Cerpen Jusuf AN
Dimuat pertama kali di Satelit Pos, 22 Desember 2013
Aku pulang, Ibu. Ingin aku meneriakkan tiga kata itu. Kalimat yang mungkin sudah aku ulangi ribuan kali. Dan jika benar aku melakukannya tadi barangkali kau yang kini ada di ruang belakang (aku yakin kau sedang di sana seperti biasanya) akan segera mendekat dan menanyaiku macam-macam. Tapi aku tak sanggup lagi mengatakan kalimat itu. Aku masuki rumah begitu saja, tanpa mengetuk pintu dan sepatah kata. Melintasi koridor ruang tengah yang senyap aku langsung menuju kamar berdinding warna biru, lalu kubanting pintu—sesuatu yang baru pertama kali ini aku lakukan. Pastilah kau akan mendengar bunyi pintu kayu yang aku banting.
Aku meloncat ke ranjang tanpa terlebih dulu menyalakan lampu. Cahaya bulan menerobosi kisi-kisi jendela meremangi ruang kamar. Tak ada angin masuk, hanya suara bising kendaraan yang tak habis-habis di luar rumah. Bantal yang kutinggalkan sebulan silam dalam keadaan basah, sekarang seolah masih basah, dan kini kembali aku basahi. Betapa aku tak kuasa membendung air mata setiap kali mengingat pengakuanmu tempo hari.
“Kau tetap anakku, Biru, meski Ibu….” Mengingat itu, ngilu benar dadaku. Sementara aku belum bisa, dan mungkin tak akan pernah bisa melupakan pengakuanmu. Aku, yang waktu itu baru saja pulang dari tempat kerja tentu saja merasa janggal dengan pembicaraan dan raut wajahmu yang merah padam.
“Ajal tak pernah diduga datangnya, Biru. Dan karena itu Ibu akan berdosa jika …” Kau memelukku tanpa menggenapkan kalimat terlebih dulu. Aku rasakan dadamu terguncang-guncang, juga basah dagumu di pundakku. “Kebenaran mesti dikatakan, Biru. Meski itu pahit bagi yang mendengar dan bagi yang mengatakan.”
“Ibu?”
“Biru, kau memang anakku,” suaranya tertahan sejenak. “Tetapi kau tidak lahir dari rahimku.”
“Ibu?”
“Panggil aku Ibu, meski mulai saat ini kau telah tahu, bahwa aku bukan perempuan yang melahirkanmu.” Terbata kau bicara, lalu menyapu air mata yang berleleran di wajahmu yang kian merah.
“Ibu?”
“Kau kira Ibu bersandiwara?”
Segala yang aku pandang seketika menghitam saat itu. Tenagaku serasa menguap. Tubuhku mendadak ringan. Aku terhuyung dan hampir saja terjatuh kalau saja kau tidak segera merangkul dan memapahku ke sofa.
“Katakan kalau Ibu baru saja berdusta!” lemah aku bicara.
“Kau memang anakku, tapi bukan berarti kau lahir dari rahimku.” Sekali lagi kau menegaskan bahwa kau sungguh-sunggu tidak tidak sedang bercanda. Tapi aku, yang selama lebih dari 25 tahun memanggilmu ibu dan menganggap bahwa kau benar-benar ibu kandungku karena memang kau begitu pantas dianggap demikian, tentu saja tidak dapat begitu saja menerima pengakuanmu.
Sementara kau hanya mendunduk, lalu mulai menuturkan masa lalu yang sungguh mirip dengan dongeng meski berkali-kali kau menegaskan bahwa itu cerita nyata:
Dua puluh lima tahun silam, pada suatu pagi yang gerimis sepulangmu dari rumah seorang dukun yang mengaku dapat membuatmu subur kau menemukan bayi yang tergolek di selokan di dekat rumahmu. Tanpa panjang pikir kau lantas membawa bayi itu dengan kain kerudungmu, lalu menunjukkan pada suamimu (lelaki yang kini sudah meninggal dunia yang dulu selalu aku panggil ayah). Begitulah, diberinya bayi itu dengan nama Biru, sebab waktu menemukannya di selokaan, kau mengaku melihat langit begitu biru tanpa sekapas awan mengotori.
Mendengar penuturanmu yang penuh isak aku yang waktu itu masih lemas terduduk di sofa seketika menghambur keluar rumah. Aku tak tahu apakah aku marah, sedih, atau kecewa. Adakah yang lebih parah dari kesakitan yang tidak dapat diberi nama? Selama sebulan aku habiskan waktu di jalanan, di kafe-kafe yang menjajakan minuman keras. Dan sekarang aku kembali lagi ke rumah ini tanpa tahu kenapa aku mesti kembali. Mungkin aku pulang karena uang di kantongku tak tersisa dan tak tahu bagaimana mesti menghibur diri dengan botol-botol anggur. Atau mungkin bukan karena itu. Aku sungguh tidak tahu.
***
SEJAK KAU kecil aku berusaha mendidikmu untuk menerima kenyataan hidup. Kebenaran mesti dikatakan, Biru, meskipun itu pahit bagi yang mendengar dan bagi yang mengatakannya, itulah kalimat yang sering aku katakan kepadamu. Mendengar kalimat itu, biasanya kau akan menambahi, bahwa tak seorang pun dapat memilih takdirnya. Tapi kenapa kau tak dapat menerima takdirmu sendiri, Biru? Kenapa kau pergi setelah mendengar kebenaran yang sungguh-sungguh benar?
Ah, ternyata aku gagal mendidikmu. Tetapi bukan berarti aku menyesal telah mengasuhmu lebih dari dua puluh lima tahun. Kau tak pernah tahu, Biru, jika kehadiranmu yang tiba-tiba telah merubah kehidupanku menjadi sebiru langit pagi hari.
Sejak menemukanmu pada suatu pagi di selokan di dekat rumah tinggalku, suamiku yang berniat menikah lagi karena aku tak dapat memberinya anak mendadak mengurungkan niatnya. Raut wajah suamiku (lelaki yang dulu kau panggil ayah) kembali cerah setelah aku tunjukkan segolek bayi yang aku temukan di selokan. “Lihatlah, matanya. Lihat! Bening bersih bercahaya. Aku yakin ia dilahirkan untuk kita,” ujar suamiku penuh kegirangan.
Tapi kami, aku dan suamiku, sering dicekam pertanyaan, bagaimana cara kami nanti mengatakan sejarah asal-usulmu. Kami tak dapat menjawab pertanyaan itu. Kami hanya bertekad suatu saat akan mengatakannya. Kami tak pernah menentukan waktu kapan akan mengatakan kebenaran asal-usulmu. Sampai kau tumbuh dewasa, sampai suamiku meninggal dan tinggal aku sendirian yang menanggung beratnya beban rahasia.
***
Waktu membeku di kamar ini. Aku menjerit untuk yang ketiga kali meski aku tahu dengan menjerit tak dapat mengurangi secuil pun rasa perih yang disebabkan oleh seribu pisau yang begitu saja menyerbu menguliti ragaku setiap kali aku mengingat pengakuanmu. Kau pastilah ada di ruang belakang sekarang. Kau pastilah mendengar suara pintu kamar yang aku banting dan tiga kali lengking jeritanku. Kau pasti tahu dengan kedatanganku kembali ke rumah ini. Rumah yang sempit. Antara kamarku dengan ruang belakang hanya dibatasi dinding kayu yang tipis. Suara bantingan pintu dan jeritanku pastilah terdengar jelas di ruang belakang. Tapi kenapa kau tak menghampiriku juga? Aku menunggumu, Ibu (betapa berat menyebutmu dengan sebutan lain). Aku menunggumu membuka pintu kamarku dan kemudian mengatakan bahwa apa yang kau katakan sebulan silam sekadar sandiwara, sebatas canda.
Lama aku menunggu. Jangankan pintu kamarku terbuka, suara langkah kaki mendekat kemari saja tak aku dengar. Kau di mana? Setelah diam cukup lama di kamar akhirnya aku keluar. Berdesir dadaku ketika tidak menemukan siapa pun di semua ruangan di rumah kecil ini selain kesunyian yang mencekam.
***
Bagaimana pun kenyataan mesti dikatakan, meski ujung-ujungnya adalah kepahitan. Betapa berat merawat rahasia selama lebih dari dua puluh lima tahun lamanya. Dan jauh hari sudah aku tebak kalau kau tidak akan menerima begitu saja pengakuanku. Tetapi sungguh, tak aku kira kau akan pergi. Pergi entah ke mana dan selama sebulan lamanya tak kembali.
Sudah aku cari kau di tempat kerjamu, di rumah pacarmu, di pemancingan, di kedai-kedai kopi, dan di jalan-jalan di kota ini yang tak pernah tidur. Mencarimu, sesukar mencari seekor ikan di kemahaluasan samudra. Tapi bukan berarti pencarianku berhenti. Aku terus mencarimu, mencari kabar tentangmu pada kawan-kawanmu dan rekan kerjamu, bahkan pada setiap orang yang aku jumpai dengan menunjukkan ciri-cirimu saat kau pergi. Namun tak seorang pun mengaku pernah melihat lelaki tinggi, ceking, beralis tebal, mengenakan celana panjang katun warna krem, dan kemeja biru kotak-kotak. Kebanyakan yang aku tanya menggeleng, dan sebagian lagi melengos menganggapku miring.
Pagi-pagi aku berangkat dan akan pulang saat malam benar-benar telah tua. Aku susuri jalan-jalan kota dan berusaha menghindar dari selokan. Betapa aku cemas setiap kali melihat selokan!
***
Kebenaran memang mesti dikatakan meskipun itu pahit. Aku jadi ingat kalimat yang sering kau ucapkan padaku itu. Dan baiklah, Ibu. Kalau memang nasibku benar-benar seperti yang kau ceritakan sebulan silam, seharusnya aku memang harus menerima kebenaran. Tetapi ini tidak gampang. Aku marah, Ibu. Aku marah dengan dirimu yang tidak sedari dulu mengatakan rahasia itu. Aku marah dengan diriku sendiri yang gagal menerima nasib yang diguratkan.
Malam kian meninggi. Dadaku diamuk ketidaktahuan serta kesunyian yang mencekam. Aku melangkah keluar rumah, sejenak berdiri di ambang pintu memandang bulan bundar pucat jelek seperti wajah mayat, kemudian bergegas menuju selokan di depan rumah.
Wonosobo, 2013
Dimuat pertama kali di Satelit Pos, 22 Desember 2013
Aku pulang, Ibu. Ingin aku meneriakkan tiga kata itu. Kalimat yang mungkin sudah aku ulangi ribuan kali. Dan jika benar aku melakukannya tadi barangkali kau yang kini ada di ruang belakang (aku yakin kau sedang di sana seperti biasanya) akan segera mendekat dan menanyaiku macam-macam. Tapi aku tak sanggup lagi mengatakan kalimat itu. Aku masuki rumah begitu saja, tanpa mengetuk pintu dan sepatah kata. Melintasi koridor ruang tengah yang senyap aku langsung menuju kamar berdinding warna biru, lalu kubanting pintu—sesuatu yang baru pertama kali ini aku lakukan. Pastilah kau akan mendengar bunyi pintu kayu yang aku banting.
Aku meloncat ke ranjang tanpa terlebih dulu menyalakan lampu. Cahaya bulan menerobosi kisi-kisi jendela meremangi ruang kamar. Tak ada angin masuk, hanya suara bising kendaraan yang tak habis-habis di luar rumah. Bantal yang kutinggalkan sebulan silam dalam keadaan basah, sekarang seolah masih basah, dan kini kembali aku basahi. Betapa aku tak kuasa membendung air mata setiap kali mengingat pengakuanmu tempo hari.
“Kau tetap anakku, Biru, meski Ibu….” Mengingat itu, ngilu benar dadaku. Sementara aku belum bisa, dan mungkin tak akan pernah bisa melupakan pengakuanmu. Aku, yang waktu itu baru saja pulang dari tempat kerja tentu saja merasa janggal dengan pembicaraan dan raut wajahmu yang merah padam.
“Ajal tak pernah diduga datangnya, Biru. Dan karena itu Ibu akan berdosa jika …” Kau memelukku tanpa menggenapkan kalimat terlebih dulu. Aku rasakan dadamu terguncang-guncang, juga basah dagumu di pundakku. “Kebenaran mesti dikatakan, Biru. Meski itu pahit bagi yang mendengar dan bagi yang mengatakan.”
“Ibu?”
“Biru, kau memang anakku,” suaranya tertahan sejenak. “Tetapi kau tidak lahir dari rahimku.”
“Ibu?”
“Panggil aku Ibu, meski mulai saat ini kau telah tahu, bahwa aku bukan perempuan yang melahirkanmu.” Terbata kau bicara, lalu menyapu air mata yang berleleran di wajahmu yang kian merah.
“Ibu?”
“Kau kira Ibu bersandiwara?”
Segala yang aku pandang seketika menghitam saat itu. Tenagaku serasa menguap. Tubuhku mendadak ringan. Aku terhuyung dan hampir saja terjatuh kalau saja kau tidak segera merangkul dan memapahku ke sofa.
“Katakan kalau Ibu baru saja berdusta!” lemah aku bicara.
“Kau memang anakku, tapi bukan berarti kau lahir dari rahimku.” Sekali lagi kau menegaskan bahwa kau sungguh-sunggu tidak tidak sedang bercanda. Tapi aku, yang selama lebih dari 25 tahun memanggilmu ibu dan menganggap bahwa kau benar-benar ibu kandungku karena memang kau begitu pantas dianggap demikian, tentu saja tidak dapat begitu saja menerima pengakuanmu.
Sementara kau hanya mendunduk, lalu mulai menuturkan masa lalu yang sungguh mirip dengan dongeng meski berkali-kali kau menegaskan bahwa itu cerita nyata:
Dua puluh lima tahun silam, pada suatu pagi yang gerimis sepulangmu dari rumah seorang dukun yang mengaku dapat membuatmu subur kau menemukan bayi yang tergolek di selokan di dekat rumahmu. Tanpa panjang pikir kau lantas membawa bayi itu dengan kain kerudungmu, lalu menunjukkan pada suamimu (lelaki yang kini sudah meninggal dunia yang dulu selalu aku panggil ayah). Begitulah, diberinya bayi itu dengan nama Biru, sebab waktu menemukannya di selokaan, kau mengaku melihat langit begitu biru tanpa sekapas awan mengotori.
Mendengar penuturanmu yang penuh isak aku yang waktu itu masih lemas terduduk di sofa seketika menghambur keluar rumah. Aku tak tahu apakah aku marah, sedih, atau kecewa. Adakah yang lebih parah dari kesakitan yang tidak dapat diberi nama? Selama sebulan aku habiskan waktu di jalanan, di kafe-kafe yang menjajakan minuman keras. Dan sekarang aku kembali lagi ke rumah ini tanpa tahu kenapa aku mesti kembali. Mungkin aku pulang karena uang di kantongku tak tersisa dan tak tahu bagaimana mesti menghibur diri dengan botol-botol anggur. Atau mungkin bukan karena itu. Aku sungguh tidak tahu.
***
SEJAK KAU kecil aku berusaha mendidikmu untuk menerima kenyataan hidup. Kebenaran mesti dikatakan, Biru, meskipun itu pahit bagi yang mendengar dan bagi yang mengatakannya, itulah kalimat yang sering aku katakan kepadamu. Mendengar kalimat itu, biasanya kau akan menambahi, bahwa tak seorang pun dapat memilih takdirnya. Tapi kenapa kau tak dapat menerima takdirmu sendiri, Biru? Kenapa kau pergi setelah mendengar kebenaran yang sungguh-sungguh benar?
Ah, ternyata aku gagal mendidikmu. Tetapi bukan berarti aku menyesal telah mengasuhmu lebih dari dua puluh lima tahun. Kau tak pernah tahu, Biru, jika kehadiranmu yang tiba-tiba telah merubah kehidupanku menjadi sebiru langit pagi hari.
Sejak menemukanmu pada suatu pagi di selokan di dekat rumah tinggalku, suamiku yang berniat menikah lagi karena aku tak dapat memberinya anak mendadak mengurungkan niatnya. Raut wajah suamiku (lelaki yang dulu kau panggil ayah) kembali cerah setelah aku tunjukkan segolek bayi yang aku temukan di selokan. “Lihatlah, matanya. Lihat! Bening bersih bercahaya. Aku yakin ia dilahirkan untuk kita,” ujar suamiku penuh kegirangan.
Tapi kami, aku dan suamiku, sering dicekam pertanyaan, bagaimana cara kami nanti mengatakan sejarah asal-usulmu. Kami tak dapat menjawab pertanyaan itu. Kami hanya bertekad suatu saat akan mengatakannya. Kami tak pernah menentukan waktu kapan akan mengatakan kebenaran asal-usulmu. Sampai kau tumbuh dewasa, sampai suamiku meninggal dan tinggal aku sendirian yang menanggung beratnya beban rahasia.
***
Waktu membeku di kamar ini. Aku menjerit untuk yang ketiga kali meski aku tahu dengan menjerit tak dapat mengurangi secuil pun rasa perih yang disebabkan oleh seribu pisau yang begitu saja menyerbu menguliti ragaku setiap kali aku mengingat pengakuanmu. Kau pastilah ada di ruang belakang sekarang. Kau pastilah mendengar suara pintu kamar yang aku banting dan tiga kali lengking jeritanku. Kau pasti tahu dengan kedatanganku kembali ke rumah ini. Rumah yang sempit. Antara kamarku dengan ruang belakang hanya dibatasi dinding kayu yang tipis. Suara bantingan pintu dan jeritanku pastilah terdengar jelas di ruang belakang. Tapi kenapa kau tak menghampiriku juga? Aku menunggumu, Ibu (betapa berat menyebutmu dengan sebutan lain). Aku menunggumu membuka pintu kamarku dan kemudian mengatakan bahwa apa yang kau katakan sebulan silam sekadar sandiwara, sebatas canda.
Lama aku menunggu. Jangankan pintu kamarku terbuka, suara langkah kaki mendekat kemari saja tak aku dengar. Kau di mana? Setelah diam cukup lama di kamar akhirnya aku keluar. Berdesir dadaku ketika tidak menemukan siapa pun di semua ruangan di rumah kecil ini selain kesunyian yang mencekam.
***
Bagaimana pun kenyataan mesti dikatakan, meski ujung-ujungnya adalah kepahitan. Betapa berat merawat rahasia selama lebih dari dua puluh lima tahun lamanya. Dan jauh hari sudah aku tebak kalau kau tidak akan menerima begitu saja pengakuanku. Tetapi sungguh, tak aku kira kau akan pergi. Pergi entah ke mana dan selama sebulan lamanya tak kembali.
Sudah aku cari kau di tempat kerjamu, di rumah pacarmu, di pemancingan, di kedai-kedai kopi, dan di jalan-jalan di kota ini yang tak pernah tidur. Mencarimu, sesukar mencari seekor ikan di kemahaluasan samudra. Tapi bukan berarti pencarianku berhenti. Aku terus mencarimu, mencari kabar tentangmu pada kawan-kawanmu dan rekan kerjamu, bahkan pada setiap orang yang aku jumpai dengan menunjukkan ciri-cirimu saat kau pergi. Namun tak seorang pun mengaku pernah melihat lelaki tinggi, ceking, beralis tebal, mengenakan celana panjang katun warna krem, dan kemeja biru kotak-kotak. Kebanyakan yang aku tanya menggeleng, dan sebagian lagi melengos menganggapku miring.
Pagi-pagi aku berangkat dan akan pulang saat malam benar-benar telah tua. Aku susuri jalan-jalan kota dan berusaha menghindar dari selokan. Betapa aku cemas setiap kali melihat selokan!
***
Kebenaran memang mesti dikatakan meskipun itu pahit. Aku jadi ingat kalimat yang sering kau ucapkan padaku itu. Dan baiklah, Ibu. Kalau memang nasibku benar-benar seperti yang kau ceritakan sebulan silam, seharusnya aku memang harus menerima kebenaran. Tetapi ini tidak gampang. Aku marah, Ibu. Aku marah dengan dirimu yang tidak sedari dulu mengatakan rahasia itu. Aku marah dengan diriku sendiri yang gagal menerima nasib yang diguratkan.
Malam kian meninggi. Dadaku diamuk ketidaktahuan serta kesunyian yang mencekam. Aku melangkah keluar rumah, sejenak berdiri di ambang pintu memandang bulan bundar pucat jelek seperti wajah mayat, kemudian bergegas menuju selokan di depan rumah.
Wonosobo, 2013