Oleh; Jusuf AN *)
Al-Aqqad berpendapat, hukum perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat perkawinan, yaitu untuk mengadapi keadaan yang terjadi dan dimungkinkan terjadi. Karena itu, hukum perkawinan tidak bersifat statis, melainkan berkembang sesuai situasi dan kondisi.
Di Indonesia sendiri sudah ada undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 1 UU tersebut menyebut bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan perkawinan itu supaya kekal, maka asas perkawinan pada prinsipnya adalah monogami, bukan poligami.
Kebolehan poligami menurut sebagian ulama merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Poligami hanya boleh dilakukan dalam keadaanya yang darurat saja, yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkan, dengan syarat dapat dipercaya menegakkan keadilan dan aman dari perbuatan yang melampaui batas.
Sementara pendapat lain, lebih khusus yang dikemukakan ulama fiqih kontemporer menyatakan bahwa poligami tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab ayat al-Qur’an yang membolehkan poligami tidak kontekstual. Dasar pembolehan poligami (Q.S An-Nisa’ (4) ayat 3) turun setelah perang uhud, di mana banyak sekali pejuang muslim yang gugur sehingga mengakibatkan banyak pula anak yatim dan janda. Dalam ketidakstabilan tersebut salah satu jalan untuk memecahkannya adalah dengan perkawinan.
Apa pun itu, yang terang UU Perkawinan yang tak juga dibenahi selama lebih kurang 33 tahun lamanya itu telah membuka “pintu” bagi lelaki yang ingin poligami. Artinya, selama “pintu” itu terbuka, maka selamanya akan ada yang mencoba memasukinya. Adapun syarat memasuki “pintu” itu, tertuang dalam pasal 5, yaitu: (a) adanya persetujuan dari istri atau istri-istri; (b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Tulisan ini mengkhususkan pembahasan pada Pasal 5 ayat (1) huruf b UU tersebut. Didapatkan pengertian, seorang suami yang tidak bisa menjamin keperluan hidup bagi istri-istri dan anak-anaknya tidak dibolehkan berpoligami. Pertanyaannya, apa yang dijadikan Pengadilan Agama untuk mengukur kemampuan suami mampu menjamin kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anaknya?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, terlebih dulu penulis akan memaparkan berkaitan dengan kewajiban suami memberi nafkah. Nafkah dapat diartikan segala kebutuhan, baik makan, tempat tinggal, perawatan kesehatan, pakaian, dan pembantu rumah tangga (jika suami mampu). Dalam kitab Jami' al- Bayan fi Tafsir al-Qur'an, At-Tabari menarangkan bahwa suami mempunyai kedudukan sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga. Memimpin di sini bukan berarti melaksanakan kehendak dan berbuat sewenang-wenang, akan tetapi menjaga keselamatan, berlaku adil, dan bijaksana, kepada yang dipimpin. Kepemimpinan seorang suami juga berimplikasi pula pada kewajibannya untuk memberikan nafkah keluarga bagi istri-istri dan anak-anak mereka.
Dalil yang mewajibkan suami memberi nafkah kepada keluarga bisa dilihat pada surat Al- Baqarah (2) ayat 233, At- Talaq (65) ayat 6 dan 7. Rasyid Ridha menerangkan, pemberian nafkah harus dilakukan suami dengan cara yang ma'ruf. Artinya, nafkah yang ditunaikan tidak berupa jenis nafkah dengan nilai yang rendah dan tidak pula diberikan dengan cara yang merendahkan pihak penerima yakni istri dan anak-anaknya. Sampai di sini jelaslah bahwa nafkah merupakan kewajiban suami yang sekaligus menjadi hak istri-istri dan anak-anak.
Lalu bagaimana jika seorang istri turut mencari nafkah, sebagaimana yang digelisahkan oleh Ngatini Rasdi (SM, 31 Oktober 2007) di halaman ini? Jawabannya adalah tidak bertentangan dengan hukum Islam. Setelah perkawinan, pria dan wanita yang tadinya berpisah menjadi satu ikatan, baik lahir, maupun psikis. Suami menjadi bagian dari isteri dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, suami-istri sudah sewajarnya berusaha bersama-sama untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Yang perlu digaris bawahi, terjunnya perempuan ke dunia kerja dalam Islam adalah mubah (boleh), sedangkan bagi suami adalah wajib.
Mengukur Kemampuan Suami
Pada tengah tahun 2006 saya berkesempatan melakukan riset bekait dengan kepastian suami memberi nafkah sebagai syarat poligami, studi kasus terhadap putusan poligami yang terjadi di pengadilan Agama Wonosobo tahun 2004. Ternyata, majlis hakim tidak mempunyai standar yang pasti mengenai jumlah nafkah yang memenuhi syarat untuk berpoligami. Sebab selain tergantung dengan kondisi situasi umum, juga sangat tergantung dengan masing-masing pihak. Orang yang berstrata sosial rendah tentunya membutuhkan keperluan hidup yang lebih kecil dibandingkan orang yang terbiasa hidup mewah. Dalam mengukur apakah seorang suami mampu memberi nafkah sebelum berpolihami Pengadilan Agama hanya melihat surat keterangan penghasilan yang ditandatangani oleh bendahara tempat suami bekerja atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan, seperti surat keterangan penghasilan yang ditandatangai oleh Kepala Desa tempat suami tinggal.
Selain itu, kemampuan suami memberi nafkah sebagai syarat poligami tidak berdiri sendiri dan mutlak diberlakukan oleh majlis hakim. Namun, syarat tersebut diterapkan berdasar dengan duduk perkara yang ada.
Terdapat sebuah putusan yang patut mendapat sorotan, di mana dalam putusan tersebut diketahui suami hanya berpenghasilan Rp. 300.000,- perbulan tapi hakim memberikan ijin poligami padanya. Kita tahu, tahun 2004 negeri ini sudah tercekik krisis dan penghasilan sekecil itu tak akan mampu untuk membiayai kebutuhan dua orang istri beserta anak-anaknya. Dikabulkankannya permohonan poligami ini dianggap oleh majlis hakim sebagai jalan terbaik menjaga keutuhan keluarga. Secara sekilas kita akan membenarkan putusan ini, tetapi jika ditelisik lebih jauh putusan ini cukup riskan. Bukankah ketika putusan ini dikabulkan perceraian sebenarnya sudah menghadang keluarga tersebut, karena keadaan ekonomi yang kurang akan berdampak pada ketidakharmonisan sebuah keluarga dan sering berbuntut pada perceraian? Jika Poligami bagi orang yang mampu mencukupi kebutuhan saja dianggap merendahkan martabat perempuan, apalagi bagi mereka yang tidak mampu dalah hal pemenuhan nafkah?
Kemungkinan besar apa yang saya teliti juga terjadi di Pengadilan Agama di seluruh negeri ini. Sebab Pengadilan Agama sampai sekarang tidak mempunyai parameter yang jelas untuk mengukur kemampuan suami. Yang dijadikan pokok pertimbangan majlis hakim dalam perkara poligami bukan kemampuan suami dalam memberi nafkah, melainkah adanya alasan Pemohon (suami) yang bisa dibuktikan dan juga kesediaan istri untuk dimadu, selain juga pernyataan Pemohon akan sanggup berbuat adil. Mampu atau tidak mampunya seorang suami memberi nafkah bermuara pada keyakinan majlis hakim, dengan berpegang pada asas maslahah mursalah.
Yang lebih riskan, pasal 5 ayat (1) huruf b UU Perkawinan diaplikasikan oleh Pengadilan Agama lewat keterangan Pemohon ketika menyatakan sanggup mencukupi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anaknya, bukan kemudian sepenuhnya berpegang pada surat keterangan penghasilan yang telah dilampirkan. Ini terkesan menakutkan, karena orang (baca: suami) yang punya keinginan secara psikologis akan berusaha memenuhi syarat untuk mewujudkannya, apalagi jika sekadar mengatakan sanggup atau tidak sanggup. Begitu enteng!
UU perkawinan memang sudah selayaknya ditinjau ulang, karena banyak hal sudah berkembang, selain karena terdapat bias gender di sana-sini. Sayangnya DPR lebih memikirkan renovasi rumah dinas ketimbang renovasi UU Perkawinan. Kalau pun demikian, Pengadilan Agama hendaklah lebih berhati-hati dalam memutuskan setiap perkara, lebih khusus dalam kasus poligami. Kemampuan suami memberi nafkah sebagai syarat poligami patut untuk mendapat perhatian karena masalah nafkah akan sangat mempengaruhi keharmonisan sebuah rumah tangga. Dengan mencermati syarat poligami berkait dengan kemampuan memberi nafkah, kalau pun “pintu” poligami tetap dibuka, setidaknya dapat memperkecil lubang pintu itu.
*) Jusuf AN, Penulis Lepas Asal Wonosobo,
Alumnus Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta