KASROH

ka_fathah_ka_ka_kasroh_ki_KaKi_by_alantrytolearn_art

Cerpen Jusuf AN
Dimuat pertama kali di Harian Lampung Post, Minggu 12 Februari 2006

Ketika suara geluduk menggetarkan bumi, gadis itu memicingkan kelopak matanya, menahan getir keruh air sungai yang terpaksa ia reguk kerena kehausan begitu mendalam. Kepalanya mendogak ke langit: hitam warnanya. Rambut panjang ikal mayang dibelai segelumbang angin kencang dari lereng pebukitan. Gadis itu menunduk, mengamati bayangan wajahnya mengalun di air sungai berwarna kecoklatan.

Jauh sudah ia melangkah. Tulang kakinya seperti hendak patah. Warna merah masih tertanam di sepasang bola mata kecilnya. "Mengapa Papa melarang Kasroh bangun? Apa salah Kasroh, Papa?" Ia seolah tak percaya, mengapa papa Dhomir sampai hati mengusirnya…

Malam tahun baru Kasroh diam di rumah. Papa Dhomir tak juga nampak bersamanya. Sepi menghunuskan senjatanya yang paling menyakitkan. Kasroh termenung, bingung memikirkan PR Bu Guru Asih untuk menggambar pemandangan alam pegunungan yang harus dikumpulkan senin depan. Ia tak mau dibilang anak malas oleh Bu Guru Ningsih kalau tidak mengerjakannya. Tapi alangkah susah baginya untuk menggambar pemandangan pegunungan. Belum pernah ia mencobanya. Ia lebih suka menggambar pemandangan pantai, dengan alunan ombak yang besar, serta satu dua pobon kelapa tanpa daun -- warna merah lautan dan hitam langit. Tak ada matahari atau rembulan, pun juga bintang dalam gambar pemandangan pantai yang Kasroh buat. Bu Guru Asih sempat tertegun ketika suatu kali melihatnya, lantas memberitahukan, bahwa warna langit itu bagusnya biru, dihiasi gumpalan awan warna putih, akan lebih indah jika diberi matahari yang mengintip dalam arakan awan. Jika suasana malam kasihlah bintang dan rembulan.

"Tapi pantai yang pernah Kasroh lihat, mirip seperti itu, Bu Guru," jelas Kasroh dengan tatapan mata penuh percaya. Bu Guru Asih hanya menggedek-gedekkan kepala, seolah heran. Sementara teman-teman yang lain menertawai Kasroh.

Meski merasa kesulitan menggambar pemandangan gunung akhirnya Kasroh mulai mencobanya. Tangan mungilnya menggoras-gores crayon di atas kertas gambar. Mula-mula ia membuat satu gunung lancip seperti segi tiga, lantas area pesawahan kotak-kotak lengkap dengan tanaman padi yang baru ditanam. Kemudian ia membuat jalan raya berkelok-kelok yang terdapat sebuah jembatan. Dan yang terakhir adalah sebuah sungai yang mengalir di bawah jembatan yang telah ia garap. Jadilah. Kasroh tersenyum.

Dulu, selesai menggambar Kasroh akan duduk di pangkuan mama Jer, sambil membuka lembar demi lembar buku gambarnya. Mama Jer termangu, mengapa tak ada lukisan selain pantai? Meski heran, mama Jer tak mau menanyakannya. Ia tak ingin mengungkit masa lalu Kasroh yang sebenarnya ia tahu. Mama Jer hanya memujinya, mencubit mesra hidung Kasroh yang mungil. Andai mama Jer masih ada, tentu Kasroh akan menunjukkan lukisan pemandangan pegunungannya. Dan pasti mama Jer akan memujinya dengan mengatakan, alangkah pintar anak mama.

Mata Kasroh tiba-tiba berembun ketika teringat kejadian tragis saat ia pulang sekolah. Waktu itu ia heran karena tak ditemui mama Jer menyambutnya di depan pintu. "Mama…" Kasroh berteriak memanggilnya. Tak nampak mama Jer ada di taman belakang. Kasroh memanggilnya lagi. Tapi jawabannya adalah gaung suaranya sendiri. Ia memberanikan diri membuka kamar mama Jer. Tak nampak mama Jer ada di dalam. Rumah itu sepi. Kasroh bisa mendengar nafas dari hidungnya terengah-engah. Bibi Onah, perempuan tua yang bekerja menjadi pembantu di rumah itu tak nampak pula. Mungkin ia tengah pergi ke pasar. "Mama…" masih tak terdengar mama Jer menjawab. Kasroh menuju kamar mandi. Dilihatnya pintu itu terbuka. Dan ketika kepalanya melongok ke dalam, ia tersentak. Ia mendapati mama Jer tergolek di lantai. Gadis kecil itu menjerit. Dua telapak tangannya merapat di muka, seperti saat ia bermainn ci-luk-ba. Darah hitam terlihat mengalir pelan dari batok kepala mama Jer melintasi garis-garis keramik menuju lobang pembuangan.

Kasroh ucak-ucak matanya. Ia ingin membuang kejadian itu dari ingatannya. Dan tiba-tiba mulut gadis itu menguap lebar. Ia melangkah menuju kamar dan dengan cepat terlelap.

Jam wekernya berbunyi pukul 4:30. Kasroh tak kaget ketika membuka matanya dan melihat papa Dhomir mendekap tubuhnya. Tapi manakala hendak bangun papa Dhomir memegang lengannya dan menyuruhnya untuk tetap tidur. Kata papa Dhomir, hari masih gelap. Kasroh menjawab, subuh sudah tiba, Papa.

Kasroh sebenarnya tak keberatan jika papa Dhomir tidur di kamarnya. Sebab, ketika sendirian dalam kamar, Kasroh sering menangkap bayangan mengerikan yang muncul dengan tiba-tiba di tirai jendela. Jelas itu bukan bayangan mama Jer. Ketika Kasroh hendak menjerit bayangan itu sudah dulu menghilang. Dengan adanya papa Dhomir di sisinya, ia menjadi tenang, bayangan aneh itu tak pernah lagi muncul. Namun ada hal yang membuat Kasroh terganggu. Tengah malam, ia sering bangun mendadak karena kaget ada orang menyelinap masuk dalam selimutnya, lalu mengeloninya. Ketika tahu bahwa itu papa Dhomir, Kasroh pun membiarkan. Pelukan papa Dhomir menghangatkannya. Tapi nafas papa Dhomir beraroma tak sedap selalu berhembus kencang, mendengus-dengus di lehernya, begitu mengusik Kasroh. Tangan papa Dhomir selalu berkeliaran meraba-raba dadanya yang rata, kadang masuk ke dalam rok Kasroh. Dan sesuatu yang keras seperti tongkat kasti dibalik celana papa Dhomir terasa mengganjal di pantatnya. Kasroh tak berani mengatakan, bahwa selain Kasroh bisa tenang tidur bersama papa Dhomir, ia juga mengganggu.

"Kau milih tetap tidur, apa pergi dari rumah ini?!" ucap papa Dhomir datar.

Kasroh terdiam. Ia ingat kata-kata mama Jer: Tuhan akan mengasihi orang yang bangun sebelum matahari muncul. Sementara papa Dhomir mengulangi lagi pertanyaan yang sama. Kasroh masih diam, bingung untuk memilih. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tidak memilih. Ia meloncat dari ranjang tidurnya tanpa menghiraukan pertanyaan papa Dhomir. Papa Dhomir mengulangi lagi pertanyaannya dengan wajah dan suara seperti seekor singa.

"Hari sudah pagi, Papa." Langkah Kasroh terhenti di depan pintu kamar.

"Tetap tidur atau kau tak tidur untuk selamanya di rumah ini?" Mata papa Dhomir merah merangah bagai api berkobar-kobar.

Kasroh tetap teguh dengan pendiriannya. Tapi papa Dhomir bertambah marah dengan sikap Kasroh. Ia berdiri, menyeret lengan Kasroh hingga ke luar rumah. Kasroh meronta sekuat tenaga. Tapi sia-sia. Dengan mudah tubuh Kasroh dilempar di lantai beranda.

"Papa!" Kasroh bangkit. Menggedor-gedor pintu yang terkunci dari dalam dengan tangan terkepal.

Dari dalam, papa Dhomir meningkahi: "Asal kau tahu, ini bukan rumahmu!"

Bukan rumahku? Papa pasti bercanda, pikir Kasroh. Ia telah setahun tinggal di rumah itu. Ia masih ingat ketika tengah bermain di depan sebuah tenda bersama anak-anak sepantarannya, ada dua lelaki memanggilnya dan mengaku akan mengantarkan pulang ke tempat orang tuanya. Di mana? Kasroh bingung waktu itu. Ia selayak Jakcy Chan dalam film How I'm I yang kehilangan ingatan masa lalu. Memang ada sebagian peristiwa yang masih tersimpan dalam otaknya, tapi terpenggal-penggal dan buram, seperti sebuah mimpi buruk yang kacau balau. Ia tak mengerti apa-apa: siapa dirinya dan orangtuanya. Maka, Kasroh pun menurut ketika dua lelaki itu mengaku akan mengantarkan pada orang tuanya.

Di mobil Kasroh bertemu beberapa bocah yang katanya juga akan di antar ke rumah orang tuanya. Alangkah baiknya orang itu, pikir Kasroh. Entah berapa lama waktu perjalanan. Mungkin berjam-jam, atau berhari-hari. Mungkin Kasroh telah turun dari mobil itu, lalu naik kereta, atau ia telah terbang dengan pesawat, bahkan bisa jadi telah menyeberangi lautan. Tak ada yang Kasroh bisa rekam. Tidurnya begitu tenang meski kosong akan impian.

Ketika bangun, Kasroh masih melihat wajah dua orang berbaju rapi duduk mengapitnya di jok belakang. Kemana bocah-bocah yang tadi bersamanya? Kasroh mengira mereka telah ada di rumah orangtuanya. Mobil itu berhenti di halaman sebuah rumah cukup besar. Kemudian Kasroh ditunjukan wajah papa Dhomir dan mama Jer oleh dua lelaki itu.

"Ini rumah Kasroh, Papa!" Pagi masih hitam. Jalan raya masih lengang. Kasroh kembali menggedor kaca jendela. Ia yakin bahwa itu adalah rumahnya. Sementara papa Dhomir sama sekali tak hirau dengan parau suaranya. Berulang-ulang Kasroh memanggilnya, meminta dibukakan pintu untuknya. Namun, sampai suaranya tak tersisa, sampai jalan raya ramai, sampai matahari mencapai puncak, papa Dhomir belum juga membukakan pintu untuknya. Kasroh duduk terkapar bersandar daun pintu. Setengah sadar, ia berdiri, lalu menggerakkan kakinya selangkah demi selangkah. Ia berjalan membawa kesedihan menyusuri jalan aspal. Tak tahu kemana kan tuju. Jauh. Tak terasa jauh sudah tapak kakinya telah membawanya. Angin datang merayap, menjilat-jilat air mata dan luka hatinya yang tercecer di jalan-jalan, menerbangkannya ke angkasa lalu menjelma awan hitam.

Demikianlah, tak tahu lagi kemana Kasroh harus melangkah. Tulang-tulang kakinya seperti hendak patah. Cacing dalam pertunya berbunyi, mengingatkannya jika seharian belum makan.

"Mama…." Kasroh masih menangis. Mama Jer yang sangat mengasihinya telah tiada. Hingga kini Kasroh tak tahu penyebab kematiannya. Kata papa Dhomir sakit. Entah sakit apa, Kasroh tak tahu. Padahal semalam sebelum mama Jer mininggal, Kasroh masih sempat mendengar percakapan mama Jer dan papa Dhomir. Kasroh tak tahu persis apa yang dibicarakan. Tapi samar-samar ia mendengar namanya berkali-kali di sebut dalam percakapan yang lebih mirip tengkar itu. Tangisnya akan membuncah jika ia terkenang kematian mama Jer yang entah.

Hanya tangis yang mungkin bisa sedikit menepis perih seorang gadis kecil seperti Kasroh. Air matanya bagai hujan sore ini. Deras. Disertai angin kencang meliukkan ranting pepohonan di pebukitan. Kilat bercabang-cabang. Petir menggelegar, membuat Kasroh takut tersambar. Jauh di kaki bukit sana Kasroh melihat sebuah gubuk. Ia menyeret kakinya dari pinggir sungai itu menyusuri pematang sawah dan akhirnya sampailah di gubuk beratap jerami.

Hujan terus menderu. Langit kian lama kian hitam. Beberapa lampu terlihat menciring di perumahan penduduk tak jauh dari gubuk tempat kasroh menggigil. Sama sekali tak ada keinginan Kasroh untuk ke sana. Masih ada sedikit tenaga Kasroh simpan untuk menahan dinginnya cuaca serta lapar dahaga. Sejenak ia teringat tentang gambar pemandangan pegunungan yang telah selesai ia kerjakan. Terbayang wajah Bu Guru Asih mengacungkan jempol padanya, lalu wajah mama Jer yang tersenyum cerah padanya. Sayangnya, gadis kecil itu tak sempat membayangkannya lebih lama karena kekuatan dalam tubuhnya telah tak tersisa. Ia jatuh pingsan ketika angin besar menerbangkan tempias, menerpa mukanya yang pucat.

Berjam-jam Kasroh tak sadar. Tak ada seorangpun yang melihat tubuhnya tergolek di gubuk itu. Sementara hujan kian deras berjatuhan. Kian runcing hingga sanggup mengkikis tanah sebuah bukit di atas gubuk tempat Kasroh tergolek. Rela atau tidak, ketika hujan begitu perkasa dan akar pepohonan tak kuat lagi menahan tanah tempatnya tegak, semua orang mesti belajar menerima.

Saat lumpur kian deras berguguran, Kasroh tiba-tiba tersadar. Tubuhnya tegak. Matanya membelalak menembus kegelapan, menatap tanah bukit yang berlongsoran. Mata kasroh semakin membelalak lebar. Ia seperti melihat bayangan masa lalunya dalam tanah bukit yang berguguran. Masa lalu yang baru kali ini ia bisa mengenangnya lebih terang.

Yogyakarta, 2006

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »