Cerpen Jusuf AN
1.
“Jantung. Kamu harus cepat pulang, Anjar!” Cara Ibu menyuruhku
pulang begitu tegas. Menghentak. Padahal kalaupun ibu mengucapkannya dengan lembut
aku pasti akan nurut. Aku tak pernah lagi membantah Ibu, tepatnya sejak Masdar,
anakku yang pertama lahir. Kalaupun kemudian aku pulang naik bis, yang artinya
memakan waktu 5 hari untuk sampai di tujuan, itu disebabkan keuanganku yang
sempit.
Di atas bis itulah kembali kuterima telepon dari Ibu yang
mengabarkan Paman telah menghembuskan napas terakhirnya. Malam merangkak menuju
pagi sementara bis yang kutumpangi melaju begitu kencang menerobos kegelapan.
Hanya aku saja, dari sekitar empat puluh penumpang, yang tak memejamkan mata,
bahkan sejak bus berangkat empat hari silam.
Bayangan tenang Paman mengingatkanku pada banyak hal. Sudah sejak sebulan silam, sebelum Ibu menyuruhku
pulang, aku selalu teringat Paman. Terutama, pada kalimat yang dulu Paman
ucapkan saat aku pamitan pergi ke Kalimantan: “Rumah boleh berjauhan, tapi hati
kita tak berjarak. Ketika kau meninggatku, sangat mungkin pada waktu yang sama
aku sedang mengingatmu.”
2.
Begitu kakiku menjejak tanah kelahiran, aku merasakan ada sesuatu
yang menjalar ke sekujur tubuh. Matahari masih sayup-sayup membuka mata, seakan
malas untuk bangun pagi. Udara segar kota yang berada di lereng pegunungan,
semestinya melegakan napasku. Tapi aku malah terengah-engah, seperti baru
berlari marathon. Aku sudah tidak melihat wajah Paman sejak empat tahun silam,
tapi ketika aku mendongak ke langit yang remang muram, seperti kulihat wajah
paman tersenyum melambaikan tangan.
Kubayangkan, speaker toa Masjid di kampung telah mengumumkan
kematian Paman. Para pengkabar lelayu kemudian disebar ke berbagai kampung
tempat saudara-saudara kami tinggal. Orang-orang kemudian memenuhi rumah Paman.
Jenazah Paman mungkin sedang dimandikan, kubur paman sedang digali, dan keranda
sudah dipersiapkan.
Aku yang ingin melihat wajah paman terakhir kali sebelum ia
dirahasiakan dalam kafan, bergegas menuju pangkalan ojeg. Belum sampai di
pangkalan ojeg, seseorang mencegatku, menyodoriku helm, menyuruhku cepat naik. “Kamu
sudah ditunggu,” katanya. Aku yakin, orang yang mengenakan helm tertutup ini
suruhan Ibu untuk menjemputku.
Tak sampai setengah jam aku sudah sampai di depan gang masuk rumah
Paman. Bendera putih terikat di pokok pohon rambutan. Waktu kubuka helm dan
memberikan pada orang yang menjemputku tadi, seketika itu aku terkejut. Betapa
wajahnya mirip dengan Paman. Belum aku mengatakan sesuatu, orang itu sudah
melesat bersama motornya, hilang ditikungan jalan.
3.
Paman sudah seperti kakakku sendiri, usianya 3 tahun lebih tua
dariku. Kami teman main, teman sekolah, pernah juga teman sekerja. Tapi sejak
kecil aku memanggilnya Paman, dan paman memanggilku Dek, meski namaku bukan
Adek.
Wajah paman sendiri mirip dengan wajahku. Hanya saja, nasib kami
berbeda, dan nasib, barangkali juga turut membentuk guratan-guratan wajah,
sehingga kemiripan kami menjadi semakin jauh. Setelah Lulus SMA paman memilih
menjadi sopir truk, sementara aku memilih menganggur. Impianku waktu itu adalah
kuliah di Jogja, tetapi itu tak mungkin. Bapak sudah meninggal, adikku masih
enam.
Aku berjuang mati-matian melupakan mimpiku dengan menemani Paman
mengangkut kayu, pasir, batu, atau kentang ke luar kota. Sampai ibu menyuruhku
bekerja, karena pensiunan Bapak tak cukup lagi untuk menyekolahkan adik-adikku.
Aku menjadi sopir angkutan kota dan sebulan kemudian menikah dengan karyawati supermarket
yang dulunya adalah penumpang langgananku. Sedang Paman sendiri belum menikah
sampai bisa membeli truk sendiri, dan baru punya anak setelah truknya bertambah
satu.
Paman menjalani hidupnya dengan penuh keprihatinan, sebab sudah
menjadi yatim piatu sejak kecil. Paman merasa berhutang banyak dengan Ibuku
yang telah merawatnya sejak kecil, dan berniat membelikanku mobil puck up. Ibu
menolak. Aku yang malu karena pencapaian hidupku begitu lambat, dan istriku
yang iri melihat kemajuan Paman, membuatku memutuskan merantau ke Kalimantan, menjadi
sopir perkebunan kelawa sawit.
Jenazah Paman ternyata telah dibawa ke Masjid. Artinya, sudah dimandikan
dan dibalut kafan. Keinginanku untuk melihat wajah paman terakhir kali tak
mungkin lagi. Selesai menshalatinya, dan kupandang jenazah Paman sambil berdiri,
yang terlintas di kepalaku adalah wajah orang yang mengantarkanku tadi.
4.
Usai pemakaman, baru aku tahu ternyata Ibu tidak menyuruh
siapa-siapa untuk menjemputku. “Mungkin, adik-adikmu yang menyuruhnya,” kata
Ibu. Sementara adik-adikku menggelengkan kepala saat kutanya.
Jangan-jangan, orang yang menjemputku itu…. Ah, sudahlah. Banyak
kemungkinan lain yang lebih masuk akal kukira. Dan sekarang tidak tepat untuk
terus memikirkannya. Tarub sudah didirikan, meja kursi sudah tertata, para
pelayat membanjiri rumah Paman. Aku, Ibu, serta istri Paman menyalami tamu-tamu
yang datang untuk meneguhkan kesabaran.
Aku yang baru tiba tadi pagi, tak tahu apa-apa tentang keadaan Paman
menjelang meninggalnya. Setiap kali orang bertanya, Paman sakit apa, usianya
berapa, dikurburkan jam berapa, aku masih bisa menjawabnya. Tapi aku tak bisa
bercerita sebagaimana Ibu dan istri paman menceritakan hari-hari menjelang
kematian Paman.
“Padahal kemarin sudah mau pulang dari rumah sakit. Makannya lahap
sekali, sampai-sampai jatah rumah sakit masih kurang.” Lalu istri paman
menunduk, tak kuasa meneruskan ceritanya. Para pelayat tak barani bertanya
lebih jauh.
“Habis shalat isya masih nonton berita sama saya. Lalu ia minta teve
dimatikan karena mau tidur. Tapi sebentar-sebentar terbangun dan menanyakan jam
berapa.” Di meja lain ibu bercerita juga. “Seakan-akan sudah mendapat firasat.”
Lama-kelamaan, aku pun menceritakan apa yang kudengar dari Ibu dan
istri Paman kepada para pelayat. Selain, tentu menyuruh tamu-tamu mencicipi
permen dan minuman kemasan di atas meja. Dari ratusan tamu yang datang sedikit
saja yang menyentuh dua jenis hidangan itu. Kalau pun ada, mereka cuma meminum
sedikit saja, lalu pamit pulang, seperti tengah menghayati bahwa hidup cuma
mampir minum. Beberapa mencicipi permen, meski mungkin rasa permen itu hambar
di mulutnya.
5.
“Sehari sebelum masuk rumah sakit, Badrus menyuruh Ibu menelponmu,”
terang Ibu suatu pagi, beberapa saat setelah aku terbangun dari tidur yang lelap.
Dalam tidurku tadi, aku bermimpi bertemu Paman. Paman merangkulku, membawaku
memasuki lorong cahaya. “Badrus ingin kau pulang segera. Ia merasa kau
tak akan mau jika dirinya yang menyuruh.”
“Kenapa Ibu baru menelponku ketika Paman sudah di Rumah Sakit?”
“Badrus tak mengatakan apa-apa tentang keinginannya untuk bertemu
kamu, karenanya Ibu menganggapnya bercanda saja. Betapa jauh Kalimantan.” Ibu
menghela napas panjang. “Tapi begitulah. Ibu menyesal sampai sekarang.
Barangkali, waktu Badrus meminta Ibu
menelponmu, ia ingin segera ketemu kamu untuk pamitan.”
“Apa Paman mengatakan sesuatu tentangku sebelum meninggal?”
Ibu tak menjawab. Ia beranjak setelah menatapku dengan mata yang
seakan menyimpan rahasia.
6.
Tujuh hari setelah kematian Paman, ketika aku tengah berkemas hendak
kembali ke Kalimantan, Ibu menangis di kamar. Isaknya begitu jelas sehingga aku
memberanikan untuk masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu.
“Sebaiknya kau dan keluargamu pindah ke kampung saja. Biar Tholib
adikmu, menjemput istrimu dan Masdar.”
Baru kali ini kudengar suara Ibu demikian menggetarkan dadaku.
“Masih ada Tholib, Sukri, dan Trimo menemani Ibu.”
Ibu memelukku. Dua tangannya lalu mencengkram kepalaku. Ibu
menatapku dengan bibir yang gemetar. Ketika kutatap matanya yang berkaca-kaca,
kembali kuingat pertanyaanku sehari lalu yang tak dijawab Ibu.
“Sehari sebelum Badrus meninggal, kau tahu Anjar? Badrus mengatakan
kalau dirinya ingin mengajakmu pergi. Kemana? Badrus bilang, kamu sudah tahu tujuannya. Katanya lagi, mau tidak
mau kamu harus pergi, dan akan ada yang menjemputmu...” Ibu melepas cengkraman tangannya di kepalaku. Isaknya kembali pecah.
Sejenak kemudian, ia berkata terbata-bata: “Sebaiknya kamu pindah ke kampung
saja, Anjar!” Kembali Ibu memelukku dengan tangis sesenggukan.
Entah kenapa, mendadak aku merasa ada ribuan mata kini tengah
melirikku dari berbagai sudut.
Wonosobo, 2010-2011
1 comments:
commentsawww mayan nais inpo gan
Reply