Menulis untuk Hidup dan Mati
Wahai Maut, wahai Kematianku
Berbisiklah kepadaku
Hanya karena dirimulah aku berjaga-jaga
Dari hari ke hari
(Rabindranath Tagore)
Saya diam saja ketika istri saya kaget melihat saya pulang dengan
membawa empat buku dalam plastik hitam. “Beli buku lagi, Mas?”
Mumpung ada pemeran, saya cuma membatin. Saya tak berani mengeraskan
suara, sadar benar bahwa keuangan kami sedang kurang sehat sehingga istriku
tidak begitu senang dengan kenekatanku membeli buku. Tapi sungguh, saya tidak
menyesal. Pikirku, nanti juga pasti ada rejeki. Belum ada sejarahnya kami, yang
hidup pas-pasan ini, tidak makan dalam sehari. Selalu ada. Saya sering teringat
apa yang dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani ketika terpikir soal rejeki:
“Rejeki itu berlari lebih kencang ketimbang larimu mengejarnya.”
Dan soal buku tidak bisa saya tunda. Belum tentu setahun sekali, di kota
saya ada pameran buku. Inilah kesempatan mendapatkan buku bermutu dan murah. Maka,
begitu masuk ruang pameran, saya langsung menuju lapak buku yang diobral.
Ampun! Bejibun buku. Pemandangan itu menggairahkan jiwa saya, sekaligus membuat
saya merinding ngeri. Teringat, betapa sebuah buku yang digarap dengan susah
payah oleh penulisnya, pada akhirnya di jual begitu murah. Teringat, dengan nasib
novel saya yang entah bagaimana. Teringat, seorang kawan yang belum berani
menerbitkan buku karena giris dengan pemandangan di pameran seperti yang sedang
saya lihat itu.
Empat buku akhirnya saya dapatkan. Dua buku Rabindranath Tagore, Pantai
Keabadian dan Masa Kecilku. Sebuah buku karya Beni Hidayat berjudul
Datuk Hitam. Tiga buku itu masing-masing cuma Rp. 5000,-. Lalu, karena
kebutuhan referansi untuk novel yang sedang saya garap, saya tergoda lagi untuk
membeli buku Hitam-Putih FPI karya Andri Rosali, cuma Rp. 10.000.
Pasar buku memang misteri. Betapa banyak buku yang telah ditulis baik
dan dirancang sedemikian rupa, tetapi tidak mendapat sambutan baik dari publik.
Ada juga buku yang isinya biasa saja, tetapi publik begitu antusias
menyambutnya. Ah, saya jadi teringat juga akan Parodi Samuel Mulia di Kompas
Minggu (4/12/2011) ini: “Jika bisa menabur sedikit tetapi menuai banyak, kenapa
tidak?”
Menulis biasa saja, dengan gaya yang umum, cerita yang biasa, perspektif
yang lumrah, tetapi berharap buku bisa laku keras, bisakah? Sangat mungkin
bisa. Tetapi masing-masing penulis tentu memiliki kepuasan yang berbeda dari
setiap karya yang dihasilkan, tidak semata urusan materi, faktor buku laris
atau tidak.
Menulis (bagi saya) adalah untuk hidup dan mati!
Bagaimana dengan engkau, Kawan?