Cerpen Jusuf AN
(Pernah dimuat di Minggu Pagi)
Tiba-tiba arakan awan hitam menelan bulan yang tengah ia pandang. Pucuk-pucuk dedaun pohonan dan rerumput liar bergoyang dalam gelap yang kental. Ia tahu, awan tak akan memuntahkan lagi bulan yang telah ditelannya itu. Dan entah kenapa ia juga tahu—ketika bulan hilang begitu—rumahnya akan kedatangan tamu. Akan tetapi ia tak pernah tahu dari mana tamu-tamu itu tahu alamat rumahnya.
Rumahnya berdiri di tengah ladang yang ditumbuhi aneka tanaman dan terletak jauh dari keramaian. Ah, ah, kadang ia merasa menjadi orang yang terkenal. Seorang yang dibutuhkan.
Setelah mendongak dan memandangi awan pekat sejenak, ia berjingkat masuk ke rumah. Menyalakan lampu ruang tengah, ia duduk menunggu pintu terketuk. Dan benarlah, tak berapa lama kemudian pintu rumahnya terketuk. Dua orang, lelaki dan perempuan dipersilahkannya masuk. Ia tahu apa tujuan mereka datang ke rumahnya. Betapa sering ia melihat air muka serupa mereka berdua. Meski begitu matanya tetap saja menelan wajah dua tamunya untuk memastikan dugaannya. Dua wajah memerah, dengan sepasang-sepasang mata bengkak, seperti ditimbuni kecemasan.
Mendadak ia tercekat setelah mengamati lebih jeli dua pasang mata dua orang tamunya. Ia merasa pernah melihatnya. Tapi di mana? Selama ini ia lebih sering diam di rumah, menunggu tamu dan mengurus bayi-bayi yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Ia tak pernah keluar rumah jauh-jauh. Paling jauh ke pasar setiap pahing dan kliwon untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Ia mencoba berpikir keras lagi, di mana pernah melihat wajah yang begitu mirip dengan dua tamunya itu? Ya, ia ingat. Di mana lagi kalau bukan di rumah ini!
"Aku sudah tahu apa yang kalian mau," ujarnya dengan suara parau yang serak. Dua tamunya, yang duduk berdampingan di kursi panjang dari rotan, saling pandang. "Dan aku tak akan melakukannya." Keheningan merayapi dinding-dinding kayu rumah itu. "Dan aku tahu kalian akan memaksaku." Ketus dan menekan suaranya. Di luar angin bangkit dari kegelapan, menelusup ke celah-celah dinding rumah itu. "Dan aku tak akan mau dipaksa." Dua tamunya masih diam. Saling meremas tangan. Mereka berdua seperti berada di atas sekoci di tengah lautan yang ganas. Wajah mereka kian memerah dan pias. "Sudah sepatutnya kalian berdua menerima, toh itu akibat ulah kalian yang tergesa-gesa," lanjutnya.
"Tapi, Nek…" tamu laki-laki coba memotong.
"Aku tahu apa yang akan kau katakan," katanya. "Semua orang yang datang kemari juga begitu."
"Nek, kami mohon… ." Tamu perempuan mengangkat tanganya dan lunglai kembali ketika tuan rumah memotong:
"Aku manusia, bukan tempat untuk memohon."
Serangga malam ramai bersahutan. Menggenapkan gelap di luar. Melengkapi sunyi di dalam rumah itu. Dan bulan belum juga keluar dari perut awan hitam.
"Kami menyesal, Nek, menyesal. Tapi kami masih muda. Masih punya masa depan yang panjang."
Ia tercenung sejenak.
"Kami dengar…"
Mendadak suara tangis bayi pecah dari ruang sebelah. Ia tak menghiraukan perkataan tamunya dan segera menuju sumber suara, dan keluar lagi menemui tamunya sembari menimang bayi yang masih hijau.
"Aku tak ingin tahu dari mana kalian tahu tentangku hingga memutuskan datang kemari. Jika orang-orang di luar sana jujur, pastilah kalian sudah tahu: belum pernah aku melakukan apa yang sedang kalian ingini."
"Nenek memang orang yang bijak," sanjung tamu lelaki.
"Baru kau yang bilang begitu. Dan aku tak butuh sanjunganmu."
"Kami memang dua anak nakal yang tak tahu diri. Dan aku, mhhh, aku ingin menitipkan…" lelaki itu memandang perempuan di sebelahnya. "Aku mohon Nenek berkenan menjaganya sampai melahirkan."
"Bagus. Bagus kalau kau sudah tahu. Oya, tentunya kalian juga sudah tahu, kelak kalian bisa mengambil bayinya setelah membayar biaya kebutuhan hidup si ibu selama di sini dan biaya persalinan. Aku harap, kalian tak seperti yang lain-lain, yang membawa bayinya setelah lahir."
"Kami paham, Nek." Serentak keduanya menjawab.
"Bagus. Namamu?" Ia memandang tamu perempuan.
"Aku Najwa."
"Dan aku Nasihun."
"Hmm, wajah kalian mengingatkanku dengan seseorang yang sudah dua kali datang kemari."
"Siapa?" segera laki dan perempuan itu bertanya.
"Siapa?" Mata yang kecoklatan menerawang, mencoba mengingat-ingat lagi wajah seorang tamu yang sudah bertahun-tahun lalu datang padanya. "Mada. Ya, namanya Mada. Aku selalu ingat nama itu karena mirip Gajahmada. Dulu, ia datang kemari dengan niat sama seperti kalian. Dan aku menolaknya. Seperti kebanyakan tamuku, ia tak mengambil bayinya dan terpaksa aku memberikan bayinya pada orang lain yang memintanya. Kukira ia sudah jera, tapi ternyata ia datang lagi dua tahun kemudian dengan perempuan yang berbeda dan tak mengambil bayinya pula."
Kedua tamunya saling pandang. Berjuta tanya mengendap di pelupuk mata mereka.
"Apa aku salah jika memberikan bayi-bayi yang tak diambil oleh orang tuanya itu pada orang lain yang ingin merawatnya?"
Mereka berdua menggeleng.
"Apa aku dosa jika kemudian meminta imbalan sebagai ganti biaya perawatan dan persalinan pada orang yang meminta bayi yang ada padaku?"
Mereka berpandangan, lalu menggeleng.
"Apa kalian juga akan seperti mereka yang tak mengambil bayi-bayinya?"
Keduanya menggeleng pelan dan berat, sangat berat.
***
Sudah enam bulan Najwa tinggal di rumah itu. Itu berarti sudah sembilan bulan usia kandungannya kini. Ia tidak sendiri. Ada tiga perempuan lain yang juga tengah hamil tua. Dua perempuan di antaranya datang sendiri dan satunya lagi datang bersama seorang lelaki. Najwa tahu, sebab pada saat mereka datang ia sedang duduk di bale-bale di depan rumah itu menunggu bulan yang tiba-tiba hilang di telan awan hitam kembali keluar.
Betapa ketika melihat bulan Najwa selalu teringat awal perjumpaannya dengan Nasihun. Ai, ai, romantisnya Nasihun ketika pertama kali menunjukkan bulan bundar di sebuah pantai yang damai. Waktu itu Nasihun sendirian dan tanpa sungkan duduk di atas pasir di sebelahnya dan kemudian menunjukkan bulan bundar di langit abu. Nasihun mengaku sering melihatnya di pantai itu. Dan kelak Najwa tahu, bahwa Nasihun juga mempunyai kebiasaan yang sama dengannya: mendatangi pantai saat penat di dada mulai memadat.
Mengenal Nasihun ia merasa mendapatkan sebuah bulan yang selalu bundar. Bukan karena wajah Nasihun yang bundar seperti wajahnya, melainkan karena kelembutan yang Nasihun berikan. Suaranya lembut. Perhatian yang ia berikan lembut. Sentuhan-sentuhan jari-jemarinya begitu lembut. Nasihun sering datang ke rumah dan mengajaknya keluar. Dengan senang hati kedua orang tua Najwa mengijinkan. Mungkin orang tuanya percaya jika Najwa bisa menjaga diri. Atau, mereka takut Najwa akan marah. Entahlah. Yang terang, Najwa begitu dimanja oleh orang tuanya. Wajar saja. Najwa merupakan anak satu-satunya.
Kadang Najwa heran, kenapa ia dan Nasihun memiliki banyak kesamaan. Mereka berdua anak pertama sekaligus terakhir. Wajah mereka sama bundar dengan bola mata yang sama hitam dan hidung yang sama mancung. Sungguh, mereka seperti kakak beradik. Banyak orang, termasuk juga orang tua mereka, menganggap mereka pasangan yang serasi.
Tapi, Najwa hancur sekarang. Sendirian saja ia hancur. Nasihun sama sekali tak pernah menjenguknya. Dan tak mungkin Najwa mencari Nasihun dengan perut sebesar balon yang hampir meledak seperti itu. Apa jadinya jika ada orang yang mengenalinya dan kemudian mengabarkan keadaannya pada orangtuanya. Pastilah kehidupannya akan bertambah hancur pula.
Di kota, mungkin Nasihun sedang memandangi bulan seperti yang ia lakukan sekarang. Ya, tak mungkin Nasihun melupakan kebiasaannya, memandangi bulan saat purnama. Adakah orang lain menemani Nasihun? Entahlah. Najwa kembali mengelus perutnya. Kata Nenek tak akan lama lagi ia akan melahirkan. Bagaimana nasib bayinya nanti? Siapa yang akan mengasuhnya? Dari mana ia mendapatkan uang untuk mengganti biaya perawatan dan persalinan? Belum ia temukan jawaban itu ketika bulan mendadak memucat dan hilang tertutup awan. Hanya Nenek yang tahu, sebentar lagi akan ada tamu bertandang.
***
"Kau tidak lupa dengan tempat ini?!" perempuan tua itu tergelegak ketika membuka pintu dan melihat wajah tamunya. Ingatannya sungguh kuat, mungkin karena teratur meminum ramuan dari tumbuh-tumbuhan di sekeliling rumahnya. "Ya Tuhan, apa mesti aku lakukan?" Nanar ia tatap tamu lelaki yang datang bersama seorang perempuan dengan perut yang besar itu. Ya, tak salah lagi, lelaki itu adalah Nasihun. Lelaki yang pernah datang bersama Najwa beberapa bulan yang silam. Lelaki yang dulu pernah berjanji akan mengambil bayinya. Lelaki yang membiarkan Najwa sedih dan kesakitan karena tak pernah menjenguknya.
Bibirnya gemetar. Ia teringat saat Najwa melahirkan dan menyebut-nyebut nama Nasihun sampai pingsan. Ia juga teringat saat memberikan nama Bulan pada bayi Najwa karena seringnya memergoki Najwa melihat bulan. Dan yang yang paling menghujam jantungnya adalah ketika ia teringat saat Najwa pamitan meninggalkan Bulan yang baru berumur 3 hari. Juga ketika seseorang datang meminta Bulan, anak Najwa dan Nasihun, untuk diangkatnya menjadi anak.
"Maaf, Nek. Kedatangan kami kemari…"
"Sudah! Sudah! Sudah bosan aku mendengarnya. Kau boleh pergi dan biarkan perempuan itu tinggal di sini."
Nasihun menangkap kemarahan perempuan tua itu dari geram suaranya. Ia pandangi perempuan yang duduk di sampingnya, memberi kecupan di kening dan berbisik: "Tenanglah, aku akan sering menjengukmu." Kemudian Nasihun berbegas keluar dan hilang di kegelapan.
Setelah mengantarkan tamu perempuan yang baru datang bersama Nasihun itu ke sebuah kamar, ia keluar dan duduk di bale-bale bambu di depan rumah. Angin mengibaskan rambutnya yang perak dan membelai kerut-keriput di wajahnya. Langit pekat. Serangga malam murung berkoar-koar. Ia teringat Najwa yang setahun lalu masih tinggal di situ dan sering duduk berlama-lama memandangi bulan. Mengingat Najwa, ia juga teringat Nasihun serta lelaki bernama Mada yang dulu sudah datang dua kali dengan dua perempuan yang berbeda.