Judul: Kailasa, Jejak Tanah Surga yang Terluka
Penulis: Jusuf AN, Pengasuh Tintaguru.Com
Penerbit: Glosaria, YogyakartaTahun Terbit: Februari 2016
Tebal: 176 halaman
Novel ini menceritakan lika-liku kondisi pertanian masyarakat Desa Kailasa, Dieng, Wonosobo. Mereka berusaha bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan menanam kentang. Namun, kendati hasil panen jadi melimpah dan menguntungkan, kondisi tanah di daerah tersebut terancam rusak.
Yahya, seorang sarjana pertanian berusaha sekuat tenaga mengubah paradigma masyarakat Kailasa untuk mengganti pola tanam mereka. Yahya juga membujuk para petani untuk melirik potensi pariwisata, supaya lahan pertanian desa terselamatkan dari eksploitasi yang sudah keterlaluan.
Baca juga: Proses Kreatif Penulisan Novel Kailasa
Berikut adalah beberapa petikan novel Kailasa
Selama puluhan tahun warga Desa Kailasa tak ada yang kelaparan, tak seorang pun. Sebab selain memanen jagung sembilan bulan sekali, mereka juga menanam ganyong dan talas yang bisa panen kapan saja. Tetapi mereka menyimpan cerita sedih ketika tentara Jepang datang merampas hasil panen mereka dan memaksa untuk menanam gandum— tanaman yang pada waktu itu masih asing bagi orang-orang Kailasa.
----
Dulu, sebelum memutuskan memilih Fakultas Pertanian, sama sekali Yahya tak mempertimbangkan soal peluang pekerjaan setelah wisuda. Bapak dan mboknya petani, ketiga kakaknya petani, semua penduduk Desa Kailasa petani meski ada beberapa yang punya pekerjaan lain, seperti tukang bangunan, guru, atau kepala desa. Bagi penduduk Kailasa seolah-olah hanya ada satu pekerjaan di dunia ini: Petani. Mungkin aku akan menjadi petani juga, pikirnya waktu itu. Tapi begitu dia mulai memperdalam ilmu Botani, Biokimia, Ekologi Pertanian, dan Ilmu Tanah, dan melihat kenyataan pola pertanian di desanya yang memedihkan perasaan, dia kemudian mengubah pikirannya: Ingin menyelamatkan alam sekaligus para petani Desa Kailasa! Keinginannya terkesan muluk-muluk, tetapi begitulah pemikiran seorang anak muda: Idealis!
----
Mereka menanam emas, sekaligus bom waktu, batin Yahya. Dia sudah belajar Ilmu Tanah dan Botani, tahu kalau tanah yang ditanami kentang terus menerus tanpa adanya penggantian tanaman lain lambat laun akan kehilangan kesuburan. Dan bukit-bukit yang dijadikan lahan pertanian itu, betapa sangat memprihatinkan. Erosi yang menyebabkan pendangkalan telaga tidak akan mungkin bisa dihindari dan longsor bisa terjadi kapan saja. Yahya juga sudah belajar Ilmu Kimia, dan sangat paham jika pestisida yang disemprotkan petani dua minggu sekali akan membahayakan kesehatan dan lingkungan, dan mengancam banyak satwa.
----
Desa Kailasa tidak juga berubah, kecuali jalan aspal yang mulai mengelupas, rumah-rumah yang catnya berganti, dan bangunan Masjid yang dindingnya sudah dilapisi keramik. Setiap pagi, para orang tua berangkat ke ladang bersama para buruh dan anak-anak mereka; mencangkul, menanam benih, menyiram, menyemprot pestisida, menyiangi rumput-rumput di sekitar guludan, dan memanen. Setelah kentang dipanen, mereka akan menjualnya kepada Wa Surip, dan beramai-ramai berangkat ke kota untuk memborong barang-barang baru. Mobil-mobil pribadi di Desa Kailasa semakin banyak, sementara bangunan Sekolah Dasar masih seperti dulu; catnya belum diganti dan plangnya tampak bertambah lapuk dimakan rayap.
---
Nenek moyang penduduk di pegunungan Dieng, termasuk Kailasa, konon berasal dari India, Arab, Champa, dan Mataram. Ada anggapan, orang-orang bermigrasi dari daerah rendah menuju pegunungan Dieng dikarenakan Kerajaan Mataram pada masa itu menetapkan berbagai kerja wajib dan pajak yang memberatkan rakyat. Tetapi ada pula yang menganggap bahwa migrasi para penduduk di daerah rendah menuju pegunungan diakibatkan oleh penjajahan Belanda yang sangat menyengsarakan. Orang-orang mencari tempat yang lebih tenteram dan aman, dan pegunungan adalah pilihan yang tepat. Selain tanahnya subur, daerah pegunungan lebih sulit dijangkau. Meski kemudian, setelah Belanda kalah, tentara Jepang menyebar, berbuat onar ke desa-desa, hingga sampai ke pelosok Kailasa.
----
Tidak seperti sebelum wereng datang menyerang, para petani lebih hati-hati (atau justru ceroboh) dalam merawat tanaman mereka. Jika dulu mereka hanya menyemprot obat-obatan dua minggu sekali, maka sekarang, seturut saran Changyi, menjadi dua kali dalam seminggu. Mereka tidak peduli modal besar yang dikeluarkan. Yang penting wereng tidak menyerang dan mereka dapat panen dengan hasil memuaskan. Dan musim kemarau yang benar-benar telah tiba, membuat mereka juga harus menyalakan disel, menyedot air Telaga Cebong guna menyirami kentang yang belum lama ditanam.
----
----
Dapatkan novel ini dengan harga Rp. 35.0000,- (Belum termasuk ongkos kirim)
Pemesanan, Hubungi saya: 085230373555 (SMS/Telp/WA)
Format Pesan: Novel Kailasa_Nama_Alamat
4 comments
commentswaahh...semangat teruss Pak Amin dalam menulis...
Replysalam hangat dari Bandung.
Okky
Pengin punya karya bernilai sastra kayak Pak Jusuf ini...
ReplyGood luck pak
Saya dirumah punya bukunya beli di Gramedia
ReplyBuat PR resensi buku. Terus nyari di Google ternyata ketemu! ^_^ makasik buat yang bikin linknya
Kalo boleh nanya ane mau nanya?!? Apa kelebihan dan kekurangan dari buku novel "Kailasa Jejak Tanah Surga Yang Terluka" tolong di jelaskan yah.... soalnya saya punya novel nya dan saya tidak tau kelebihan dan kekurangan dari buku tersebut
Reply