Kemarin Pagi (19/10/2015), saya ngopi bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Anies Baswedan. Sungguh ini pengalaman yang luar biasa. Senang rasanya bisa ngopi pagi bersama Mantan Rektor Paramadina sambil membincang soal pendidikan. Sebenarnya, kemarin itu saya ingin menyampaikan banyak hal kepada beliaunya. Tapi saya percaya sekeras apapun saya berteriak suara saya tidak akan pernah sampai telinga Pak Menteri yang ganteng itu. Lawong saya ngopinya di Wonosobo sementara Pak Menteri ngopi di Senayan sana.
Meski begitu, saya dan publik pemerhati pendidikan tentu senang tak terkira bisa menyaksikan beliau masih bisa ngopi di tengah kabut asap yang membuat banyak siswa tidak bisa sekolah. Terlebih topik perbincangan pagi itu adalah soal "Setahun Kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan".
Dahsyat, beliau telah menyampaikan berbagai pencapaian Kemdikbud selama setahun, tapi beliau sangat rendah hati dan hanya menyebutkan bahwa itu baru langkah awal. Bayangkan, langkah awalnya saja sudah sangat hebat. Pencapaian Kemdikbud dalam setahun dibuktikan dengan Penguatan Pelaku Pendidikan dan Kebudayaan, Peningkatan Mutu dan Akses, Peningkatan Efektivitas Birokrasi. Semuanya meningkat. Tidak ada yang menurun. Kalau toh ada, tentu saja tidak akan disampaikan. Kita patut manggut-manggut sambil tepuk tangan dan bergumam. “Sudah ganteng, hebat pula.”
Nah, dari sekian banyak prestasi Kemdikbud dalam setahun, saya mencatat ada beberapa yang berbentuk sebuah gerakan. Pertama adalah Gerakan Terima Kasih Guru, kemudian Gerakan Indonesia Membaca-Menulis, dan gerakan Paud Berkualitas. Ck..ck..ck... Bahasa yang dipakai Kemdikbud bukanlah program, melainkan gerakan. Gerakan, bukan main; Menunjukkan kerja yang tidak henti-hentinya, sebuah gebrakan, upaya penyadaran secara massif, ajakan kepada banyak orang untuk turut serta. Barangkali Pak Menteri ingin mengulang kesuksesan Gerakan Indonesia Mengajar yang dulu dirintis beliaunya.
Satu hal yang membuat saya terkesima adalah gerakan terima kasih guru. Sebelum gerakan ini dicanangkan, bahkan saya sudah membaca tulisan Pak Anies di Kompas bertepatan dengan hari guru, lupa tahun berapa.
Anda tahu, apa wujud dari gerakan terima kasih guru? Wis tho, pokoknya top. Begini, jika sebelumnya penghargaan kepada guru hanya melalui pemberian penghargaan dan tunjangan dari Pemerintah, maka sekarang masyarakat dan dunia usaha diajak berperan serta memuliakan guru dengan memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas khusus untuk guru.
Apakah gerakan ini sudah mulai dirasakan oleh guru? Tiket pesawat murah untuk guru, angkot gratis, nasi kucing gratis, laptop murah spesial untuk guru? Entahlah. Kalau kita tanyakan itu langsung, Pak Menteri dengan santun mungkin akan jawab, “Butuh waktu untuk melihat hasilnya.”
Ya, memang sebuah gerakan sosial tidak akan langsung terlihat hasilnya. Apalagi membujuk pelaku bisnis memberikan diskon khusus untuk guru. Hem, itu sulit. Yang terjadi guru seringkali dijadikan target pemasaran utama. Sekolah-sekolah di kota dan pinggiran, pasti pernah dimasuki seles sepeda motor, mobil, alat-alat kesehatan, dan produk-produk elektronik.
Yalah, kan tadi sudah dibilang: Butuh waktu. Jadi kita memang harus sabar. Semuanya tidak semudah membubarkan siswa lebih awal karena guru ada rapat. Kalau toh tidak ada pelaku bisnis yang insaf turut serta dalam gerakan terima kasih guru, ya tidak apa-apa. Tidak bisa dipaksakan. Biarlah gerakan ini berjalan sesuai arah angin, sampai nanti pada akhirnya hanya sebatas nama yang tergurat di batu nisan.
Gerakan apalagi nih, Mas Yusuf?
Emm, bagaimana kalau Gerakan Bela Guru Honorer?
???
Kenapa saya kepikiran dengan Gerakan Bela Guru Honorer? Ya itu tadi, di bawah foto Pak Menteri lagi ngopi yang dipajang di Facebook resmi Kemdikbud itu saya menemukan banyak sekali komentar yang isinya adalah keluhan dan teriakan dari guru honorer. Betapa mereka membutuhkan perhatian. Saya tahu, guru memang bukan hanya honorer, dan semuanya wajib dibela. Tapi..., ah saya tidak perlu melanjutkan, sebab pastilah Pak Menteri sudah tahu segalanya tentang nasib honorer. Tidak perlu juga membandingkan kesejahteraan Guru Honorer dengan guru PNS, karena memang tidak pantas disandingkan.
Sepertinya menarik, Mas. Tapi bagaimana gerakan bela guru honorer itu nanti akan dibumikan, konkritnya seperti apa?
Hehe... Nggak mungkinlah Mantan Rektor Paramadina nanyanya gitu, ya kan? Tapi kalau disuruh njawab, okelah. Begini, Pak Menteri kan punya kuasa, bisa membuat aturan, dekat dengan Presiden pula. Gerakan Bela Guru Honorer bisa diwujudkan dalam bentuk aturan, misal pewajiban sekolah atau daerah memberikan gaji kepada guru Honorer di atas UMK. Kalau bela honorer diwujudkan dalam bentuk santunan pemotongan gaji guru PNS untuk honorer, janganlah. Guru honorer akan sangat malu dan kehilangan martabatnya. Sudah honornya tipis, tidak punya martabat pula, terus apa yang mau diandalkan sebagai alasan untuk bertahan hidup.
Gerakan bela guru honorer adalah upaya penyetaraan guru dalam mendapatkan kesempatan untuk bisa mengikuti semua program pemerintah. Selama ini kan tidak begitu. Iya sih, semuanya berlabel guru. Tetapi ada beberapa kebijakan yang tidak berlaku untuk semua jenis guru. Misal, beasiswa. Beberapa (tidak semuanya lho) beasiswa guru, mensyaratkan PNS sebagai syaratnya. Kalau honorer mau melanjutkan pendidikan, ya cari yang untuk umum, yang ini khusus guru PNS. Nggak ada namanya beasiswa khusus guru honorer.
Lagi. Soal kenaikan gaji. Gaji PNS yang sudah cukup besar naik setiap tahun, sementara tunjangan fungsional untuk guru honorer yang kecil tidak naik tiga tahun terakhir. Ironis kan? Kebijakan seperti itu jelas tidak membela honorer. Dan karenanya perlu dibangkitkan semangat para pembuat kebijakan untuk berpihak kepada yang lemah dengan mencanangkan gerakan bela guru honorer.
Tenang saja, Pak Menteri, saya jamin gerakan ini tidak akan menuai protes. Bukankah Pak Menteri tidak suka kalau ada yang protes, apalagi sampai demonstrasi. Monggo, ngopinya dilanjut.
sumber foto
Meski begitu, saya dan publik pemerhati pendidikan tentu senang tak terkira bisa menyaksikan beliau masih bisa ngopi di tengah kabut asap yang membuat banyak siswa tidak bisa sekolah. Terlebih topik perbincangan pagi itu adalah soal "Setahun Kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan".
Dahsyat, beliau telah menyampaikan berbagai pencapaian Kemdikbud selama setahun, tapi beliau sangat rendah hati dan hanya menyebutkan bahwa itu baru langkah awal. Bayangkan, langkah awalnya saja sudah sangat hebat. Pencapaian Kemdikbud dalam setahun dibuktikan dengan Penguatan Pelaku Pendidikan dan Kebudayaan, Peningkatan Mutu dan Akses, Peningkatan Efektivitas Birokrasi. Semuanya meningkat. Tidak ada yang menurun. Kalau toh ada, tentu saja tidak akan disampaikan. Kita patut manggut-manggut sambil tepuk tangan dan bergumam. “Sudah ganteng, hebat pula.”
Nah, dari sekian banyak prestasi Kemdikbud dalam setahun, saya mencatat ada beberapa yang berbentuk sebuah gerakan. Pertama adalah Gerakan Terima Kasih Guru, kemudian Gerakan Indonesia Membaca-Menulis, dan gerakan Paud Berkualitas. Ck..ck..ck... Bahasa yang dipakai Kemdikbud bukanlah program, melainkan gerakan. Gerakan, bukan main; Menunjukkan kerja yang tidak henti-hentinya, sebuah gebrakan, upaya penyadaran secara massif, ajakan kepada banyak orang untuk turut serta. Barangkali Pak Menteri ingin mengulang kesuksesan Gerakan Indonesia Mengajar yang dulu dirintis beliaunya.
Satu hal yang membuat saya terkesima adalah gerakan terima kasih guru. Sebelum gerakan ini dicanangkan, bahkan saya sudah membaca tulisan Pak Anies di Kompas bertepatan dengan hari guru, lupa tahun berapa.
Anda tahu, apa wujud dari gerakan terima kasih guru? Wis tho, pokoknya top. Begini, jika sebelumnya penghargaan kepada guru hanya melalui pemberian penghargaan dan tunjangan dari Pemerintah, maka sekarang masyarakat dan dunia usaha diajak berperan serta memuliakan guru dengan memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas khusus untuk guru.
Apakah gerakan ini sudah mulai dirasakan oleh guru? Tiket pesawat murah untuk guru, angkot gratis, nasi kucing gratis, laptop murah spesial untuk guru? Entahlah. Kalau kita tanyakan itu langsung, Pak Menteri dengan santun mungkin akan jawab, “Butuh waktu untuk melihat hasilnya.”
Ya, memang sebuah gerakan sosial tidak akan langsung terlihat hasilnya. Apalagi membujuk pelaku bisnis memberikan diskon khusus untuk guru. Hem, itu sulit. Yang terjadi guru seringkali dijadikan target pemasaran utama. Sekolah-sekolah di kota dan pinggiran, pasti pernah dimasuki seles sepeda motor, mobil, alat-alat kesehatan, dan produk-produk elektronik.
Yalah, kan tadi sudah dibilang: Butuh waktu. Jadi kita memang harus sabar. Semuanya tidak semudah membubarkan siswa lebih awal karena guru ada rapat. Kalau toh tidak ada pelaku bisnis yang insaf turut serta dalam gerakan terima kasih guru, ya tidak apa-apa. Tidak bisa dipaksakan. Biarlah gerakan ini berjalan sesuai arah angin, sampai nanti pada akhirnya hanya sebatas nama yang tergurat di batu nisan.
Gerakan Bela Guru Honorer
Sembari nunggu membuminya gerakan terima kasih guru, mungkin Pak Anies bisa merancang gerakan-gerakan lain. Kalau Pak Ryamizard mencanangkan gerakan bela negara, kenapa Pak Anies tidak merancang gerakan sejenis.Gerakan apalagi nih, Mas Yusuf?
Emm, bagaimana kalau Gerakan Bela Guru Honorer?
???
Kenapa saya kepikiran dengan Gerakan Bela Guru Honorer? Ya itu tadi, di bawah foto Pak Menteri lagi ngopi yang dipajang di Facebook resmi Kemdikbud itu saya menemukan banyak sekali komentar yang isinya adalah keluhan dan teriakan dari guru honorer. Betapa mereka membutuhkan perhatian. Saya tahu, guru memang bukan hanya honorer, dan semuanya wajib dibela. Tapi..., ah saya tidak perlu melanjutkan, sebab pastilah Pak Menteri sudah tahu segalanya tentang nasib honorer. Tidak perlu juga membandingkan kesejahteraan Guru Honorer dengan guru PNS, karena memang tidak pantas disandingkan.
Sepertinya menarik, Mas. Tapi bagaimana gerakan bela guru honorer itu nanti akan dibumikan, konkritnya seperti apa?
Hehe... Nggak mungkinlah Mantan Rektor Paramadina nanyanya gitu, ya kan? Tapi kalau disuruh njawab, okelah. Begini, Pak Menteri kan punya kuasa, bisa membuat aturan, dekat dengan Presiden pula. Gerakan Bela Guru Honorer bisa diwujudkan dalam bentuk aturan, misal pewajiban sekolah atau daerah memberikan gaji kepada guru Honorer di atas UMK. Kalau bela honorer diwujudkan dalam bentuk santunan pemotongan gaji guru PNS untuk honorer, janganlah. Guru honorer akan sangat malu dan kehilangan martabatnya. Sudah honornya tipis, tidak punya martabat pula, terus apa yang mau diandalkan sebagai alasan untuk bertahan hidup.
Gerakan bela guru honorer adalah upaya penyetaraan guru dalam mendapatkan kesempatan untuk bisa mengikuti semua program pemerintah. Selama ini kan tidak begitu. Iya sih, semuanya berlabel guru. Tetapi ada beberapa kebijakan yang tidak berlaku untuk semua jenis guru. Misal, beasiswa. Beberapa (tidak semuanya lho) beasiswa guru, mensyaratkan PNS sebagai syaratnya. Kalau honorer mau melanjutkan pendidikan, ya cari yang untuk umum, yang ini khusus guru PNS. Nggak ada namanya beasiswa khusus guru honorer.
Lagi. Soal kenaikan gaji. Gaji PNS yang sudah cukup besar naik setiap tahun, sementara tunjangan fungsional untuk guru honorer yang kecil tidak naik tiga tahun terakhir. Ironis kan? Kebijakan seperti itu jelas tidak membela honorer. Dan karenanya perlu dibangkitkan semangat para pembuat kebijakan untuk berpihak kepada yang lemah dengan mencanangkan gerakan bela guru honorer.
Tenang saja, Pak Menteri, saya jamin gerakan ini tidak akan menuai protes. Bukankah Pak Menteri tidak suka kalau ada yang protes, apalagi sampai demonstrasi. Monggo, ngopinya dilanjut.
sumber foto