Apa itu kreativitas? Kreativitas adalah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dalam berbagai bidang kehidupan;
proses konstuksi ide yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan berbagai masalah; pengembangan sebuah teori atau
konsep. Seseorang
dikatakan kreatif apabila ia bisa menciptakan sesuatu yang baru atau
mengembangkan sesutu yang sebelumnya sudah ada dengan lebih baik.
Sedangkan tren, sering diartikan sebagai gaya mutakhir atau gaya modern. Secara
istilah tren bisa diartikan
sebagai suatu kecenderungan
manusia untuk mengikuti suatu objek yang menjadi pusat perhatian pada masa-masa
tertentu.
Sebuah tren tidak bisa
dilepaskan dari kreativitas. Sebab tren sendiri mula-mula dimunculkan oleh
sebuah ide atau gagasan, atau produk yang diciptakan oleh manusia, atau hasil
kreativitas dari manusia.
Sesuatu menjadi nge-tren,
tentu membutuhkan sebuah proses, bahkan tren itu sendiri sengaja diciptakan
dengan berbagai cara. Media (cetak dan elektronik) memiliki andil yang besar
dalam menge-trenkan sesuatu, baik itu produk atau hasil pemikiran. Dulu handphone
polyphonic sempat menjadi tren tetapi kemudian berangsur-angsur
hilang dan berganti dengan produk baru, querty, lalu blackbarry,
dan sekarang i-phone. Dulu Frenster sangat terkenal bagi penggila
dunia maya, tetapi sekarang sudah digantikan Facebook dan Twitter.
Dalam dunia perbukuan pun
sering muncul tren. Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi sampai sekarang masih menjadi sebuah tren di dunia perbukuan. Hal ini dipahami benar
oleh para penerbit bahwa selera pembeli di negeri ini pastilah tidak jauh-jauh
dari kedua novel itu.
Maka kita tidak heran ketika banyak usaha ditempuh untuk
mengekalkan selera pasar buku itu. Mulai dari pilihan tema, desain cover, judul
buku, sampai nama penulis yang dibuat mirip dengan kecenderungan buku yang
menjadi tren.
Buku yang berisi drama percintaan religius dengan setting Timur
Tengah mendadak begitu banyak lahir. Cover bergambar realis, seorang perempuan
mengenakan cadar dan hanya menampakkan sepasang matanya yang misteri tiba-tiba
sangat sering dipakai. Judul buku yang menggunakan frasa “cinta” ditambah
dengan embel-embel “kisah pembangun jiwa” juga banyak muncul. Dan terakhir, dan
ini yang paling aneh, banyak penulis mengganti atau menggunakan nama pena yang
berbau-bau “El” dan “Al”, epigon dengan nama El Shirazy.
Fenomena di atas sekilas memang terasa aneh dan konyol. Buku, yang
notabene merupakan sebuah produk intelektual, ternyata tidak jauh beda
dengan rokok, pasta gigi, ponsel, atau sepeda motor. Itu
terjadi karena potret pembeli (bukan pembaca) buku di Indonesia, lebih didasari
kemasan ketimbang isi. Minat untuk membeli dilandasi karena gejolak tren bukan
karena kebutuhan. (Jusuf
AN, Jawapos, 23/11/2008)
Untuk bisa
kreatif dan bahkan membuat tren sendiri tentu tidaklah mudah. Kita membutuhkan
kesabaran dan ketekukan, juga terus belajar dari karya-karya (produk) yang
sudah ada. Perlu diketahui bahwa menjadi epigon tidak selamanya buruk. Epigon yang
buruk adalah epigon yang tidak berusaha menciptakan kebaruan dari hasil kreativitasnya.
Mark Zuckerberg, pencipta
facebook, tentu membuat jejaring sosial tersebut karena terinspirasi dari apa
yang sebelumnya sudah ada. Juga orang-orang kreatif lainnya, semuanya pastilah
mendapat ide tidak dari ruang kosong. Kreativitas bisa dicapai melalui proses
panjang dan tidak semudah membalik telapak tangan.
Lalu bagaimana upaya yang
mesti kita lakukan dalam mengawal dan mengarahkan tren? Ini pertanyaan yang sebenarnya
sangat sulit dijawab. Tetapi lihatlah fenomena berikut:
Para desainer fashion
mengadakan ajang fashion show untuk mengarahkan tren. Prodeuser barang-barang
elektronik mengadakan bazar, memasang space iklan di mana-mana, dalam upaya
agar produknya bisa menjadi tren.
Media merupakan ruang ampuh
untuk mengendalikan selera publik. Iklan yang terus menerus di televisi secara
tidak langsung masuk ke alam pikir kita sehingga kita pun tersihir untuk
mengikuti anjuran iklan.
Penulis membayangkan, betapa
sulitnya mengawal dan mengarahkan sebuah tren jika tidak bekerja sama dengan
media, atau membuat media tandingan yang lebih kuat. Tetapi lagi-lagi, karakter
utama media yang sebagai lahan bisnis sulit diajak untuk berkompromi,
lebih-lebih jika kita tidak memiliki uang yang cukup.
Maka dari itu, pengawalan
dan pengarahan sebuah tren mestilah kita mulai dari diri kita sendiri. Caranya
adalah dengan mempopulerkan apa-apa yang kita anggap memiliki nilai positif, syukur-syukur
bisa menciptakan hasil kreativitas yang baik dan bermutu kemuduian mencoba kita
populerkan.
Kita barangkali sepakat, tidak
semua tren itu buruk. Yang buruk adalah ketika seseorang mengikuti sebuah tren
(arus utama) tanpa disertai alasan yang kuat, dalam artian hanya ikut-ikutan
saja. (M. Yusuf Amin Nugroho)