Oleh M. Yusuf Amin Nugroho
Kita percaya, rejeki memang sudah ditentukan kadarnya, bahkan sejak kita masih berusia 40 hari dalam kandungan. Kita jumpalitan sampai dengkul lecet kalau rejekinya segitu ya segitu.
“Jo, Bojo, mbok ya cari kerja apa kek selain ngajar. Mau dikasih makan latu udutmu anak-anakmu ini, hei?”
“Heh, aku kerja apa ga kerja ‘kan rejeki sudah ditentukan. Ada tuh dalilnya....”
Gimana kalau sampai muncul percakapan edan macam gitu? Nggak lucu kan. Lain lagi jika percakapannya begini:
“Mbok ya cari kerja lain toh, Mas, Mas. Malah di kamar terus. Ngandalin honor GTT sampai modar juga kita ga bakal punya rumah sendiri.”
“Ga tahu ya di kamar aku sedang apa?”
“Baca buku kan? Mana bisa menghasilkan duit.”
“Tidak. Bukan cuma baca buku, tapi sedang mencari inspirasi pekerjaan yang cocok.”
“Sudah lima tahun belum nemu-nemu? Kiamat.”
Begitulah kalau kita cuma nyaplok dalil soal kadar rejeki, ajal, jodoh, dan amal tanpa berusaha menelaah makna dan kandungannya, akibatnya bisa sangat payah.
Sudah miskin, payah pula. Memang payah ekonomi para Guru honorer. Ya gimana tidak payah, kerja sebulan habis seminggu. Tentu saja kalau hanya mengandalkan gaji jelas tidak mencukupi. Logislah ya, itung sendiri ajalah. Paling besar gaji guru honorer itu sejuta. Uang segitu sangat besar bagi anak TK, tapi bagi keluarga dengan dua anak? Lumayanlah. Bisa buat bayar listrik, PAM, pulsa, beras, minyak, kopi, udut. Tapi sungguh tak cukup bertahan lama.
Lain lagi urusannya kalau kita ngomongin keberkahan. Bagi orang yang bertakwa, Allah akan memberikan rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Ini benar. Tapi kan rejeki itu asalnya bukan dari honor ngajar, melainkan dari yang lain.
Saya paham, soal rejeki sebenarnya bukan cuma masalah sebab-akibat: Kalau kita kerja-kita dapat rejeki. Bukan itu. Allah yang nentuin semua, saya ngerti. Lihat tuh, orang banting tulang, banting stir, banting gelas, kalau rejekinya segitu ya segitu. Tapi lihat tuh orang tenang, tani biasa misalnya, eh bisa berangkat haji. Tugas kita usaha, kerja, lalu tawakkal. Tapi kalau usahanya sebatas GTT (guru tidak tetap), tentu saja belum maksimal, dan belum waktunya untuk tawakkal.
Bagaimana agar uang 1 juta bisa awet untuk bertahan hidup sebulan? Ya dengan berhemat? Hem, hemat itu bagus. Tapi kurang top. Mudahnya, agar honor GTT awet, anda cukup simpan uang itu dan siram formalin. Ya nggak lucu tho uang sedikit kok mintanya awet. Cara terbaik untuk sejahtera itu bukan dengan berhemat tetapi dengan menambah penghasilan. #clingukan
Jadi harus demo menuntut kenaikan honor? Monggo saja. Kalau orang-orang di atas angin sana masih punya telinga, demo sih oke juga. Tapi agaknya, orang-orang di atas itu sudah mulai banyak yang terserang gejala tuli dan sayangnya mereka tidak menyadari. Tanpa harus demo, sebenarnya mereka sudah bisa mendengar rintihan guru-guru honorer kan? Sudah banyak berita soal itu, dan mustahil mereka tidak tahu apa kemauan guru-guru honorer. Tapi mereka punya kalkulator yang unik, yang berpihak pada kenaikan gaji mereka sendiri.
Beberapa, mungkin ratusan orang (banyak dong!) GTT sudah memutuskan untuk pindah profesi, berhenti total jadi guru. Ijazah biarlah tinggal ijazah, teori-teori yang mereka nyam-nyam di bangku kuliah biarlah kenangan, yang penting keluarga bisa tetap makan –demikian prinsip mereka. Bagaimanapun kita tak bisa menyalahkan mereka. Dan itu hak. Tapi jika kamu ingin tetap bertahan menjadi GTT, so what? Kenapa tidak? Toh, menurutmu profesi guru sangat nyaman, banyak pahalanya pula, dan siapa tahu nanti (tahun 2100, mungkin) kamu akan diangkat juga menjadi guru PNS. Nah, sembari menunggu tahun 2100 kita mesti mengisinya dengan kegiatan-kegiatan ekonomi yang menunjang sektor perdapuran.
Sudah bukan rahasia GTT nyambi kerja lain. Ada yang jual sayur, jual pulsa, maklar motor, sampai jual burung (tanpa tanda kutip). Selama itu halal dan baik, kenapa enggak gitu loh. Ketimbang terus mengutuki kegelapan, yuk kita nyalakan lilin.
Inilah dia beberapa pekerjaan sampingan yang cocok untuk guru honorer. (Sebaiknya anda tidak melewatkan membaca pendahuluannya. Jika belum, saya sarankan untuk mengulang dari awal)
1. Penulis
Pekerjaan ini saya taruh di nomor wahid bukan hanya karena saya sudah mempraktikkannya. Tetapi guru adalah kaum intelektual, gitu ya. Dan pekerjaan menulis tidak jauh-jauh dari situ. Kita bergelut dengan ide, gagasan, pikiran, kata-kata, bahasa, imajinasi, yang semua itu sangat dibutuhkan oleh seorang guru.
Sebenarnya teman-teman bisa mengambil kesempatan ini. Toh teman-teman sudah pernah sarjana, pernah bikin skripsi yang penuh catatan kaki. Pernah diajari gimana membedakan subyek-predikan-obyek sejak SD. Peluangnya juga masih sangat terbuka, meski tentu saja persaingan itu ada.
Menulis cerpen, puisi, opini dan kemudian dikirim ke koran, bisa. Menjadi penulis kontent freelance, bisa juga. Nulis novel, buku, bagus itu. Yang jelas pekerjaan ini bisa menghasilkan uang, yang celakanya sering lebih besar dari gaji guru honorer.
2. Guru Privat
Masih sama-sama guru, tapi ini privat. Sasarannya biasanya orang-orang kaya yang punya anak sekolah. Mereka butuh bimbingan, dan teman-teman guru honorer punya kemampuan yang shohih. Bisa tuh kita tangkap peluang ini.
Kalau kita tidak bisa mencari sendiri orang yang butuh privat mungkin bisa bergabung dengan perusahaan yang membuka jasa ini. Selain ilmu kita tambah manfaat untuk orang lain, juga akan bermanfaat untuk diri kita sendiri dan dunia perdapuran. Terus terang, saya sendiri belum nyoba yang ini, tapi ada beberapa teman saya yang menjadikan guru privat sebagai pekerjaan sampingan. Makanya saya berani nyambungkan ke anda.
3. Jualan
Kalau yang ini sungguh pekerjaan yang menjanjikan. Tahulah, 99 dari 100 pintu rejeki juga terdapat dalam pekerjaan ini. Makanya, nggak mengherankan kalau sekarang banyak orang yang menjadikan jualan sebagai pekerjaan sampingan, meski penghasilannya kadang lebih besar dari pekerjaan utama.
Penyanyi menjual suaranya, ada juga yang jual goyangannya. Pejabat banyak yang jualan gunung, kereta api, batu bara, emas, dan SK. Kalian mau jualan apa? Apa sajalah yang penting halal, gitu kan jawabmu. Ehya, SK guru honorer itu laku nggak ya?
4. Blogger
Pekerjaan ini masih langka dan aneh di telinga teman-teman guru. Blogger, orang yang kerjanya bikin blog, membuat konten, yang kemudian mengundang banyak orang datang ke blognya, dan dari sanalah mereka mendapatkan bayaran. Ada juga sih yang tidak mengambil keuntungan dari web/blog meski pengunjungnya sudah ratusan ribu. Tapi kalau mau mengambil manfaat dari blog untuk mendapat uang, mubah saja menurut saya.
Bagi anda yang baru-baru mengenal blog, sebaiknya pilih pekerjaan lain sajalah dulu. Jualan mungkin lebih cepat mendatangkan keuntungan ketimbang ngeblog. Kalau anda baru tahu bahwa ngeblog bisa mendatangkan pundi-pundi, anda butuh waktu paling tidak 1 tahun baru bisa mendapatkan keuntungan. Trus utangnya mau nambah berapa, apalagi yang mau digadaikan kalau cuma ngandalin honor sekolah?
Hehe... ya, latihan dulu bikin blog, pelan-pelan, sambil jualan, sambil latihan nulis, sambil ngelesi privat, nanti kalau sudah mahir, blognya sudah banyak pengunjungnya, baru kemudian di earningkan.
Cuma empat ya, meski sebenarnya masih banyak yang lain. Sambil ngopi, baca-baca untuk mengasah imajinasi, kita bisa mencarinya sendiri.
Apakah kerja sampingan tidak mengganggu kerja guru?
Tanpa basa-basi saya jawab, “bisa ya, bisa tidak.”
Masalah mbagi waktu saja sebenarnya. Kalau kemudian ada yang bilang, “Ah, situ bukan guru profesional.” Ya memang, kalau profesional dimaknai dengan orang yang menekuni satu jenis pekerjaan tentu saja guru honorer dengan kerja sampingan tidak masuk kriteria itu. Meski banyak kita temukan guru profesional (dibuktikan sertifikan pendidik), yang gajinya 17 kali lipat dari honorer, masih banyak yang melakukan kerja sampingan. Mau apa? Laporin aja sana, siapa tahu dapat asbak.
Baca juga:
Tanggapan atas Tanggapan Menyakitan Yang Kerap Diterima Honorer
Guru Ilegal Dipelihara Pemerintah tanpa Rasa Kasih Sayang
Kita percaya, rejeki memang sudah ditentukan kadarnya, bahkan sejak kita masih berusia 40 hari dalam kandungan. Kita jumpalitan sampai dengkul lecet kalau rejekinya segitu ya segitu.
“Jo, Bojo, mbok ya cari kerja apa kek selain ngajar. Mau dikasih makan latu udutmu anak-anakmu ini, hei?”
“Heh, aku kerja apa ga kerja ‘kan rejeki sudah ditentukan. Ada tuh dalilnya....”
Gimana kalau sampai muncul percakapan edan macam gitu? Nggak lucu kan. Lain lagi jika percakapannya begini:
“Mbok ya cari kerja lain toh, Mas, Mas. Malah di kamar terus. Ngandalin honor GTT sampai modar juga kita ga bakal punya rumah sendiri.”
“Ga tahu ya di kamar aku sedang apa?”
“Baca buku kan? Mana bisa menghasilkan duit.”
“Tidak. Bukan cuma baca buku, tapi sedang mencari inspirasi pekerjaan yang cocok.”
“Sudah lima tahun belum nemu-nemu? Kiamat.”
Begitulah kalau kita cuma nyaplok dalil soal kadar rejeki, ajal, jodoh, dan amal tanpa berusaha menelaah makna dan kandungannya, akibatnya bisa sangat payah.
Sudah miskin, payah pula. Memang payah ekonomi para Guru honorer. Ya gimana tidak payah, kerja sebulan habis seminggu. Tentu saja kalau hanya mengandalkan gaji jelas tidak mencukupi. Logislah ya, itung sendiri ajalah. Paling besar gaji guru honorer itu sejuta. Uang segitu sangat besar bagi anak TK, tapi bagi keluarga dengan dua anak? Lumayanlah. Bisa buat bayar listrik, PAM, pulsa, beras, minyak, kopi, udut. Tapi sungguh tak cukup bertahan lama.
Lain lagi urusannya kalau kita ngomongin keberkahan. Bagi orang yang bertakwa, Allah akan memberikan rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Ini benar. Tapi kan rejeki itu asalnya bukan dari honor ngajar, melainkan dari yang lain.
Saya paham, soal rejeki sebenarnya bukan cuma masalah sebab-akibat: Kalau kita kerja-kita dapat rejeki. Bukan itu. Allah yang nentuin semua, saya ngerti. Lihat tuh, orang banting tulang, banting stir, banting gelas, kalau rejekinya segitu ya segitu. Tapi lihat tuh orang tenang, tani biasa misalnya, eh bisa berangkat haji. Tugas kita usaha, kerja, lalu tawakkal. Tapi kalau usahanya sebatas GTT (guru tidak tetap), tentu saja belum maksimal, dan belum waktunya untuk tawakkal.
Bagaimana agar uang 1 juta bisa awet untuk bertahan hidup sebulan? Ya dengan berhemat? Hem, hemat itu bagus. Tapi kurang top. Mudahnya, agar honor GTT awet, anda cukup simpan uang itu dan siram formalin. Ya nggak lucu tho uang sedikit kok mintanya awet. Cara terbaik untuk sejahtera itu bukan dengan berhemat tetapi dengan menambah penghasilan. #clingukan
Jadi harus demo menuntut kenaikan honor? Monggo saja. Kalau orang-orang di atas angin sana masih punya telinga, demo sih oke juga. Tapi agaknya, orang-orang di atas itu sudah mulai banyak yang terserang gejala tuli dan sayangnya mereka tidak menyadari. Tanpa harus demo, sebenarnya mereka sudah bisa mendengar rintihan guru-guru honorer kan? Sudah banyak berita soal itu, dan mustahil mereka tidak tahu apa kemauan guru-guru honorer. Tapi mereka punya kalkulator yang unik, yang berpihak pada kenaikan gaji mereka sendiri.
Beberapa, mungkin ratusan orang (banyak dong!) GTT sudah memutuskan untuk pindah profesi, berhenti total jadi guru. Ijazah biarlah tinggal ijazah, teori-teori yang mereka nyam-nyam di bangku kuliah biarlah kenangan, yang penting keluarga bisa tetap makan –demikian prinsip mereka. Bagaimanapun kita tak bisa menyalahkan mereka. Dan itu hak. Tapi jika kamu ingin tetap bertahan menjadi GTT, so what? Kenapa tidak? Toh, menurutmu profesi guru sangat nyaman, banyak pahalanya pula, dan siapa tahu nanti (tahun 2100, mungkin) kamu akan diangkat juga menjadi guru PNS. Nah, sembari menunggu tahun 2100 kita mesti mengisinya dengan kegiatan-kegiatan ekonomi yang menunjang sektor perdapuran.
Sudah bukan rahasia GTT nyambi kerja lain. Ada yang jual sayur, jual pulsa, maklar motor, sampai jual burung (tanpa tanda kutip). Selama itu halal dan baik, kenapa enggak gitu loh. Ketimbang terus mengutuki kegelapan, yuk kita nyalakan lilin.
Kerja Sampingan Guru Honorer
Inilah dia beberapa pekerjaan sampingan yang cocok untuk guru honorer. (Sebaiknya anda tidak melewatkan membaca pendahuluannya. Jika belum, saya sarankan untuk mengulang dari awal)
1. Penulis
Pekerjaan ini saya taruh di nomor wahid bukan hanya karena saya sudah mempraktikkannya. Tetapi guru adalah kaum intelektual, gitu ya. Dan pekerjaan menulis tidak jauh-jauh dari situ. Kita bergelut dengan ide, gagasan, pikiran, kata-kata, bahasa, imajinasi, yang semua itu sangat dibutuhkan oleh seorang guru.
Sebenarnya teman-teman bisa mengambil kesempatan ini. Toh teman-teman sudah pernah sarjana, pernah bikin skripsi yang penuh catatan kaki. Pernah diajari gimana membedakan subyek-predikan-obyek sejak SD. Peluangnya juga masih sangat terbuka, meski tentu saja persaingan itu ada.
Menulis cerpen, puisi, opini dan kemudian dikirim ke koran, bisa. Menjadi penulis kontent freelance, bisa juga. Nulis novel, buku, bagus itu. Yang jelas pekerjaan ini bisa menghasilkan uang, yang celakanya sering lebih besar dari gaji guru honorer.
2. Guru Privat
Masih sama-sama guru, tapi ini privat. Sasarannya biasanya orang-orang kaya yang punya anak sekolah. Mereka butuh bimbingan, dan teman-teman guru honorer punya kemampuan yang shohih. Bisa tuh kita tangkap peluang ini.
Kalau kita tidak bisa mencari sendiri orang yang butuh privat mungkin bisa bergabung dengan perusahaan yang membuka jasa ini. Selain ilmu kita tambah manfaat untuk orang lain, juga akan bermanfaat untuk diri kita sendiri dan dunia perdapuran. Terus terang, saya sendiri belum nyoba yang ini, tapi ada beberapa teman saya yang menjadikan guru privat sebagai pekerjaan sampingan. Makanya saya berani nyambungkan ke anda.
3. Jualan
Kalau yang ini sungguh pekerjaan yang menjanjikan. Tahulah, 99 dari 100 pintu rejeki juga terdapat dalam pekerjaan ini. Makanya, nggak mengherankan kalau sekarang banyak orang yang menjadikan jualan sebagai pekerjaan sampingan, meski penghasilannya kadang lebih besar dari pekerjaan utama.
Penyanyi menjual suaranya, ada juga yang jual goyangannya. Pejabat banyak yang jualan gunung, kereta api, batu bara, emas, dan SK. Kalian mau jualan apa? Apa sajalah yang penting halal, gitu kan jawabmu. Ehya, SK guru honorer itu laku nggak ya?
4. Blogger
Pekerjaan ini masih langka dan aneh di telinga teman-teman guru. Blogger, orang yang kerjanya bikin blog, membuat konten, yang kemudian mengundang banyak orang datang ke blognya, dan dari sanalah mereka mendapatkan bayaran. Ada juga sih yang tidak mengambil keuntungan dari web/blog meski pengunjungnya sudah ratusan ribu. Tapi kalau mau mengambil manfaat dari blog untuk mendapat uang, mubah saja menurut saya.
Bagi anda yang baru-baru mengenal blog, sebaiknya pilih pekerjaan lain sajalah dulu. Jualan mungkin lebih cepat mendatangkan keuntungan ketimbang ngeblog. Kalau anda baru tahu bahwa ngeblog bisa mendatangkan pundi-pundi, anda butuh waktu paling tidak 1 tahun baru bisa mendapatkan keuntungan. Trus utangnya mau nambah berapa, apalagi yang mau digadaikan kalau cuma ngandalin honor sekolah?
Hehe... ya, latihan dulu bikin blog, pelan-pelan, sambil jualan, sambil latihan nulis, sambil ngelesi privat, nanti kalau sudah mahir, blognya sudah banyak pengunjungnya, baru kemudian di earningkan.
Cuma empat ya, meski sebenarnya masih banyak yang lain. Sambil ngopi, baca-baca untuk mengasah imajinasi, kita bisa mencarinya sendiri.
Apakah kerja sampingan tidak mengganggu kerja guru?
Tanpa basa-basi saya jawab, “bisa ya, bisa tidak.”
Masalah mbagi waktu saja sebenarnya. Kalau kemudian ada yang bilang, “Ah, situ bukan guru profesional.” Ya memang, kalau profesional dimaknai dengan orang yang menekuni satu jenis pekerjaan tentu saja guru honorer dengan kerja sampingan tidak masuk kriteria itu. Meski banyak kita temukan guru profesional (dibuktikan sertifikan pendidik), yang gajinya 17 kali lipat dari honorer, masih banyak yang melakukan kerja sampingan. Mau apa? Laporin aja sana, siapa tahu dapat asbak.
Baca juga:
Tanggapan atas Tanggapan Menyakitan Yang Kerap Diterima Honorer
4 comments
commentsYa....
ReplyPostingannya keduluan nih, padahal sudah ada di draft...
Nggak apa-apa ya? Yang penting gayanya berbeda...
Thanks Master...
Salam Guru Muda,
www.gurumuda.web.id
hahaha...sangat menarik dan inspiratif Pak!!
Replysalam dari Bandung
Okky
makasih pak Yusron. iyalah, nggak apa-apa. tidak ada yang baru di dunia ini kan?
Replyterimakasih kunjungannya pak Okki. salam
Reply