M.Yusuf Amin Nugroho
Judul tulisan tersebut adalah kesimpulan dari deretan kalimat dalam artikel ini.
UN sudah selesai. Guru siswa, orangtua, sudah cukup lega, meski belum sepenuhnya. Sebab untuk SMP dan SD belum ada pengumuman kelusan, sampai artikel ini ditulis. Tapi tenanglah, tetap optimislah bahwa semua akan baik-baik saja. Kalau pun tidak lulus, memang untuk tahun ini tidak ada lagi ujian susulan, tetapi masa depan tidak ditentukan oleh ijazah bukan.
Apa pun yang terjadi—di luar pro kontra UN dan kriteria kelulusan siswa tahun ini—adalah kenyataan yang harus diterima. Itulah yang terbaik, meskipun kadang-kadang TAKDIR itu hal tersebut tidak kita inginkan dan begitu kita benci. Maka, ketika kamu, anakmu, temanmu, atau orang-orang disekitarmu tidak lulus meskipun telah berdoa, mujahadah, sampai sungkeman dengan membasuh kaki ibu berjamaah (ini yang cukup konyol), itu bukan berarti kamu, dia, atau mereka itu tidak diperhatikan Tuhan. Sama sekali bukan. Bisa jadi aku, kamu, ia, dan mereka tidak lulus adalah karena kebesaran cinta Tuhan terhadapmu. Lho? Nah, kan! Dengarkan ini, “Doamu selalu dikabulkan, meski tidak sama persis dengan yang kamu mintakan.” Masa depan tetap misteri, kecuali bagi Penguasa langit dan bumi yang Maha Tinggi.
Meskipun kita tak memiliki daya dan upaya sedikitpun tanpa kehendak Tuhan, sebab-akibat atau hukum alam atau sunnatullah tetaplah patut diperhatikan. Dan berdasarkan hukum alam, agaknya untuk tahun ini akan terjadi peningkatan prosentase kelulusan di semua jenjang pendidikan ( SD, SLTP, SLTA). Kenapa? Karena kriteria kelulusan tahun ini tidak seketat tahun yang lalu. Semua orang sudah tahu, bahwa kelulusan tahun ini tidak hanya ditentukan oleh hasil UN, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai raport dan Ujian Akhir Sekolah/Madrasah (UAS/UAM). So, lagi-lagi tariklah napas lebih dalam, semoga kamu, ia, dan mereka tidak termasuk kelompok orang-orang yang tidak lulus yang jumlahnya lebih sedikit dibanding yang lulus.
Lalu, bagaimana pula cara menghitungnya untuk menentukan lulus dan tidaknya? Cukup rumit memang, lebih-lebih bagi aku, kamu, dia. atau mereka yang kurang pintar matematika. Begini rumus dari BNSP: Ujian Nasional : 60% (X) dan 40 % Nilai Raport dan Ujian sekolah (Y). Rumusnya adalah sebagai berikut : 0.6X + 0.4Y. Ah, ah, macam mana pula tuh pake persen-persen segala. Misalkan begini:
Standard Nilai Kelulusan = 5.5, Nilai UN Matematika = 4, Nilai rata-rata gabungan Raport semester 3,4,5 + UAS =7 maka = 0.6 x 4 + 0.4 x 7 = 2.4 + 2.8 = 5.2 TIDAK LULUS . Aduh! Semoga microsoft exel atau kalkulator atau aplikasi khusus untuk menghitung ini selalu fit menjalankan tugasnya, sehingga semua berjalan lancar!
Dengan kriteria kelulusan yang seperti itu, tahun ini terjadi peningkatan angka kelulusan pada jenjang SMA/MA. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) membeberkan (seturut Kompas, 16/5/2011) data: Dari seluruh 1.461.941 peserta UN SMA/MA, 1.450.498 atau 99.22 persen siswa lulus, sementara 11.443 atau 0.78 persen siswa lainnya dinyatakan tidak lulus. Pada tahun ajaran sebelumnya (2009-2010), dari 1.522.195 peserta yang mengikuti ujian nasional, yang lulus hanya 1.368.938 atau 89.93 persen, dan 153.257 atau sama dengan 10.07 persen lainnya tidak lulus.
Kalau kamu ingin tersenyum gembira lega dada lihatlah angka yang 99,22 persen itu. Wah nyaris seratus persen kan? Kalau kamu pengen hati-hati dan waspada lihatlah angka 11.443. Masya Allah, ternyata 0, 78 persen itu begitu banyak amat ya! Tetapi yang terang, tahun ini terjadi peningkatan sekitar 10 persen. Catat itu!
Eit, bagi kawan-kawan SMA/MA yang sudah lulus, jangan terlalu besar hati lebih-lebih membanggakan diri dululah. Karena semua peraturan tentang kriteria kelulusan itu belum tentu murni jerih usahamu sendiri. Bisa jadi anak-anak yang lulus itu cuma ngawur ngerjakan soal, bisa jadi ya ya, meski kemungkinan itu kecil. Kemungkinan yang agak besar dari itu adalah, mereka, para siswa mencontek atau mencontoh jawaban temannya yang sebenarnya tidak pintar tapi tergolong orang-orang yang beruntung. Kemungkinan lebih besar lagi, anak-anak yang lulus itu dibantu oleh Bapak/Ibu Guru/Kepala Sekolah/Kepala Dinas Pendidikan/Bupati. Lho, lho! Jangan asal tuduh!
Maaf, saya tidak sedang menuduh, melainkan sedang berpikir kritis berdasarkan budaya dan sekian fenomena yang terjadi disekeliling kita. Begini logika saya:
1. Semua Bapak/Ibu Guru/Kepala Sekolah menginginkan semua anak didiknya lulus, meski senakal dan sekurang apa pun nilainya.
2. Angka kelulusan adalah martabat bagi semua sekolahan. Semakin banyak siswa yang lulus maka citranya akan semakin baik, banyak orang tua akan mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut. Kepala sekolah akan disanjung-sanjung atasannya, dan lain-lain yang intinya penuh dengan senyum.
3. Bupati bisa jadi akan memasang wajah cemberut jika angka kelulusan di daerah kekuasaannya rendah. Karena semua itu akan ditulis di koran-koran, diperbincangkan di meja-meja sidang. Juga karena keberhasilan pendidikan di suatu wilayah sering ditentukan berdasarkan anga kelulusan.
Saya teringat dengan salah seorang sahabat yang pernah menulis mahalnya pendidikan di wonosobo tidak sebanding dengan rendahnya kualitasnya. Jika diukur dengan presentasi kelulusan UN Wonosobo mendapat ranking (kalau saya tidak salah dengar) 3 dari bawah. Ini tentu membuat elite pengusa kebakaran jenggot untuk kemudian menggenjot “kualitas itu”. Kualitas di sini dalam artian prosentase kelulusan, meskipun sebenarnya prosentase kelulusan sama sekali bukanlah alat yang tepat untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Lebih-lebih untuk tahun ini.
Rumus untuk menghitung kriteria kelulusan siswa di atas tadi itu memang tak bisa lagi diowah-owah, saklek, dan harga mati. UN+UAM/UAS=60%+40%. Untuk yang 60 persen itu, saya masih cukup bisa mempercayai kefalidan datanya. Ini didasarkan pada Soal UN yang terdiri dari 5 macam paket, pengawasan sirkulasi soal dan saat UN dilaksanakan yang bisa dikatakan ketat, serta komputer yang akurat dan tidak pernah berbohong saat mengoreksi LJK. Kalau pun masih ada siswa yang nyontek, mencontoh teman, sms-an, dapat bocoran, itu jumlahnya sangat kecil, berdasarkan pengabaran media. Tapi bagaimana dengan nilai UAS/UAM? Bagaimana dengan raport? Saya geleng-geleng kepala, tidak begitu yakin akan kemurniannya. Lho, kenapa? Ya berdasarkan 3 logika di atas.
Karena semua sekolah ingin 100 persen meluluskan siswanya. Karena Kepala Daerah tidak ingin kebakaran jenggot. Karena untuk terbuka kesempatan cukup lebar untuk mengakalinya.
Kita yang guru/bekerja di sekolah/instansi pendidikan pastilah sudah tahu, bahwa UAS/UAM, meskipun mengginakan LJK tetapi proses pelaksanaan dan pengoreksiannya dilakukan secara mandiri oleh sekolah yang bersangkutan. Sekali lagi saya katakan, “Saya tidak sedang menuduh terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UAM/UAS itu.” Namun begitu, Kepala Daerah yang tidak ingin kebakaran jenggot bisa jadi akan melakukan apa pun supaya prosentase angka kelulusan di daerah kekuasaannya meningkat. Mungkin, ia akan mengumpulkan para ajudannya dari mulai camat, kepala dinas pendidikan, kepala kementerian agama, dan lain-lain. Mereka akan berembug agar bagaimana angka kelulusan meningkat, lalu ketemu jalan ini: rame-rame mencurangi nilai. Kemudian, setelah kesepakatan itu terjadi, lahirlah srategi. Semua kepala sekolah dikumpulkan di dinas pendidikan atau entahlah, mereka lalu diceramahi macam-macam, tentang hasil rapat dengan Bupati/Wali Kota, yang intinya adalah mewajibkan kepada setiap sekolah agar bagaimana caranya meningkatkan angka kelulusan, kalau perlu 100 persen. Kepala sekolah mengadakan breafing dengan semua anak buahnya, dengan dada yang sakit dan nurani yang terasayat ia mengumumkan kepada para korektor UAM/UAS untuk memanipulasi hasil. Meskipun itu agak repot karena harus menghapus arsiran dalam lingkaran-lingkaran kecil, mengganti dengan jawaban yang benar, tetapi karena itu sudah disabdakan sang Bupati/Kepala Daerah maka tetap saja dilakukan. Kelak, jika dilakukan pemeriksaan ulang oleh Pusat/Wilayah maka semuanya sudah beres, karena jawaban yang salah sudah dibenarkan. Tidak ada bukti terjadi kecurangan. Semua saksi tutup mulut rapat-rapat, hanya hati dan nuraninya saja yang barangkali menjerit-jerit.
Itu baru UAM/UAS. Belum lagi raport. Ah, selama masih bikinan manusia, penggantian raport baru pun akan diusahakan demi predikat, martabat, dan prestasi yang semu belaka.
Maka, kenaikan angka kelulusan SMA/MA tahun ini yang mencapai 10% itu bisa jadi hanya omong kosong, karena disebaliknya banyak keringat dan tangan-tangan yang gemetar telah memanipulasinya. Dan saya berani bertaruh, prosentase kelulusan SMP/MTs dan SD/MI tahun ini juga akan meningkat, barangkali lebih tinggi dibanding peningkatan kelulusan siswa jenjang SMA/MA.
Wahai, kuharap tidak ada yang marah, dongkol atau pun sedih melihat asumsi-asumsi tersebut. Barangkali itu semata-mata karena keliaran pikiran saya. Tetapi sungguh, sudah menjadi budaya masyarakat kita untuk “seolah-olah budiman dan taat aturan”, hingga lahirlah banyolan: PERATURAN BUKAN UNTUK DITAATI tetapi UNTUK DISIASATI. Aturan satu mobil bertiga di Jakarta membuka lapangan kerja baru, yakni orang-orang yang menyediakan jasa domplengan untuk mobil-mobil pribadi yang disetir hanya satu/dua orang. Belum lagi beberapa UU/Kerpes/Peraturan RT yang memiliki makna ganda sehingga mudah diselengkan seuatu dengan kepentingan. Hakim, jaksa, pengacara, atau pun terdakwa. Perilah aturan kelulusan yang longgar itu, juga sangat rentan disiasati oleh aku, kamu, dia, atau pun mereka disebabkan kepentingan masing-masing.
SMS untuk Pak Menteri Pendidikan Nasional
Pak Nuh yang berbhakti kepada Ibu, kalau pun aturan kriteria kelulusan siswa tahun ini akan kembali diterapkan tahun nanti, saya berharap ke depan proses pengawalannya lebih diperketat lagi. Proses UAM/UAS itu khususnya, barangkali lebih aman kalau dilakukan pengawasan silang dan langsung dikoreksi komputer. Semoga pendidikan di negeri ini tambah maju, bukan sekadar angka-angkanya. Salam.