Cerpen Jusuf AN
LAMPU-lampu telah menyala ketika Waska berteriak memanggil Salma. Digedornya pintu kamar berkali-kali. Tetap tak ada respon dari dalam. Tanpa pikir panjang, sekuat tenaga Waska mendobrak daun pintu dengan munyurukkan bahunya. Ambruk. Mata Waska yang merah menangkap sprei, dua buah bantal, satu guling; tertata rapi; terbungkus kain coklat kembang-kembang. Jendela kamar melongo. Tak nampak Salma, anak perempuannya ada dalam kamar itu.
"Salma…" Waska berteriak lagi. Tergopoh-gopoh menuju dapur, kamar mandi sunyi; gemericik air menetes pelan dari kran. Salma minggat?
Istri Waska yang baru pulang ta'ziah sama tercengang setelah mendengar kabar kaburnya Salma. Begitupun bayi dalam gendongannya, anak kandung Salma mendadak menangis. Kedua kakak lelaki Salma, setelah ditelepon juga kaget. "Salma pergi? Tidak! Ia tidak mampir ke mari."
Tetangga dekat rumah telah ditanya. Kebanyakan menggeleng, sebagian menjawab, sebelum maghrib Salma berjalan sendirian ke utara.
Ke utara berarti ke arah kota: pasar, deretan toko, dan pedagang kaki lima. Bahkan, bisa jadi Salma telah melintasi pasar lalu menghilang. Dan bisa dibayangkan begitu susahnya andai Waska mencarinya.
"Salma memang sudah gila" Wajah Waska menekuk galau. Sepuluh jarinya menggamit sofa. Matanya menyembul seolah hendak meloncat ke lantai.
"Sabar, Pak. Sabar!"
"Sabar-sabar! Sudah berapa kali Salma bikin malu keluarga kita, Bu? Berapa?! Tiga tahun lalu, Ibu masih ingat?" Waska diam sebentar sembari mengambil nafas pendek. "Sama di bulan Januari seperti saat ini."
"Iya, Pak, Ibu ingat. Tapi kan Salma…"
"Alah! Ibu mesti mau mbela anak itu. Bu, apa yang harus kita jelaskan pada Pak Rosidi kalau Salma tidak kembali besok. Edan!"
"Mungkin Salma kesal, Pak."
"Kesal?! Mestinya ia senang ada orang yang melamarnya. Apalagi orang seperti Pak Rosidi."
***
SEMINGGU lalu, saat fajar taburkan kelembutan, kalimat Waska membuat dada Salma tersedak bagai ditikam beribu tombak.
"Pak Rosidi kemarin datang melamarmu, Salma," ujar Waska datar. "Apa kau bersedia menerimanya?" Salma menunduk, tak tahu harus menjawab apa. "Bagaimana, Salma?" tanya Waska lagi. Salma masih bisu. "Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang." Salma tetap tak bergeming, mirip sebuah patung perempuan dengan rambut tersanggul, berpose duduk menunduk.
"Bapak anggap kau setuju kalau hanya diam seperti patung?"
Kontan Salma tertegak, menatap nanar lelaki paruh baya yang semua rambutnya nyaris dipenuhi uban.
"Boleh saja Bapak menganggap tiga puluh tahun itu masih muda. Tapi sama sekali tak ada keinginan sedikit pun bagiku untuk menikah, Pak."
"Salma!!" suara Waska meledak seperti guntur. "Sampai kapan kau akan hidup seperti ini? Kau mesti menutup aib yang kau buat. Kau tak boleh hidup semau-maumu jika masih tinggal di rumah ini dan menganggap lelaki yang berbicara di depanmu adalah bapakmu. Kau musti menerima lamaran itu, Salma! Toh Pak Rosidi tidak jelek, juga tidak begitu tua. Ia masih sangat pantas jadi suamimu. Pegawai negeri lagi. Hidupmu pasti akan terjamin."
Butiran air hangat meleleh dari pojok mata Salma.
"Pikir baik-baik perkataan Bapak! Senin depan Pak Rosidi akan datang lagi ke sini."
Tujuh hari berjalan: matahari bergulir mengelilingi bulan, di selingi hujan dan petir, irama langit di musim hujan. Sungguh, Salma tak ingin lagi membuat hati bapaknya kecewa. Tapi, bagaimana mungkin ia menerima lamaran itu, sedang hati sama sekali tak punya keinginan untuk menikah. Ia masih mencintai Tarji meski sekarang kekasihnya itu telah mati. Ah, betapa pahitnya ketika Salma mengingat kembali peristiwa tiga tahun lalu.
"Maaf beribu maaf, Pak. Kedatanganku ke sini untuk melamar Salma menjadi isteriku."
"Kau bercanda Dek Tarji. Ha..ha.., ck-ck-ck." Jawab Waska dengan nada gurau.
"Tidak, Pak. Aku serius."
"Oya? Apa anakku mau denganmu?"
"Silahkan Bapak tanya sendiri Salma. Tapi aku berani melamarnya juga karena atas saran dari Salma, Pak."
"Apa?!" Mata Waska menyala. Keringat dingin mengucur dari keningnya. Waska bangkit dari duduknya menemui Salma di kamar yang tengah dag-dig-dug menanti jawaban lamaran Tarji. "Salma! Ternyata diam-diam kau pacaran dengan Tarji, pengangguran itu." Suaranya pelan, tapi dari sorot matanya menandakan Waska sangat geram. "Mau dikasih makan apa anakmu nanti. Cinta? Heh! Apa cinta akan mengenyangkan perutmu?" Salma hanya menunduk. Tak lama kemudian Waska kembali menemui Tarji di ruang tamu.
"Maaf Dek Tarji, kata Salma, ia cuma bercanda waktu itu. Ia belum memikirkan pernikahan. Sungguh. Ah, Salma masih terlampau muda. Jadi maaf…"
Sebenarnya Salma memang telah menyuruh Tarji untuk datang melamarnya. Ia merasa jengah dengan hubungan asmara sembunyi-sembunyi. Ia ingin segera resmi. Salma sudah jelaskan pada bapaknya jika Tarji bukan lelaki pemalas. Ia pasti akan bekerja setelah menikah nanti. Bahkan Salma sangat yakin, kelak ia dan Tarji akan hidup bahagia. Tapi Waska tetap menolak. Waska tak mau Salma tinggal di rumah berdinding papan kayu milik orang tua Tarji. Ia ingin anaknya bersuami orang yang mapan. Bukan seperti Tarji.
Pastilah Salma kecewa dengan keputusan Waska. Meski begitu, tali asmara Salma dan Tarji tetap terjalin. Bahkan semakin kuat. Sampai kemudian Salma tak menyangka ketika tahu orok bayi telah bersemayam dalam perutnya, begitu pun Tarji.
Tapi Tarji bukanlah laki-laki pecundang yang akan menghindar dari kesalahan. Tarji tak ingin perut ketika perut Salma kian membesar akan menghembuskan aroma busuk percintaan ke lubang hidung para tetangga. Maka, dengan berdebar ia datang menemui Waska dan menjelaskan semuanya. Barangkali Waska akan mengerti dan memaafkannya.
"Edan! Sinting!" Tubuh Waska gemetaran setelah mendengar penjelasn Tarji. "Bejat. Minggat dari rumah ini sekarang."
Tarji mencoba tenang. Ia merasa bersalah dan ingin memperbaiki kesalahannya. Tapi mendadak Waska beranjak menuju dapur, lalu kembali lagi dengan tangan menggenggam parang. Kontan Tarji berlari keluar.
Tentu Salma bertambah sedih. Tapi yang paling membuat hidupnya terasa gelap adalah peristiwa beberapa hari setelah itu. Sebuah kabar yang datang menjelang malam itu hingga kini terus menggaung di telinganya. Kabar itu membuatnya setengah gila. Betapa tidak. Hampir-hampir ia pingsan saat bapaknya mengatakan bahwa Tarji tewas dengan luka bacok di kepala, entah siapa pembunuhnya.
Setiap kali ia teringat semua itu, air matanya pastilah akan mengucur. Siapa salah? Bapak, Salma, atau Tarji? Apakah ada hubungannya antara kematian Tarji dan kehamilannya. Di manakah awal dari kisah dukanya? Cinta? Berahi? Hingga anak perempuan dalam perut Salma lahir, bahkan sampai kini, Salma tak pernah bisa menjawab rentetan pertanyaan itu. Dan kini ia kembali dijejali sebuah pilihan yang membingungkan. Haruskah ia menerima lamaran Rosidi, menjalani hidup yang baru, meski sama sekali tak ada cinta dengannya? Ingin rasanya Salma membahagiakan Waska, menuruti apa maunya. Tapi apakah Tarji rela dengan pernikahannya nanti?
Mendadak Salma merasa teramat rindu dengan Tarji. Maka saat itu pula, ketika senja telah tua, diam-diam ia meloncat lewat jendela, berjalan ke utara, mendatangi makam Tarji, mencari jawaban atas semua pertanyaannya sendiri.
***
MALAM merangkak di belukar paling kelam. Langit mendung menyimpan wajah rembulan dan bebintang dalam tempat yang begitu rapat. Lampu-lampu jalan dan beberapa lampu beranda jatuh berpendaran di komplek perumahan.
"Ternyata kau masih ingat kuburan orang sinting itu?!" Tak disangka Waska telah berhasil menemukan Salma.
"Aku tidak bisa lupa, Pak!"
"Sudah tiga tahun kau masih tidak bisa lupa? Kau harus bisa melupakannya, Salma. Harus! Dan kau akan mengawali hidup barumu nanti. Hidup yang bahagia." Mereka berdua telah melewati jenjang ruang tengah dan berhenti di depan pintu kamar tengah yang rapat tak bercelah.
"Tapi, Pak…"
"Tidak ada tapi-tapian. Besok pagi Pak Rosidi datang kemari dan kau harus menemuinya." Waska membuka pintu dan mendorong Salma ke dalam lalu menguncinya dari luar.
Rasa gamang masih mengepung dada Salma. Perempuan itu belum menemukan jawaban apa pun, meski telah lama bersimpuh di depan makam Tarji. Bagaimana mungkin Tarji yang telah mati akan menjawab kebingungan Salma? Entahlah, tapi Salma percaya Tarji akan menyampaikan pesan padanya. Jika tidak lewat alam nyata mungkin melalui mimpi. Mimpi? Dan Salma pun mencoba tidur, berharap menemukan Tarji di semak mimpi.
Jogjakarta, 2006