Cerpen Jusuf AN
“Ia mungkin sedang bersama perempuan
lain? Kenapa teleponku tidak diangkat? Atau ada siswanya yang berandal
menghadangnya di jalan, lalu menghajarnya sampai pingsan? Ah, tak mungkin. Ia tak
pernah punya masalah dengan siswa. Tapi, ya, sangat mungkin ia berkencan dengan salah seorang
siswanya?”
Memang, bukan kali pertama Rama pulang
terlambat. Namun, biasanya Rama akan memberi kabar pada pagi sebelum berangkat,
mengatakan bahwa nanti dirinya harus lembur. Atau jika tidak, Rama akan menelepon
Sri, mengabarkan ada urusan mendadak, semisal takjiyah atau hajatan ke rekan guru
di luar kota. Atau paling tidak, Rama akan menerima panggilan Sri jika Rama
sedang tidak ada pulsa.
Tadi pagi, sebelum berangkat ngantor, Rama hanya berpesan agar Sri
menjaga Kukuh lebih ketat karena anak itu sudah bisa berlari dan sering mencuri
waktu keluar rumah saat melihat pintu melongo. Sepeda motor Rama juga baru
diservis, ban luarnya yang gundul sudah diganti dengan ban baru. Kalau pun
saking apesnya ban motornya menginjak paku di jalan raya, bukankah Rama masih
bisa menjawab panggilan teleponku, batin Sri.
Pikiran-pikiran itu membuat hati Sri risau. Rasa itu kian mencekam manakala Sri teringat berita
televisi yang ditontonnya pagi tadi: seorang Guru menzinai murid sendiri. Juga perbincangan
hangat di warung Yu Darmi kemarin hari, tentang Pak Romadhon yang ketahuan serong dengan rekan sekantor.
Dada Sri mendadak berdesir. Ia
berjingkat dari sofa, melangkah mendekati jendela, menyingkap horden,
menyalangkan pandang ke luar. Sri melihat gerimis merinai dalam remang cahaya
lampu beranda. Sesaat kemudian, ia balikkan badan ketika ponselnya berdering.
Kukuh yang tengah memainkan ponsel itu,
buru-buru berlari menghampiri Sri, seakan-akan paham maksud dering itu tapi tak
tahu apa yang harus dilakukan.
Sebuah pesan pendek masuk, dari Wildan: Aku sedang memandang hujan sambil mengingat-ingat senyummu, Sri.
Setelah mengulang membaca pesan itu tiga
kali, Sri buru-buru menghapusnya. Ia tak
ingin suaminya membaca pesan itu lalu bertanya ini-itu. Meskipun, sungguh,
sejak Sri menikah dengan Rama tiga tahun silam, Rama sama sekali belum pernah
membuka-buka handphone-nya. Ketika
ada telepon atau pesan masuk dan Sri tak ada, Rama hanya mendiamkannya saja.
Sebaliknya, Sri selalu merasa harus tahu tentang Rama: siapa saja yang
berhubungan dengannya, membaca semua pesan singkat baik yang masuk maupun yang
terkirim, dan tak lupa menanyakan pesan-pesan yang dirasanya ganjil.
Sri kembali teringat dengan Wildan, juga
pesan singkat yang baru ia terima. Pesan yang sudah terhapus dari memori
ponselnya tetapi telah melekat kuat di dinding kepalanya. Wildan adalah laki-laki yang pernah mengisi hati Sri, jauh sebelum
dirinya mengenal Rama. Kemarin, menjelang siang, lelaki tambun itu bertandang
ke rumah, seolah-olah mengetahui bahwa pada jam-jam itu suami Sri tak ada. Sri
memuliakannya sebagai seorang tamu. Tapi Sri sempat kikuk saat Wildan
mengungkap kenangan masa lalunya, terutama kenangan saat mereka berdua berboncengan
berbasah-basah menerjang gerimis. Sri sudah punya Rama, sudah beranak satu
pula, tetapi kenangan-kenangan tentang Wildan sebagai pacar pertamanya, masih
sering berdenyut di kepalanya. Lebih-lebih ketika Wildan bertandang ke rumah dengan
sebuah mobil sedan, mengaku kalau sekarang dirinya bekerja di bank dan masih lajang.
Sri baru saja membopong Kukuh,
mendudukkannya di sofa, lalu menghidupkan televisi, ketika ponselnya kembali
berdering mengabarkan pesan baru.
Sri,
aku mau bertamu malam ini. Boleh ya?
Wildan, kenapa kau begitu
nekat? Bukankah kemarin kau sudah lihat anakku dan foto pernikahanku di dinding
ruang tamu? Sri tidak menjawab pesan itu. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Sampai kemudian sebuah telepon ia terima, dari Rama.
“Maaf, Sri. Aku bersama rekan-rekan guru
baru takjiyah di Tegal, ibunya Pak kepala sekolah meninggal. Handphone-ku ketinggalan di kantor.”
“Ah, sudah, sudah. Cepatlah pulang!”
“Nunggu hujan reda ya? Aku lupa tidak
bawa jas hujan...”
“Hujan? Di sini cuma gerimis? Memangnya
Mas di mana?”
“Ya di sekolahan. Masa’ aku bohong. Di
sini hujan deras sekali, Sri. Kamu
tidak percaya?”
“Kenapa Mas tidak sekalian menginap di
situ saja!”
“Kau mengijinkan? Kawan-kawan Guru juga
banyak yang menginap di sini. Aku juga tidak tahu, kapan hujan akan reda.”
“Aku ngantuk!” Sri merutuk, menutup
telepon. Kesal. Wajahnya bermuram durja. Kukuh yang duduk selonjor sofa sudah terlelap.
Televisi di depannya gantian menonton kepolosan wajah bocah itu.
Setelah membopong Kukuh ke kamar, hati Sri
diaduk perasaan tidak menentu. Berbaring telentang di sebelah Kukuh, pikiran Sri
melayang.
Kenapa selama ini Rama begitu
membebaskanku, tak pernah mengecek handphone-ku?
Tidakkah itu merupakan wujud ketidakpeduliannya padaku? Atau jangan-jangan Rama
menyesal telah menikah denganku, lalu membiarkanku berhubungan dengan siapa
yang aku mau, berharap aku menemukan lelaki lain dan Rama senang hati akan
melepaskanku?
Pikirannya meloncat-loncat, antara
Wildan yang berniat datang, dan suaminya yang memilih menginap di sekolahan.
Sampai Wildan kembali mengirimkan pesan: Perasaanku
mengatakan, kamu mengijinkanku, Sri. Aku sudah
siap meluncur ke rumahmu.
Apakah Wildan tahu kalau suamiku belum
pulang? Lalu jempol Sri gemetaran menari di atas tombol-tombol ponselnya: Yup, aku tunggu...
Entahlah, seakan ada yang menarik lengan
Sri berjingkat dari ranjang, menuntunnya mengganti baju, merapikan rambut, menebalkan
celak, bersolek di muka cermin, bersiap menyambut kedatangan Wildan. Gerimis di
luar kini telah menjadi hujan. Dan Sri semakin yakin kalau suaminya akan
menginap di sekolahan. Jangan-jangan di sekolahan Rama sedang berduaan dengan
rekan guru yang perempuan? Sempat terlintas tanya itu dalam hati, dan itu justru
membuatnya lebih bersemangat berdandan.
Terbayang di benak Sri, di luar mobil
Wildan telah menerebos deras hujan. Sri akan dengan senang hati membukakan
pintu, bahkan sebelum daunnya terketuk. Wildan akan masuk, lalu Sri menawarinya
kopi jahe. Kemudian mereka akan ngobrol sambil sesekali berpandangan, membahasakan
sesuatu yang tidak pantas diucapkan. Kalaupun nanti mendadak hujan reda dan Rama
memutuskan pulang, Sri akan bersikap tenang, jujur menerangkan bahwa Wildan
adalah mantan kekasihnya yang sekarang bekerja di bank dan masih lajang. Sri
ingin mengetahui wajah Rama saat mendengar keterangannya itu.
Wonosobo, Maret 2011