Jusuf AN
Seorang teman menanyakan sesuatu yang cukup membuat saya terkejut. Tentang novel terakhir saya: Kailasa, kenapa berbeda dengan novel-novel saya sebelumnya? Sebenarnya saya ingin balik bertanya, apakah si Bung sudah baca semua novel saya. Tetapi saya sudah telanjur termangu, lalu menjawab sekenanya. “Entahlah.” Barulah setelah teman saya pulang, saya kembali terusik dengan pertanyaan itu. Sialan!
Ya, kenapa novel Kailasa berbeda dengan novel saya yang lain? Kenapa saya tidak penah terpikirkan pertanyaan itu sebelumnya?
Novel pertama saya berjudul Jehenna (2009), mengisahkan pengembaraan dan perjuangan seekor Jin menghasut manusia. Lalu Burung-burung Cahaya (2010), yang sebenarnya adalah sekuel Jehenna, mengisahkan para santri penghafal al-Qur’an. Tahun 2012 terbitlah Mimpi Rasul, yang kemudian disambung dengan Pedang Rasul tahun berikutnya. Kedua novel terakhir itu, diisi tokoh-tokoh orang kota dengan kisah cinta yang konyol sekaligus mengharukan, juga dialog-dialog religius.
Sampai di sini saya cukup mafhum di mana letak perbedaannya. Empat novel saya sebelum Kailasa memiliki tebal lebih dari 400 halaman, betebaran diksi islami, di dalamnya hidup manusia dan jin yang gelisah memikirkan hubungan mereka dengan Tuhan. Berbeda dengan Kailasa, anak kelima saya itu. Ia begitu tipis, tak lebih dari 200 halaman, dengan tema dan gaya bahasa yang berbeda dengan 4 kakaknya. Walau begitu, ia anak saya juga. Dan saya tidak perlu gumun. Bukankah kita sering tidak percaya dengan masa kanak-kanak? Demikian pula dengan tulisan-tulisan kita pada masa lampau.
Benih Kailasa sendiri sebetulnya sudah terkandung sejak cukup lama, sebelum kemudian saya besarkan dengan kata, hingga akhirnya sempurna mewujud jalinan cerita.
Kailasa: novel tentang pertanian, kehidupan para petani, dengan tokoh utama seorang sarjana pertanian, benar-benar telah membuat saya mesti memeras pikiran. Kuliah saya di Fakultas Syari’ah dan Pendidikan Islam, dan sudah bertahun-tahun saya tidak pernah lagi ke sawah-ladang. Bagaimana mungkin saya bisa menghidupkan kisah dan bahkan memberi ruh dalam Kailasa sedang saya sendiri, sebelumnya, nyaris buta dengan masalah yang saya tulis?
Di situlah menantangnya sebuah proses penciptaan karya. Bukan hanya membeberkan yang sudah kita tahu (pengalaman langsung), tetapi sekaligus memaksa kita menjelajah ke dalam, menyingkap detail-detail tersembunyi, untuk kemudian digodok, disaring, direnungi, diramu dan dibumbu.
Kita tahu, sains dan prosa fiksi sebenarnya sudah menjalin hubungan sejak lama, meski hubungan mereka jarang diketahui. Keduanya diam-diam saling memberi, mengisi, menginspirasi. Banyak penemuan-penemuan sains yang terinspirasi oleh fiksi, dan begitu pula sebaliknya: kemajuan sains dan teknologi bisa dijadikan sumber ide yang tak ada habisnya bagi penulis fiksi.
Novel Kailasa, tentu saja tidak murni fakta (bahkan Anda tidak akan pernah menemukan Desa Kailasa di Dieng sebagaimana tersebut dalam novel), tetapi juga tidak lahir dari imajinasi thok! Jika kemudian ditemukan diksi-diksi ilmiah, bahkan di akhir novel terdapat glosarium, bukan karena novel itu diterbitkan oleh Glosaria, dan penulisnya sok ilmiah!
Saya sendiri masih ragu menyebut Kailasa sebagai science fiction. Tetapi novel tersebut memang dibangun berdasarkan data dan fakta ilmiah, baik dari sisi sejarah maupun sains. Saya memang pernah membuat tulisan panjang tentang prosa fiksi sains (bisa anda lihat di fiksi-sains.blogspot.com), dan mungkin dari situlah saya tergerak untuk menulis novel dengan gaya soft science fiction. Entahlah, merunut jejak ide kadang lebih sulit ketimbang mencari sebuah jarum di tumpukan utang. hehe
Ada kisah lain, begini: suatu hari saya pernah ditikam oleh teman sekantor yang membeli novel saya: “Novelnya kok ada saru-nya. Hem, tadinya beli buat anak, tahu ada saru-nya akhirnya nggak jadi?”
Terus aku kudu piye?
Anda yang melek sastra mungkin akan membela saya dengan mengucap dalil: “Yang saru iku pikiranmu, Lek!” Ya, saya tidak pernah berniat nulis saru, tetapi begitulah tanggapan pembaca. Saya bisa apa?
Sejak awal, bahkan saya sudah menginginkan novel Kailasa nanti bisa dibaca oleh anak-anak sekolah, tetapi juga tetap enak dibaca oleh mahasiswa sastra. Tapi saya tidak ingin menulis cerita anak atau remaja, itu mungkin lebih sulit. Saya ingin menulis cerita dewasa dengan bahasa yang bisa dipahami orang awam sastra. Anda tahu, ini jauh lebih sulit ketimbang menulis sakkarepmu.
Akibat Faktor keterbacaan harus benar-benar saya perhatikan dan karenanya saya kehilangan keliaran berbahasa. Tak apa: saya menganggap ini bagian dari eksperimentasi juga, nyaris sama ketika saya menulis novel Jehenna.
Pada akhirnya, berkat Ramat Tuhan, Kailasa selesai juga. Tetapi ia mesti bersabar, karena menginjak usia tiga tahun ia baru keluar dari percetakan untuk kemudian berbincang dengan pembaca yang budiman. Tak apa. Sebagai orang tua saya cuma bisa mendoakan, semoga ia menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat bagi pembaca.
Wonosobo, 7 Maret 2016
Seorang teman menanyakan sesuatu yang cukup membuat saya terkejut. Tentang novel terakhir saya: Kailasa, kenapa berbeda dengan novel-novel saya sebelumnya? Sebenarnya saya ingin balik bertanya, apakah si Bung sudah baca semua novel saya. Tetapi saya sudah telanjur termangu, lalu menjawab sekenanya. “Entahlah.” Barulah setelah teman saya pulang, saya kembali terusik dengan pertanyaan itu. Sialan!
Ya, kenapa novel Kailasa berbeda dengan novel saya yang lain? Kenapa saya tidak penah terpikirkan pertanyaan itu sebelumnya?
Novel pertama saya berjudul Jehenna (2009), mengisahkan pengembaraan dan perjuangan seekor Jin menghasut manusia. Lalu Burung-burung Cahaya (2010), yang sebenarnya adalah sekuel Jehenna, mengisahkan para santri penghafal al-Qur’an. Tahun 2012 terbitlah Mimpi Rasul, yang kemudian disambung dengan Pedang Rasul tahun berikutnya. Kedua novel terakhir itu, diisi tokoh-tokoh orang kota dengan kisah cinta yang konyol sekaligus mengharukan, juga dialog-dialog religius.
Sampai di sini saya cukup mafhum di mana letak perbedaannya. Empat novel saya sebelum Kailasa memiliki tebal lebih dari 400 halaman, betebaran diksi islami, di dalamnya hidup manusia dan jin yang gelisah memikirkan hubungan mereka dengan Tuhan. Berbeda dengan Kailasa, anak kelima saya itu. Ia begitu tipis, tak lebih dari 200 halaman, dengan tema dan gaya bahasa yang berbeda dengan 4 kakaknya. Walau begitu, ia anak saya juga. Dan saya tidak perlu gumun. Bukankah kita sering tidak percaya dengan masa kanak-kanak? Demikian pula dengan tulisan-tulisan kita pada masa lampau.
Benih Kailasa sendiri sebetulnya sudah terkandung sejak cukup lama, sebelum kemudian saya besarkan dengan kata, hingga akhirnya sempurna mewujud jalinan cerita.
Kailasa: novel tentang pertanian, kehidupan para petani, dengan tokoh utama seorang sarjana pertanian, benar-benar telah membuat saya mesti memeras pikiran. Kuliah saya di Fakultas Syari’ah dan Pendidikan Islam, dan sudah bertahun-tahun saya tidak pernah lagi ke sawah-ladang. Bagaimana mungkin saya bisa menghidupkan kisah dan bahkan memberi ruh dalam Kailasa sedang saya sendiri, sebelumnya, nyaris buta dengan masalah yang saya tulis?
Di situlah menantangnya sebuah proses penciptaan karya. Bukan hanya membeberkan yang sudah kita tahu (pengalaman langsung), tetapi sekaligus memaksa kita menjelajah ke dalam, menyingkap detail-detail tersembunyi, untuk kemudian digodok, disaring, direnungi, diramu dan dibumbu.
Sains dan fiksi
Kita tahu, sains dan prosa fiksi sebenarnya sudah menjalin hubungan sejak lama, meski hubungan mereka jarang diketahui. Keduanya diam-diam saling memberi, mengisi, menginspirasi. Banyak penemuan-penemuan sains yang terinspirasi oleh fiksi, dan begitu pula sebaliknya: kemajuan sains dan teknologi bisa dijadikan sumber ide yang tak ada habisnya bagi penulis fiksi.
Novel Kailasa, tentu saja tidak murni fakta (bahkan Anda tidak akan pernah menemukan Desa Kailasa di Dieng sebagaimana tersebut dalam novel), tetapi juga tidak lahir dari imajinasi thok! Jika kemudian ditemukan diksi-diksi ilmiah, bahkan di akhir novel terdapat glosarium, bukan karena novel itu diterbitkan oleh Glosaria, dan penulisnya sok ilmiah!
Saya sendiri masih ragu menyebut Kailasa sebagai science fiction. Tetapi novel tersebut memang dibangun berdasarkan data dan fakta ilmiah, baik dari sisi sejarah maupun sains. Saya memang pernah membuat tulisan panjang tentang prosa fiksi sains (bisa anda lihat di fiksi-sains.blogspot.com), dan mungkin dari situlah saya tergerak untuk menulis novel dengan gaya soft science fiction. Entahlah, merunut jejak ide kadang lebih sulit ketimbang mencari sebuah jarum di tumpukan utang. hehe
Ada kisah lain, begini: suatu hari saya pernah ditikam oleh teman sekantor yang membeli novel saya: “Novelnya kok ada saru-nya. Hem, tadinya beli buat anak, tahu ada saru-nya akhirnya nggak jadi?”
Terus aku kudu piye?
Anda yang melek sastra mungkin akan membela saya dengan mengucap dalil: “Yang saru iku pikiranmu, Lek!” Ya, saya tidak pernah berniat nulis saru, tetapi begitulah tanggapan pembaca. Saya bisa apa?
Sejak awal, bahkan saya sudah menginginkan novel Kailasa nanti bisa dibaca oleh anak-anak sekolah, tetapi juga tetap enak dibaca oleh mahasiswa sastra. Tapi saya tidak ingin menulis cerita anak atau remaja, itu mungkin lebih sulit. Saya ingin menulis cerita dewasa dengan bahasa yang bisa dipahami orang awam sastra. Anda tahu, ini jauh lebih sulit ketimbang menulis sakkarepmu.
Akibat Faktor keterbacaan harus benar-benar saya perhatikan dan karenanya saya kehilangan keliaran berbahasa. Tak apa: saya menganggap ini bagian dari eksperimentasi juga, nyaris sama ketika saya menulis novel Jehenna.
Pada akhirnya, berkat Ramat Tuhan, Kailasa selesai juga. Tetapi ia mesti bersabar, karena menginjak usia tiga tahun ia baru keluar dari percetakan untuk kemudian berbincang dengan pembaca yang budiman. Tak apa. Sebagai orang tua saya cuma bisa mendoakan, semoga ia menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat bagi pembaca.
Wonosobo, 7 Maret 2016
Tulisan ini disampaikan dalam acara Peluncuran dan Diskusi Novel Kailasa di Hall Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta (Kampus 2), 9 Maret 2016.
Jejak Kailasa
panggung acara |
setelah diskusi |
diskusi Kailasa di Wonosobo |
panggung diskusi Gramedia Fiesta |
1 comments:
commentsSangat mnarik dan menginspirasi Pak.
ReplyTerimakasih banyak Pak. Sukses selalu.
Salam dari Bandung ;)