Merpati Eyang

Cerpen Jusuf AN

HAMPIR dua tahun, sejak Bapak dan Emak pergi merantau, aku tinggal hanya dengan Eyang. Awalnya aku bersedih dan selalu menangis. Namun, lama-lama aku menemukan kebahagiaan yang tak terkira. Kebebasan!

            Jika dulu aku tidak dibolehkan keluar malam, berenang di sungai, main bola di bawah hujan, pun berburu kodok di sawah bersama teman-teman, maka sekarang aku bebas melakukan semuanya. Hampir tiap malam aku keluar rumah, menginap di rumah teman, pulang sebelum pukul tujuh pagi, dan Eyang selalu membiarkan.

Sekitar dua tahun silam, sebelum pergi merantau, Emak sempat mengatakan bahwa usia Eyang nyaris tujuh puluh. Mulanya aku tidak percaya, sebab rambut Eyang yang panjang dan selalu dibiarkan tergerai itu masih berwarna hitam. Tapi kemudian Emak menjelaskan, bahwa Eyang sengaja mengecatnya.

Hem! Memang, Eyang tidak seperti kebanyakan perempuan tua di kampungku yang tidak peduli lagi dengan penampilan. Eyang suka merokok dari pada menginang dan ia terkesan ingin selalu tampil muda. Tiap pagi, sehabis mandi, ia selalu memoles wajahnya dengan bedak hingga nampak lebih muda dua puluh tahun.

Namun sejak Emak dan Bapak pergi ke merantau, kelakuan Eyang menjadi berubah. Ia lebih sering aku lihat murung dari pada tersenyum. Lagu keroncong yang biasa ia nyanyikan sambil mandi tak pernah lagi aku dengar. Di matanya aku seperti melihat kolam kecil tempat ikan-ikan melewati hari-harinya yang sepi.

Begitulah. Hingga suatu ketika, waktu aku sudah naik kelas enam, aku kaget melihat Eyang pulang dari pasar Minggu membawa dua pasang merpati. Eyang menjelaskan akan memelihara mereka, dan kemudian menyuruhku memesan dua kandang pada tukang pembuat lemari kayu di seberang jalan, tak jauh dari rumahku.

Tukang kayu terheran, lalu menanyaiku, apa tidak salah wanita tua seperti Eyang mau bermain merpati? Aku menggeleng. Tak hanya tukang kayu itu saja yang heran. Kebanyakan tetangga dan semua teman-temanku sama herannya ketika tahu Eyang memelihara merpati. Tapi Eyang tak acuh pada mereka ketika aku beritahu. "Biarkan saja, Buyung! Mereka akan tahu jika nanti sudah tua seperti Eyang."

“Memangnya, kenapa kalau sudah tua?” Aku bertanya setelah menarik ingusku yang meleleh.

“Sudah aku duga kau akan bertanya begitu. Pendek saja, Buyung. Menjadi tua artinya menjadi anak-anak lagi. Hahaha….” Tawanya terdengar sumbang. Barangkali Eyang sedang menertawakan dirinya sendiri, atau menertawakan kebingunganku.

***

Kandang serupa rumah-rumahan telah dipaku di dinding bagian samping rumah. Tiap pagi dan petang, Eyang membuka pintu kandang itu dengan menaiki tangga bambu. Kemudian ia menabur bijih-bijih jagung di halaman, dan dengan cepat, dua pasang merpati kesayangannya akan menyerbu.

Dua pasang merpati itu punya bulu warna berbeda; sepasang berbulu putih bersih, sepasang lagi berbulu cokelat gambir. Pada masing-masing sayapnya masih diikat tali karet agar tidak bisa terbang bebas. Baru seminggu kemudian Eyang melepas karet itu karena merpati-merpatinya telah jinak dan tidak mungkin lagi pulang ke tuannya yang lama.

Aku sering menemani Eyang bermain dengan merpati-merpatinya di jalan berbatu depan rumahku yang sepi. Disuruhnya aku membawa merpati jantan menjauh, sementara dua tangan Eyang memegang dada dua merpati betina, menggerakkannya naik-turun, hingga sayapnya mengepak. Merpati yang aku lepaskan akan selalu hinggap di atas merpati betina yang Eyang pegang. Lalu kulihat bulu lehernya mekar, dan keluar suara mendekur sambil menggigiti kepala betina dengan paruhnya. Merpati jantan itu seolah tak mau terpisah dengan pasangannya.

Pada saat seperti itulah aku bisa melihat bibir Eyang yang masih menjepit sebatang rokok tersenyum manis sekali.

Jika sore cerah, aku dan teman-temanku menaiki sepeda. Aku bangga sekali karena hanya akulah yang menggendong kurungan berisi dua merpati jantan. Teman-temanku ibarat pengiringku, pengawal setiaku. Sampai di puncak bukit yang gundul dua merpati jantan itu kami lepas. Kami bertepuk sorai ketika dua merpati itu berputar-putar di ketinggian. Waktu merpati itu menukik aku membayangkan Eyang tengah mengepak-kepakkan sayap merpati betina dengan kepala mendongak serta wajah nyengir dengan bibir menjepit rokok yang menyala.

Suatu ketika, sepulang aku menerbangkan dua merpati jantan dari bukit yang gundul, Eyang memarahiku. Sebab, merpati jantan berbulu putih yang baru saja aku terbangkan tak kembali pulang. Aneh. Padahal aku menerbangkannya dari tempat yang biasa, yang sudah bepuluh-puluh kali aku lakukan. Adakah di lain tempat telah ada orang yang mengepak-kepakkan sayap merpati betina, hingga menggoda merpati jantan berbulu putih milik Eyang? Tapi mengapa hanya satu yang tidak kembali pulang? Sejak saat itu aku menjadi tahu, ternyata ada juga merpati yang tidak setia dengan pasangannya.

Eyang terlihat begitu sedih, duduk mencangkung di depan kurungan merapi putihnya. Dan entah kenapa, esok harinya Eyang membeli merpati lagi dari pasar Minggu. Tak hanya satu dua pasang—aku bahkan tak tahu apakah merpati yang baru Eyang beli berpasang-pasang atau tidak. Setelah kuhitung, semuanya ada tiga puluh ekor.

Puluhan kandang merpati kini berderet di bawah atap rumahku mirip deretan ruko. Tiga atau empat hari sekali aku dan Eyang membersihkan kotoran-kotoran merpati yang mengerak di dalamnya. Sering aku melihat Eyang mengeluarkan sangkar berisi telur putih kecil dari salah satu kandang. Tanpa bertanya aku sudah tahu jika itu telur merpati. Setelah telor itu dierami merpati betina, maka menetaslah beberapa anak merpati yang lucu. Tak sampai sebulan kemudian, aku sudah bisa melihat beberapa anak merpati itu hinggap di atap rumah dan sesekali terbang tidak terlalu tinggi mengitari rumahku.

Tapi Eyang tak pernah lagi menyuruhku untuk menerbangkan merpati-merpatinya seperti dulu. Hanya seminggu sekali, ia menyuruhku membelikan sekarung jagung sebagai makanan merpati-merpatinya. Tiap kali pulang sekolah aku pasti akan melihat puluhan merpati berderet di atap rumah. Ada yang melonjak-lonjak, menggigiti balik sayapnya sendiri, ada pula beberapa merpati—yang mungkin berpasangan—tengah berciuman dengan paruhnya, seperti sepasang kekasih yang pernah aku lihat di teve.

Kian lama merpati Eyang kian bertambah. Seratus, mungkin lebih. Aku sampai tidak bisa menghitungnya dengan jari. Kian lama pula aku kian bosan dengan merpati-merpati itu. Aku lebih suka berenang di sungai, sepak bola di bawah hujan, dan berburu kodok di malam hari dengan membawa obor untuk kemudian memanggangnya rame-rame bersama teman.

Suatu malam, ketika tak satupun kodok kudapat, terbesit dalam pikiranku untuk merasakan daging merpati. Akhirnya, aku dibantu teman-temanku memberanikan diri mengendap-endap dalam gelap, menaiki tangga dan mengambil tiga ekor merpati Eyang. Kami memanggangnya di suatu tempat, lalu memakannya dengan bumbu kecap.

Ketika esok paginya aku pulang, kulihat Eyang tengah menabur jagung di halaman. Ia menyambut kepulanganku dengan senyum. Membuatku yakin, bahwa ia tidak tahu ulahku semalam.

Sejak saat itu aku menjadi terbiasa mencuri merpati Eyang. Sudah lima kali ini aku melakukannya, dan Eyang selalu diam. Aku yakin Eyang tak akan tahu jumlah merpatinya berkurang atau tidak. Dan aku masih bisa melihat pancaran bahagia di wajahnya—senyum manis akan terias di bibirnya yang menjepit sebatang rokok—setiap kali ia menabur jagung lalu diserbu merpati-merapatinya.

Tapi tak ada senyum Eyang pada Minggu menjelang siang ini. Wajahnya terlihat muram dan begitu tua. Ia duduk di kursi kayu di beranda. Dan matanya, masih tampak seperti kolam kecil tempat ikan-ikan menjalani hari-harinya yang sepi. Tapi kolam itu tampak agak kemerahan.

“Eyang tidak memberi makan merpati?” tanyaku.

Tapi Eyang justru membentaku: “Heh, dari mana saja kau?!” Sungguh tidak seperti biasanya sikap Eyang seperti itu. Apa mungkin ia tahu dengan ulahku semalam? “Mengapa baru pulang?!” tanyanya lagi, dengan suara parau yang menghentak.

Aku tak menjawab. Dengan kepala menunduk aku melangkah, dan ketika melintas di ambang pintu, Eyang mengagetkanku.

"Buyung!"

"Ya, Eyang." Aku berhenti dengan tubuh gemetaran.

"Bukankah kau seorang laki-laki?"

"Ya, Eyang?"

"Jika kau besar nanti, apa kau ingin jadi pahlawan?" Mata Eyang masih nanar meski suaranya agak mengendor.

"Pahlawan? Seperti Pangeran Diponegoro, Eyang? Tentu. Tapi…"

"Kenapa? Kau tak yakin?"

Apa maksud rentetan pertanyaannya? Tapi kemudian aku ingat, sebelum Eyang memarahi Bapak, terlebih dulu ia juga akan menanyainya macam-macam, baru kemudian diberitahu kesalahannya. Apa Eyang juga akan memarahiku?

"Tapi sekarang tidak jaman lagi pakai pedang, Eyang."

Eyang diam cukup lama tanpa tersenyum dengan jawaban yang sengaja aku buat bercanda itu. Kupalingkan pandang ke atap rumah. Dan, he! Di mana merpati-merpati yang biasa hinggap di sana? Aku berlari ke halaman menatap lebih dekat ke rentetan kandang. Tak ada. Kunaiki tangga memeriksa kandang, tapi kosong. Apa Eyang telah menjual merpati-merpatinya?

Masih di pucuk tangga, aku bertanya dengan suara lantang, “Ke mana merpati-merpatinya, Eyang?” Tak kudengar Eyang menjawab. Dan ketika aku mendekat, kulihat wajah Eyang telah menyala merah. Matanya telah basah.

"Apa yang Eyang lakukan?" tanyaku sembari berlari mendekat. Eyang menatapku dengan mata merah merangah.

"Belum lama tadi, orang-orang berseragam datang kemari. Mereka membawa semua merpati Eyang. Mereka bilang, merpati Eyang terkena penyakit. Kalau memang itu benar, mestinya merpati Eyang diobati, disembuhkan, bukan malah dibakar."

Aku tidak percaya mendengarnya. Lebih-lebih ketika kulihat air mengalir melintasi kerut-merut wajah Eyang. Baru kali ini aku melihat Eyang menangis.

Yogyakarta-Wonosobo 2013


* Cerpen ini pernah dimuat di Tabloid Nova, edisi 10-16 Juni 2013

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »