Ijinkan Siswa Memberi Nilai Gurunya

Pada dasarnya guru adalah manusia. Meski secara bahasa, konon guru berasal dari bahasa sansekerta, Gur-u yang artinya orang mulia. Apakah ada manusia benar-benar mulia, lepas dari salah dan dosa? Jika ada, mungkin ia adalah Sang Nabi.

Nabi Muhammad Saw sendiri memang maksum, terbebas dari dosa, tetapi bukan berarti beliau luput dari berbuat salah. Jika Nabi salah, maka Tuhan akan langsung menegurnya, dan secepatnya Nabi akan meminta ampun dan tidak mengulangi kesalahannya lagi.

Dalam dunia pendidikan, jika siswa salah, maka gurulah yang biasanya memberi tahu letak kesalahannya dan dari sanalah siswa bisa belajar. Lalu, bagaimana jika guru yang berbuat salah? Siapa akan menegur dan mengingatkannya?

Kepala sekolah tidak benar-benar tahu apa saja yang dilakukan guru, terutama ketika guru masuk kelas. Kepala sekolah memang berhak memberi nilai untuk anak buahnya, tetapi nilai yang diberikan Kepala Sekolah kerap hanya didasarkan dari administrasi, dan sikap si guru di depannya. Bahkan, bukan rahasia lagi, blangko penilaian yang semestinya diisi oleh Kepala Sekolah, sering dibagikan ke masing-masing guru untuk diisi sendiri—guru disuruh menilai dirinya sendiri.

Menilai diri sendiri bukanlah perkara gampang. Maka lahirlah pepatah: Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Meski ajaran agama sangat menyarankan agar kita giat mencari kesalahan sendiri sampai tidak punya waktu lagi untuk mengoreksi kesalahan orang lain, tapi toh kita kerap lalai.

Demikianlah, selama ini kita lebih gampang menilai orang lain ketimbang menilai diri kita sendiri. Meski memang belum tentu penilaian kita atas orang lain itu benar. Bisa jadi penilaian kita hanyalah sekadar prasangka saja, sekadar melihat tampilan luarnya saja. Tapi begitulah kita, tak bosan-bosan mengulang-ngulang prasangka.

Siswa, sebenarnya juga punya prasangka terhadap gurunya. Siswa dapat menilai bahwa guru Anu itu baik, bertanggung jawab, disiplin, galak, murah nilai, dan lain sebagainya. Tapi prasangka dan penilaian siswa terhadap guru-gurunya hanya digunjingkan pada jam-jam pelajaran kosong, di kantin, di kamar kos, atau di warung-warung tempat mereka biasa nongkrong. Guru mungkin tahu bahwa dirinya digunjingkan di mana-mana, tapi mereka tidak mau tahu hal apa yang siswa gunjingkan tentang dirinya.

Oleh sebab itulah, mungkin sudah waktunya sekolah, atau masing-masing guru memberikan waktu bagi siswa untuk menilai guru-guru mereka. Sudah waktunya kita sebagai guru mendengar suara anak didik kita secara langsung.

Ya, mendengar suara mereka; kritik dan saran dari para siswa sangat dibutuhkan. Kita tahu, salah satu kunci sukses dari sebuah pembelajaran adalah adanya keterbukaan. Siswa tidak perlu takut mengkritik gurunya, dan guru mesti membuka dadanya untuk dimasuki cahaya. Siswa memang tidak paham tentang metode belajar, tugas-tugas guru, RPP, atau jumlah utang gurunya di bang dan koperasi. Tapi mereka punya mata, telinga, dan hati, yang dengan itu mereka bisa menilai sesuatu.

Saya sudah melakukannya, dan karenanya saya menulis yang demikian, sekadar berbagi cerita.

“Kalian sudah menerima Raport, dan kini giliran saya menerima raport dari kalian.” Mereka cukup kaget, beberapa tampak tersenyum. Tapi mereka terlihat senang. Lebih-lebih ketika saya meneruskan, “Tulis kritik, masukan atau apa saja tentang saya, lalu berilah saya nilai dalam bentuk angka. Terserah berapa nilai yang akan kalian beriktan. Di kertas, dan jangan diberi nama.”

Ketika mendengar itu, mungkin mereka membatin, “Kapan lagi bisa mengkritik dan memberi nilai Pak Yusuf.”

Dalam seminggu ini, saya mendapat banyak lembaran raport dari siswa. Puji Tuhan yang Maha Membuka hati siapa saja untuk dimasuki kritik dan saran.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »