjang kuliah. Ia mengambil jurusan Perbankan, karena bercita-cita menjadi pegawai bank. Ia begitu rajin kuliah dan membaca buku. Dan tak heran jika banyak dosen memujinya sebagai mahasiswa yang hebat, termasuk Farhan, lelaki yang ia temui di taman kampus yang kelak begitu ia cintai—dan kini begitu ia benci.
Dulu banyak perusahaan perbankan telah menerima lamaran kerjanya, tetapi Farhan melarangnya. Ia patuh. Mengangguk. Toh Farhan lelaki yang mapan dan ia tak perlu repot membantunya mencari uang. Begitulah, sehari-harinya ia diam di rumah. Mempersiapkan makan, mencuci pakaian, nonton tv, dan merawat bunga-bunganya di halaman. Bunga-bunga itulah yang mengisi botol-botol sepi di dadanya ketika Farhan bekerja. Sampai kemudian Fatih lahir, dan ia mulai sibuk menyusui. Saat Fatih berumur tiga tahun ia sempat mengatakan kejenuhannya diam di rumah. Farhan hanya diam, pertanda tak setuju dengan keinginannya untuk bekerja. Sampai ia kembali hamil, melahirkan, dan kembali sibuk mengasuh dan menyusui Farid. Ketika Farid mulai bisa berjalan sendiri ia kembali menemui Farhan agar diijinkan untuk bekerja. Kebutuhan mulai menumpuk. Tapi Farhan mengatakan, bekerja adalah urusan laki-laki. Bahkan ia dengar sendiri jika Farhan akan naik jabatan, tak perlu risau dengan masalah kebutuhan. Ia hanya mengangguk, kemudian membenamkan ijazahnya di lemari baju dan tak pernah lagi menengoknya, sampai ia menyadari ijazah itu hilang entah di mana. Sejak itu, ia membuang cita-citanya untuk bekerja sebagai pegawai bank, sampai sekarang.
***
Dari ruang tengah terdengar Fajar berteriak, membuyarkan lamunannya. Ia usap matanya yang sembab dan segera berlari menghampiri. Dengan senyuman ia mendekap Fajar dan menciumi pipinya, gemas. Tetapi senyumnya seketika memudar, ketika Fajar tiba-tiba bercerita bahwa tadi siang gurunya kembali menanyakan tentang ayahnya. Perempuan itu lama terdiam, tak menanggapi cerita Fajar. Kemudian, ia mendongak, mengamati jarum jam dinding yang seakan tergesa berputar. Pukul enam. Mungkin Ghani akan datang sebentar lagi. Sementara ia masih ragu tentukan keputusan.
“Apa Ayah akan pulang saat Lebaran?” tanya Fajar, lugu.
“Memangnya kenapa?”
“Ayah pernah janji, jika Fajar puasa sebulan penuh, Fajar akan dibelikan tamiya seperti punya Hilda.”
Hanya tamiya, pikirnya. Sementara Farhan telah mengabaikan janji setia padanya. Wadagnya serasa beku. Pikirannya melesat-lesat tak tentu.
Pintu depan terketuk. Pelan. Menyusul suara salam.
“Siapa?” tanyanya.
“Saya,” suara samar terdengar di luar pintu.
Ia kembali mendongak, membaca jarum jam yang berputar kian kencang. Di luar gelap mengental. Malam? Ya, ini sudah malam, dan Ghani berjanji akan datang malam ini, menagih jawaban. Lama ia bisu, di pangkuannya Fajar menunggu pula tanggapan atas ceritanya. “Sebentar,” katanya sembari mengangkat Fajar dari pangkuannya dan mendudukkannya di sofa. Ia berjalan setengah berlari menuju ke kamar. Sembari mengenakan kerudungnya, ia keras berpikir. Apa yang kupilih? Ya atau tidak atau ya atau tidak atau? Hanya dua pilihan sebenarnya, itu pun bisa dibahasakan tidak dengan ucapan, tetapi anggukan atau gelengan. Tetapi baginya dua pilihan itu seolah menjadi ribuan.
Suara ketukan pintu depan masih terdengar.
Setelah mengatur nafas, ia melangkah pendek-pendek menuju ruang depan. Membuka pintu, ia tersintak. “Hah!” Fatih dan Farid menghentakkan suara.
“Kalian ini sukanya menggoda.” Ia balas membentak dua anaknya sembari mengelus dadanya yang turun naik mengatur nafas. Dua bocah lelaki itu hanya tertawa cekikikan. Dan Fajar, yang tadinya duduk ngungun di sofa ruang tengah berlari menghampiri mereka dan ikut menertawai ibunya yang baru saja terkena tipuan mainan. Seketika perempuan beranak tiga itu ikut tertawa—sampai menetes air matanya—sembari menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan tingkah anak-anaknya.
Ingin rasanya ia terus tertawa bersama ketiga anaknya sampai pagi. Keinginan yang barangkali tak berlebihan. Tetapi pintu depan kembali terketuk, di tengah gelak tawa mereka yang bercampur batuk. Suara ketukan yang keras, dan seolah tergesa-gesa. Suara ketukan yang lebih mirip dengan gedoran. Tawa mereka berhenti seketika, berganti rasa was-was, tepatnya ketika suara dehem seorang lelaki terdengar di luar. Mereka hafal benar dengan bunyi deheman di balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan Ghani!
Sementara ibu beranak tiga itu belum bisa menentukan jawaban yang dirasa paling tepat untuk Ghani. Mengangguk atau menggelengkan kepala? Ia baru sadar kalau selama ini dirinya selalu menganggukkan kepala. Dan ia menyesal karena anggukan kepala yang dulu berkali-kali ia lakukan di depan Farhan ternyata telah membawanya pada episode panjang kepedihan. Ingin rasanya, di depan Ghani nanti, ia menggelengkan kepala, meski hanya sekali putaran. Tetapi entahlah. Ia rasakan dirinya terjebak di sebuah gang buntu sementara di belakangnya seekor singa bersiap melumatnya. Kepalanya terlampau berat untuk sekadar dianggukkan atau digelengkan. Lantai yang ia injak mendadak terasa panas, menjalar ke seluruh tubuh, membakar dadanya yang bergemuruh. Sebutir keringat tergelincir dari keningnya dan jatuh mengenai ujung jempol kakinya. Ia menoleh, memandangi satu-satu wajah anak-anaknya yang polos dan lucu-lucu. Memandang wajah mereka ia ingin tertawa sekaligus menangis. 
Wonosobo, 2007

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 comments

comments
Anonim
27 Juli 2011 pukul 23.36 delete

Sepertinya cerpen tentang poligami...
suami poligami itu masuk surga lho.
kenapa?
karena ia lebih takut Allah dari pada istri.
haha...kidding strory..

Reply
avatar
7 September 2011 pukul 06.30 delete

agan Anonim bisa saja...
tapi lumayan juga candanya...

Reply
avatar