Sekolah dan Darah

M. Yusuf Amin Nugroho


Tulisan ini dibuat pada tahun 2007, tetapi saya rasa masih cukup aktual untuk dibaca. Maka, tidak ada salahnya saya posting di sini.
 
Di tengah krisis pendidikan yang masih berlanjut, dunia pendidikan kita kembali menambah satu lagi rekor buruk. Penusukan yang dilakukan oleh Tuber Romson, guru olah raga SMP 1 Bojong Lompang, Jampang Tengah, Sukabumi, kepada salah satu muridnya bernama Rian Herdiana menjadi satu cacatan sejarah muram dunia pendidikan kita. Sebab kekerasan yang dilakukan guru SMP kepada muridnya hingga meninggal dunia baru pertama kali itu terjadi sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana diberitakan detik.com(19/12/07), Rian,  Siswa kelas II SMP itu kehabisan darah akibat tujuh tusukan yang mendarat di beberapa bagian tubuhnya, yakni dua tusukan di perut, dua tusukan di punggung, tiga tusukan lainnya di lengan kiri kanan. Akibat tusukan di perut, usus Rian ikut tersayat sepanjang 3 cm. Daun telinganya juga sobek. Rian yang sebelumnya sempat diberi alat bantu pernafasan dan darah tambahan, tidak tertolong lagi.
Kejadian yang menimpa Rian ini bermula saat semua siswa dikumpulkan di halaman sekolah untuk mengikui class meeting. Sekonyong-konyong Tuber Romson, guru yang dikenal pendiam itu, menghampiri Rian dan menghujamkan pisau ke tubuh Rian.
Kasus tersebut kian memberburuk citra sekolah. Seakan-akan sekolah merupakan tampat angker, yang menyimpan seribu satu ketakutan dan tindak kekerasan. Sebelum ini, kita pernah mendengar kasus kekerasan yang dilakukan oleh para senior Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada awal April lalu. Cliff Muntu, praja utusan dari Provinsi Sulewesi Utara itu meninggal dunia akibat penganiayaan yang dilakukan para seniornya. Tubuh Cliff Muntu menderita pendaraah dan memar pada jantung, paru-paru bengkak, bibir kaku dan kuku biru serta buah zakar yang memar.
Apa yang kita angankan dengan “pendidikan tanpa kekerasan” seolah hanya menjadi jargon. Kematian Rian dan Cliff hanya dua contoh di mana pendidikan seolah menganggap lumprah tetesan darah dan kematian. Di luar itu, tentu masih banyak tindak kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan.
Sekolah dan darah, dua hal yang sesungguhnya bertentangan satu sama lain, di negeri ini justru dua kata itu rekat-akrab. Sekolah, kita tahu, merupakan tempat transfer pengetahuan, tempat di mana kreatifitas dan rasa percaya diri anak didik ditempa, dan lain sebagainya yang baik-baik. Sedang darah identik dengan kengerian, ketakutan, kegirisan, dan pembunuhan. Sekolah, yang semestinya menjadi ruang di mana nilai-nilai perdamaian ditanamkan pada anak didik justru dijadikan tempat pembenihan bibit-bibit kekerasan. Kekerasan, sadar atau tidak terlampau sering diperkenalkan secara diam-diam di sekolah. Satu hal yang sungguh ironis.
Sampai detik ini kekerasan sering dikategorikan hanya sebagai sesuatu yang berbentuk fisik atau berakibat secara fisik. Padahal kekangan, paksaan, omelan, caci-maki dan hujatan tidak dinafikan termasuk dalam bentuk kekerasan. Tindakan kekerasan itu sendiri merupakan manifestasi dari jiwa dan hati yang kacau sehingga mengalahkan akal sehat. Dan institusi sekolah merupakan ladang subur di mana pengekangan dan kawan-kawannya itu dipraktekkan di hampir setiap kegiatan.
Kalau bangku sekolah sendiri sudah dilumuri darah maka tidak ada lagi yang perlu diherankan dengan berbagai kekerasan yang merebak di negeri yang pemimpinnya tidak memiliki ketegasan ini. Warna merah pada bendera Indonesia yang sebenarnya menjadi simbol keberanian bangsa seolah telah berubah menjadi simbol darah. Kerusuhan yang terjadi di banyak tempat, kericuhan demonstrasi, tawuran antar kampung, penganiayaan perempuan, pembredelan aliran agama yang dianggap sesat, dan pencabulan anak di bawah umur menjadi berita yang terpaksa mesti kita telan saban hari.
 Sebenarnya kekerasan dalam duania pendidikan adalah masalah klasik. Para ahli pendidikan sudah lama mencoba memecah masalah ini. Plato, misalnya, memberikan konsepsi bahwa esensi pendidikan justru terletak pada kualitas etisnya. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi tempat untuk menumbuhkembangkan kepekaan peserta didik terhadap nilai-nilai dan norma moral. Oleh karena itu, kurikulum yang diberlakukan dalam pendidikan tidak saja menyangkut pengembangan kemampuan intelektual (kognitif), sebab dimensi ini tidak cukup untuk membentuk manusia yang berkualitas etis, tetapi juga kurikulum yang menggugah afeksi, yakni mentalitas dan kepekaan terhadap nilai-nilai humanistik. Upaya penajaman terhadap afektivitas peserta didik idealnya dimulai dari tingkat dasar (gimnastik) dengan memberi perhatian besar terhadap musik. Pada tingkat kedua penekanan dilakukan melalui metode permainan dan permainan peranan. Baru pada tingkat ketiga pengembangan kemampuan intelektual (rasio) mendapat tempat besar. Pada tingkat inilah dialektika menjadi tekanan kegiatan pendidikan yang utama.
Sudahlah, teori Plato tak akan berarti apa-apa kalau hanya sekadar dibaca dan diperdebatkan. Transformasi nilai-nilai perdamaian tentu saja bukan hanya menjadi tugas guru atau pendidik. Mewujudkan perdamamaian, pendidikan tanpa kekerasan, menjadi tugas kita bersama selaku umat manusia yang mengaku berbudaya. Yang terang, kita tentu tidak menginginkan kembali mendengar berita banjir darah di bangku sekolah. Dan jika darah kembali muncrat membanjiri bangku sekolah, mungkin lebih baik kita tutup saja sekolahnya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »