Rayuan Terakhir di Hari Kebangkitan

Cerpen Jusuf AN

Aku yang sudah sebulan penuh terpasung oleh puasamu, tiba waktunya untuk bangkit. Saat khutbah ‘Ied usai, seketika aku menggeliat, secepat kilat terbang melesat, meninggalkan tempat persembunyianku yang rahasia. Aku berdiri di genting masjid, di bawah langit mendung. Menunggumu, Somad!

Dadaku bergemuruh ketika mendengar orang-orang bershalawat, melihat mereka berbaris berderet-deret untuk bersalam-salaman. Melihat itu dadaku tersedak, ngilu; menangis aku tersedu-sedu. Kau tak juga terlihat di antara orang-orang yang mulai ribut mencari sandal di emperan masjid. Kau di mana, Somad? Apa yang kau kerjakan di dalam masjid? Cepatlah keluar! Sandal barumu, tidakkah kau cemaskan akan raib!

Puih! Betapa aku tak bisa meremehkanmu kini, wahai lelaki yang betah berdiam dalam masjid. Kau, yang dulu begitu mudah menuruti rayuanku, akankah kini tak mengindahkanku lagi? Betapa dadaku diremas cemas. Lebih seperempat abad aku menguntitmu. Sejak kau lahir, baru tahun ini kau dapat puasa sebulan penuh. Tak pernah terbayangkan; sangatlah memalukan buatku.

Dulu, kukira kau mudah kujadikan kekasih. Kukira kau tak jauh beda dengan warga di kampungmu. Sebuah kampung kecil dengan kehidupan kota: pemuda-pemuda yang senang hura-hura, mementingkan dandan, menghabiskan malam dengan arak dan gitar; orang-orang tua yang sibuk menumpuk harta, lupa pada bau tanah kubur; dan anak-anak gemar menetek pada televisi.

Kau bukan anak Kiai, bukan pula orang berharta. Ayahmu cuma seorang penjaga sekolah dasar, sedang ibumu penjual gorengan. Kau kecil jarang sekali singgah lama di rumah, tersebab tak ada televisi di rumahmu. Lalu kau tumbuh menjadi lelaki muda yang tampan, dengan tubuh kekar dan hidung paruh elang. Aku turut senang, karena dengan tubuh dan paras yang kau miliki, kau akan diidamkan banyak perempuan.

Dan benarlah. Dua bunga desa menawarimu madu saat usiamu dua puluh. Kau tak memilih salah satu di antara keduanya melainkan memilih kedua-duanya. Terimakasih, Somad, kau mau mendengarku.

Gita dan Dewi, mekar di dasar hatimu, mengisi mimpi-mimpimu, membuatmu sibuk merancang jadwal kencan dan bualan. Gita anak tuan tanah, dan Dewi anak kepala desa, jelas-jelas tak menjunjung martabat keluarga; bodoh benar mau mau menjadi pacarmu. Ai, ai, rayuanmu memang hebat, Somad. Dan tak perlu kau tahu siapa yang telah turut serta membantumu.

Tapi sayang, setelah dua bulan hubunganmu dengan dua gadis itu berjalan, wajah anjingmu terbongkar juga. Kau menyesal kenapa dulu tak memilih salah satu saja di antara mereka. Dan aku, begitu melihatmu menyesal begitu sigap bertindak. Aku, tentu saja tak ingin melihat tanganmu sepi dari menjamah tubuh perempuan dalam waktu lama. Maka segera kualirkan ketenangan ke dadamu, “Masih banyak bunga lain, Somad, sedang kau kumbang bersayap emas. Tak perlulah kau cemas!”

Sebulan berlalu, kau sudah berkali-kali mencoba mendekati bunga-bunga lain yang bermekaran di kampungmu, juga bunga-bunga di luar kampung. Tapi tak kau dapat juga. Akupun segera menjadi pembimbing setia bagimu. “Perempuan sekarang, tak hanya melihat tampang, Somad! Kau butuh sesuatu.”

Seminggu setelah rayuanku terus kuhembuskan ke dadamu, setelah sebelumnya kau mengalungkan golok ke leher ayahmu, kau membeli motor bekas dari uang penjualan sepetak tanah milik ayahmu. Aku tertawa, riang bukan kepalang. Kau yang cuma tamatan SD, akhirnya menjadi tukang ojek  dan pelamun yang tangguh. Yang kau lamunkan cuma satu: Fita. Perempuan anak Kepala esde tempat ayahmu bekerja.

Fita, bukan main, tak ada yang menandingi kejernihan matanya, putih wajahnya, dan keluwesannya dalam berpakaian. “Fita, kapankah aku dapat memboncengmu?”

Tenang, Somad, Fita sudah dekat padamu, sebentar lagi akan melingkarkan lengannya yang mulus ke perutmu. Aku kawanmu, Somad, sudah bosan mendengar igaumu setiap malam, menyebut-nyebut nama Fita melulu.

Dan untuk kesekian kalinya apa yang aku rencanakan dapat berjalan tanpa aral. Malam senyap ketika Fita melajukan motornya menyusuri jalan berbatu yang gelap. Di tengah perjalanan ban motornya bocor . Kau yang waktu itu bosan diam di rumah keluar menaiki motor, bermaksud membeli arak oplosan di pangkalan ojek. Ketika melihat Fita apes di tengah jalan, kau seperti melihat bulan yang jatuh dari langit. Kau menolongnya, menyandarkan motormu di tengah jalan untuk kemudian menuntun motor Fita sampai bengkel tambal ban. Fita turut berjalan mengiring motornya bersamamu, melahirkan pecakapan panjang yang menyejukkan dadaku. Senangnya aku—lebih-lebih kau—ketika menyadari kalau harapanmu untuk mendapatkan Fita mulai nampak tanda-tandanya.

Demikianlah, seminggu kemudian, Fita takluk padamu. Kau takluk padaku. Kau bonceng Fita ke tempat-tempat wisata: pantai, hutan, kebun binatang, juga candi-candi harum dupa. Tak butuh waktu lama, jari-jari Fita yang lentik menyerah untuk kau remas, pipinya dapat kau belai, dan ludahnya telah pula kau isap. Setahun lebih kau jalani hubungan cinta (demikian kau sering menyebutnya) dengan Fita, tentu tanpa sepengetahuan orang tuamu dan orang tua Fita. Sampai beberapa bulan kemudian terbersitlah keinginan di hatimu. Sebuah keinginan yang tak pernah aku turut menghembuskannnya: Menikah!

“Kau dengarkan aku, Somad! Ayahmu bisa dipecat karena niat konyolmu menikahi anak atasannya. Cinta tak butuh tanda tangan, camkan itu! Nikmati saja hari-harimu bersama Fita, tak usah berpikir untuk menikah segala.”

Tapi kau, yang belakangan sering diejek rekan sesama tukang ojek, yang usianya sepantaran denganmu tapi sudah beranak dua, menjadi sukar kurayu. Keinginanmu untuk menikahi Fita bergejolak, seperti perut gunung hendak meledak. Maka, pagi-pagi benar, sebelum ayahmu berangkat membuka pintu gerbang sekolah dasar, kau katakan keinginanmu itu.

Merah mata ayahmu. Membara wajahnya. Gemetar bibirnya. Mengencang urat lehernya.

“Kami saling cinta, Bapak. Restuilah kami.” Baru kali ini kudengar kau begitu takdzim pada orangtua. Ayahmu, yang tolol tapi penyabar, begitu mendengar rengekanmu seketika mengendur syaraf tegangnya.

“Kau memang sudah waktunya menikah. Tapi bukan dengan mbak Fita!”

“Sungguh, Bapak, cuma Fita seorang gadis yang kucinta, lamarkanlah untukku.”

Ayahmu lalu menawarimu beberapa gadis sekampung yang sejajar dengan status keluargamu. Yati, Khoiriyah, Siti, Sri, Juwar. Setiap disebutkan nama gadis pilihan ayahmu, setiap itu pula kau menggelengkan kepala. Dadamu batu. Kepalamu batu. Cuma Fita yang kau mau.
Sungguh, tak kutemukan celah di hatimu untuk melupakan keinginanmu untuk menikah. Tapi untunglah, berkali-kali kau telah merengek pada ayah-ibumu untuk melamarkan Fita, berkalali-kali itu pula kau tak mendapat restu. Hingga keluarlah dari mulutmu perkataan yang tak pernah aku sangka: “Tuhan tidak adil!”

“Aha! Kau benar, Somad. Tuhan memang tak adil. Kalau ia adil, pasti kau lahir di keluarga kaya dan akan dapat bersanding dengan Fita di pelaminan.”

Dadamu remuk, ketika pada akhirnya Fita melanjutkan kuliah ke kota. Kau yang tak ingin mati oleh rindu memilih menyusulnya—merantau ke kota tempat Fita kuliah, berharap dapat melanjutkan hubunganmu di tempat yang jauh.

Selama setahun kau mencari tempat kos Fita dan akhirnya berhasil ketemu. Tapi malang, Fita telah hinggap pada kumbang lain. Kau tak berdaya dengan takdir pahitmu kemudian mengadu pada berbotol-botol arak.

Sampai di sini aku masih pemenang atasmu. Aku masih menganggap kau temanku yang setia. Sampai Ramadhan kedua sejak kepergianmu. Ramadhan celaka yang menyerangku, memasungku dengan puasa yang kau jalani.

Aku tak percaya ketika malam pertama Ramadhan kau mendadak terbangun tengah malam. Kau terbangun begitu saja, tanpa kutahu sebabnya. Lama kau terdiam di atas gelaran busa di kamarmu. Menerawang isi kepalamu, aku jadi tahu, kepalamu dikuasai bayangan rumah. Rumah dan dua orang tuamu yang telah kau tinggalkan hampir dua tahun. Kau terbayang wajah ayahmu yang selalu teduh dan bersemangat. Juga wajah ibumu yang kemerahan di depan tungku. Kau teringat masa kecilmu, saat-saat kau selalu membuntut ibumu kemana pun pergi. Kau terkenang pada ayahmu yang tak pernah mengeluhkan nasib. Kau menundukkan kepala saat ingat dengan dosamu sewaktu mengalungkan golok ke leher ayahmu demi sepeda motor. Mendadak dadamu dipenuhi rasa penyesalan; hatimu disergap kerinduan. Dan kau merencanakan sebuah kepulangan.

Aku tersintak. Tak percaya. Tidak mungkin, tidak mungkin!

Cepat-cepat aku berjuang untuk membangkitkan ingatan masa lalumu; tentang orang tuamu yang tak mau melamarkan Fita. Aku tahu, sampai sekarang kau masih percaya jika dulu orang tuamu mau melamarkan Fita, pastilah keluarga Fita akan setuju. Sebab kau sendiri pernah mendengar dari mulut Fita, kalau keluarga Fita tidak memandang status keluarga.

Sekuat tenaga aku mencoba menjejalkan masa lalu yang paling kau benci itu, tapi tak sepenuhnya berhasil. Beberapa kali, kau sempat terbersit ingatan tentang itu. Namun, seakan ada kekuatan lain yang membentengi dadamu, menghalau kenangan yang kujejalkan di kepalamu.

Mungkin, ya, sangat mungkin, orang tuamu kini tengah terjaga, memanjatkan doa-doa untukmu. Ya, kesadaranmu yang mendadak tegap berdiri tentulah bukan kebetulan semata, melainkan pasti ada sebabnya.

Aku membujukmu untuk kembali tidur, tapi kau tak mau. Kau bergerak membakar rokok, kemudian keluar kamar, berjalan menuju warung makan. Tapi celaka, di dadamu kulihat seberkas cahaya. Cahaya yang lahir dari niatmu untuk berpuasa esok hari, membuatku panik sekali.

Inilah awal mula aku menjadi sering salah menebak isi dada dan kepalamu. Tadinya kukira kau tak akan sanggup menjalani puasa sehari penuh sebagaimana tahun lalu, disebabkan kerjamu sebagai kondektur bus kota butuh tenaga ekstra. Aku yang telah terpasung oleh puasamu menjerit-jerit, berontak, mencoba melepaskan diri, yakni dengan cara membujukmu, terus-terusan membujukmu untuk membatalkan puasa pertamamu. Tapi seberkas cahaya yang lahir sebelum kau sahur benar-benar telah merepotkanku. Niatmu untuk berpuasa tidak main-main, membuat sekujur tubuhku lemas tak berdaya.

Somad, kalau kau ingin memutus persahabatan denganku, baiklah. Aku boleh terpasung oleh puasamu. Tapi tunggu nanti! Ketika Ramadhan habis, aku akan bangkit dengan kekuatan penuh. Tunggulah, aku sudah memiliki sebuah rencana besar untukmu, Somad!

Aku tahu, kau masih mendambakan Fita. Hatimu tak terbuka untuk perempuan lain kecuali anak kepala sekolah itu. Seminggu sebelum kepulanganmu, kau sudah mengantongi kabar tentang Fita dari kawan sekampung. Fita yang telah berhenti kuliah karena tak betah tinggal berjauhan dengan orang tua, ternyata juga sering menanyakan kabarmu. Sudah ada beberapa pemuda datang melamarnya, tetapi Fita menolaknya.

Di atas bus yang melaju membawamu pulang berkali-kali kau terbayang wajah gadis itu. Kau yakin, Fita sebenarnya juga masih menginginkan menjalin hubungan denganmu. Fita adalah masa lalu sekaligus masa depanmu.

Kampung halaman menyambut kepulanganmu dengan adzan subuh yang menderaku. Dua orang tuamu terpana, tak percaya melihat kepulanganmu. Kau tak berkata banyak, kecuali membuka tas dan memberikan seplastik besar oleh-oleh untuk orang tua dan dua adikmu. Setelah mandi, kau mengganti baju dan sarung baru, segera menuju masjid untuk merayakan kemenangan. Aku mengeram, bersiap melancarkan rencana yang telah kususun.

Kini, jama’ah shalat ‘Ied sudah bubar. Tak ada lagi sandal terlihat di emperan masjid. Kalau pun ada itu cuma sepasang sandal jepit yang beda warnanya. Kuharap nanti, kau akan mengutuk orang yang mencuri sandalmu. Dan kutukanmu akan membuat celah di hatimu sebagai jalan bagiku untuk bisa memasukinya.

Kaulah orang terakhir yang keluar dari masjid itu. Setelah berusaha mencari sandal barumu dan tak menemukannya, kau memilih pulang dengan kaki telanjang. Kau sedikit jengkel tapi tak mengutuk orang yang mengambil sandalmu. Wajahmu nampak bersih, dan dadamu, puih, membuat pandanganku silau. Kau tampak seolah-olah telah menang, Somad. Tapi jangan dulu bangga, karena sebentar lagi, akan aku padamkan cahaya di dadamu.

Aku tahu, nanti, sebelum kau sungkem di lutut orang tuamu, kau telah berencana untuk kembali meminta mereka agar mau melamarkan Fita. Aku tahu, keinginanmu menikah dengannya masih menggebu-gebu. Sedang orang tuamu pastilah tak sudi memenuhi keinginanmu yang satu itu. Betapa dua dada yang batu yang bertemu akan mencipta percik api. Dan di tanganku, api sangat berguna, terutama untuk membakar cinta; melenyapkan cahaya dadamu, Somad!

Mungkin nanti kau akan merengek memaksa mereka. Sementara orang tuamu tak goyah, tak sudi menuruti permintaan cengengmu. Lalu kau marah. Di saat kau marah, saat itulah timbul celah di dadamu untuk kumasuki. Aku akan segera menyelusup, menyatu dengan darahmu, menggerakkan otakmu, menjadi tuan bagi tubuh dan lidahmu. Tak akan pernah ada sungkeman antara kau dengan orang tuamu. Yang ada nanti adalah perang mulut antara kau dan mereka. Perang mulut yang berpeluang melahirkan kutukan, mungkin juga maut!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »